Parah! Kekayaan RI Dikeruk, Dijual & Dolarnya Dibawa Kabur

0

Pelita.Online – Indonesia berhasil mencatatkan surplus neraca perdagangan selama 31 bulan beruntun, namun fakta ini tidak lantas membuat cadangan devisa (cadev) menguat.

Surplus selama 31 bulan beruntun membuat nilai ekspor Indonesia menyentuh US$ 609,1 miliar atau lebih dari Rp 9.500 triliun. Namun, posisi cadangan devisa (cadev) justru tidak bergerak jauh di kisaran US$ 130-140 miliar pada rentang 31 bulan tersebut.

Kenyataannya masih banyak eksportir yang hobi menyimpan devisa hasil ekspor (DHE) ke luar negeri. Padahal, pundi-pundi eksportir tersebut seharusnya mampu memperkuat rupiah di tengah tekanan terhadap nilai tukar.

Catatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan kebanyakan eksportir ‘nakal’ ini berada di bidang pertambangan. Dari total pengenaan sanksi DHE Sumber Daya Alam (SDA) tahun 2021 hingga 2022 nilainya mencapai Rp 53 miliar.

Seperti diketahui, selama 2022, harga komoditas andalan RI seperti batu bara dan nikel mengalami kenaikan yang fantastis. Kondisi ini jelas menggambarkan bahwa eksportir telah mengeruk hasil bumi RI, tetapi membawa dolar hasil keuntungannya ke luar negeri.

Untuk menyudahi praktik ini, serta dalam rangka memperkuat ketahanan eksternal Indonesia, pemerintahan Presiden Joko Widodo merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengelolaan Sumber Alam.

Namun, pengusaha pertambangan melalui Indonesian Mining Association (IMA), meminta devisa Hasil Ekspor (DHE) perusahaan tambang tidak sepenuhnya diparkir di dalam negeri. Pasalnya, hal tersebut akan berdampak bagi kinerja keuangan perusahaan.

Plh Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Djoko Widajatno mengatakan utang-hutang perusahaan tambang selama ini dalam bentuk mata uang asing dolar. Oleh sebab itu, apabila DHE harus ditaruh ke dalam negeri, hal itu akan memberatkan perusahaan.

“Tapi sebenarnya kalau diberikan seluruhnya ke pemerintah agak keberatan kita, karena utang-utang perusahaan tambang kan dalam bentuk mata uang asing. Jadi itu perlu dibayar dengan uang asing,” ujar Djoko kepada CNBC Indonesia, dikutip Senin (16/1/2023).

Djoko menilai selama ini perusahaan-perusahaan batu bara kakap seperti PT Kaltim Prima Coal, Adaro, dan PT Arutmin telah menjalankan aturan yang sudah ditetapkan pemerintah terkait DHE. Namun, hal tersebut belum banyak dipatuhi perusahaan-perusahan tambang kecil.

“Kalau yang besar-besar udah nurut tapi yang kecil-kecil pengen untung pegang uang asing. Kalau yang besar-besar kayak KPC, Adaro, Arutmin mereka dapat penghargaan karena cepat berikan uangnya ke dalam rupiah dan devisa Indonesia jadi banyak,” katanya.

Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno blak-blakan soal eksportir yang enggan membawa Devisa Hasil Ekspor (DHE) ke Indonesia dan cenderung lebih suka menyimpannya di luar negeri.

“Jadi ini karena pasarnya kita masih kurang mendukung untuk berkembangnya instrumen-instrumen US Dolar itu, jadi eksportir ya tetap larinya ke luar walaupun masuknya sih ke sini mungkin satu dua hari, diam, tapi kalau belum dipakai ya keluar lagi,” keluhnya.

sumber : cnbcnews.com

LEAVE A REPLY