Penyadapan KPK yang bikin gerah anggota DPR

0

Jakarta, Pelita.Online – Bukan rahasia umum jika para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terusik dengan kewenangan penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, dalam sejumlah kasus korupsi terungkap dari penyadapan itu.

Beberapa waktu lalu, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fahri Hamzah menilai operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK selama ini ilegal. Hal itu karena Mahkamah Konstitusi bersidang lalu membatalkan pasal 31 Ayat D UU ITE tentang penyadapan.

Pertimbangannya karena penyadapan adalah pelanggaran HAM. Sehingga, penyadapan itu tidak boleh diatur dengan ketentuan yang di bawah UU. Payung hukum penyadapan ada dua yakni Perppu dan UU.

Pernyataan Fahri merespons OTT yang dilakukan KPK terhadap Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berinisial T, dua pengacara dan office boy.

“Kalau saya begini ya, saya menganggap semua OTT itu ilegal, mohon maaf ya,” kata Fahri.

Dia bercerita, awalnya pasal 31 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik memang mengatur penyadapan diatur melalui peraturan pemerintah (PP). Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring saat itu menyiapkan draf PP‎ dan dibawa ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Lantas, saat PP mau disahkan, banyak aktivis khawatir PP itu berbahaya karena bersifat mengikat. Dan bagi pelanggarnya bisa terjerat hukum. Setelah mendapat penolakan, pasal 31 itu digugat ke MK. Hasilnya, MK menganulir pasal tersebut dan tidak diperbolehkan diatur oleh aturan di bawah UU.

“Karena (PP) ada prosedur dan prosedurnya mau dibikin mengikat. Kalau dilanggar bisa kena hukum,” jelasnya.

Untuk kondisi sekarang, Fahri mengira pemerintah bakal mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang pasca putusan MK tersebut. Namun, nyatanya pemerintah tak menerbitkan Perppu. Sehingga, dia menegaskan KPK tak lagi punya dasar melakukan penyadapan.

Dalam rapat dengar pendapat KPK dengan DPR pekan ini, Komisi III pun banyak mencecar terkait penyadapan yang dilakukan lembaga antirasuah itu. Wakil ketua KPK, Laode M Syarif pun menanggapi terkait penyadapan yang selalu dipermasalahkan.

Menurut dia, penyadapan adalah kewenangan yang berlaku di setiap instansi penegak hukum. Dia pun heran kenapa hanya penyadapan KPK yang disoal.

“Semua aparat penegak hukum punya kewenangan penyadapan. Polisi, Jaksa, KPK tapi memang saya kurang paham kenapa penyadapan di KPK ini dipermasalahkan?” tanya Laode.

Menurut dia, penyadapan tersebut sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Tetapi, kata Laode, MK memerintahkan kepada pemerintah dan parlemen untuk membuat UU khusus yang mengatur penyadapan ini.

Kemudian, Laode juga mengatakan, pihaknya tetap ingin adanya kewenangan penyadapan dalam institusi KPK. “Apakah kami tetap ingin soal itu ya tetap ingin. Enggak ada di dunia ini satu itu tidak dilengkapi dengan kewenangan penyadapan,” pungkas dia.

Laode juga mengatakan perkara korupsi yang terungkap dari hasil OTT hanya 10 persen. Menurutnya, kebanyakan kasus korupsi terungkap dari hasil pengembangan.

“Saya pikir kasus di KPK yang OTT 10 persen, kebanyakan pengembangan. Cuma pemberitaan media selalu lebih wah, bahkan selama ini kami divonis tak pernah melakukan pencegahan,” kata Laode.

Laode menerangkan, KPK biasanya melakukan OTT terhadap kasus-kasus yang telah memiliki bukti dan informasi permulaan yang lengkap. Kemudian, kata Laode, KPK tidak selalu menggunakan cara-cara penyadapan dalam melakukan OTT.

“Tak semua OTT pakai penyadapan ada juga OTT tak pakai penyadapan, laporan tidak lengkap dari masyarakat kita tutup saja,” tegas Laode.

Namun, Laode menerangkan, ada juga OTT yang hanya mengandalkan informasi yang akurat. Semisal, OTT terhadap Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Antonius terkait suap proyek pengerjaan pengerukan pelabuhan Tanjung Mas, Semarang.

“Kalau OTT enggak ada pilih-pilih, OTT ada peristiwa dan akurat. Misal hubla, OTT itu sebenarnya susah sekali. Tetapi kalau ada informan enggak ada pilih-pilih. Kami akurat ada keterangan kita lakukan,” sambungnya.

Selain itu, Komisi III juga menanyakan soal mekanisme penyadapan yang dilakukan oleh KPK. Penyadapan menjadi senjata KPK sebelum melakukan OTT. Meski demikian, KPK membantah seluruh OTT dilakukan dengan penyadapan.

Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan pihaknya tidak bisa sembarangan melakukan penyadapan. Penyadapan berawal dari usul Direktorat Penyelidikan KPK setelah melakukan pengumpulan bahan keterangan (pulbaket). Eksekutor penyadapan dilakukan di bawah kendali Deputi Informasi dan Data (Inda) KPK.

Usulan itu kemudian disampaikan ke pimpinan KPK. Jika lima pimpinan setuju dan menandatangani surat perintah penyadapan (sprindap), operasi tersebut baru bisa dilakukan.

“Yang menyadap bukan Direktorat Penyelidikan, tetapi Direktorat Monitoring di bawah Deputi Informasi dan Data (Inda) KPK,” kata Agus.

Penyadapan itu juga diawasi oleh Direktorat Pengawasan Internal (PI) di bawah Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM) KPK. “Jadi, Direktorat PI yang selalu memeriksa lockbox penyadapan tadi,” terangnya.

Menambahkan penjelasan Agus, Deputi Bidang Inda KPK Hary Budiarto menjelaskan lebih detil cara KPK melakukan penyadapan. Penyadapan melibatkan tiga kedeputian di KPK, yakni, Deputi Penindakan, Deputi Inda dan Deputi PIPM.

Deputi Penindakan bertindak sebagai user dan akan mengirimkan nomor target yang akan disadap. Lalu, Deputi Inda melakukan penyadapan. Sementara, Deputi PIPM melakukan audit dari seluruh rangkaian kegiatan penyadapan.

Hary melanjutkan, meskipun Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyatakan tidak berwenang mengaudit penyadapan setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK), bukan berarti kegiatan itu tidak diawasi.

“Kami diaudit (oleh PIPM), setiap tiga bulan sekali,” terangnya.

Bicara soal teknis, kaya Hary, nomor target yang disadap juga tentu tidak sembarangan dan harus terkait dengan kasus hukum tengah ditangani KPK. Sebab, mesin juga punya keterbatasan dimana nomor hanya bisa berada di dalam mesin selama 30 hari. Di luar itu, akan dicancel otomatis oleh mesin.

“Nomor yang disadap itu untuk 30 hari. Ketika 30 hari terlampaui maka mesin akan cancel dan nomor lain masuk. Jadi, seperti antrean,” tandasnya.

Setelah penyadapan akan dibuat rangkuman. Tidak semua kata dari mesin sadapan diterjemahkan. Pasalnya, ada beberapa hal yang tidak dimasukkan karena dianggap sebagai privasi pihak yang disadap.

Lebih lanjut, Hary menjelaskan soal surat izin penyadapan. Dia menyebut surat penyadapan hanya berlaku 30 hari pertama. Jika selama 30 hari pertama tidak ada hasil, untuk melakukan penyadapan berikutnya dengan nomor yang sama harus mendapatkan surat perintah yang ditandatangani lima komisioner.

“Jika tidak ada surat perintah penyadapan lagi, akan kami hentikan. Kalau mau diulang, harus diterbitkan sprindap baru,” bebernya.

Menanggapi hal ini, Ketua Komisi III Bambang Soesatyo menerangkan, jika mekanisme itu telah berjalan, maka semua pihak bisa tenang. “Benar tidak? Kalau ini berjalan benar, tenang kita,” tutupnya.

Merdeka.com

LEAVE A REPLY