Perajin Tahu Tempe Terancam Gulung Tikar, Aksi Mogok Sia-sia

0

Pelita.Online – Aksi mogok massal perajin tahu tempe selama tiga hari terakhir ibarat macan ompong. Alih-alih harga kedelai turun, mendapatkan perhatian dari pemerintah pun tidak. Perajin harus tergopoh-gopoh kembali memproduksi tahu dan tempe dengan ancaman gulung tikar sewaktu-waktu.
Perajin yang tergabung dalam Pusat Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Puskopti) DKI sempat menyambangi DPRD mengadukan nasib mereka. Sekjen Puskopti DKI Hedy Kuswanto mengaku tak tahan lagi dengan lonjakan harga kedelai yang mencapai Rp11.300 per kilogram.

Ketua Paguyuban Dadi Rukun Rasjadi pun sempat protes dengan menumpuk drum dan kerei, alat produksi tempe, di dekat sentra produksi tempe di Depok. “Kami protes atas kenaikan harga kedelai yang membuat kami tidak bisa memproduksi,” imbuhnya awal pekan ini, Senin (21/2).

Namun, protes itu tidak juga bergema. Perajin sepertinya hanya bisa mengelus dada. Apalagi, pemerintah tengah sibuk mengurus minyak goreng yang semakin langka dan masih mahal. Pemerintah juga sibuk dengan perhelatan G20 dan rencana pemindahan ibu kota baru.

Satu-satunya jalan bagi perajin adalah menaikkan harga jual tahu dan tempe. Itu pun kalau konsumen tidak menahan diri makan tahu dan tempe, mengingat tekanan ekonomi di tengah pandemi. Wajar perajin seperti Slamet Riadi berpikir, “tak berani hitung-hitungan cuan. Untuk bertahan saja sudah untung,” ungkapnya yang merupakan Anggota Kopti Jakpus, Rabu (23/2).

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi berjanji akan mengatur harga untuk menjinakkan pasar. Ia akan menjembatani perajin dan penjual dalam menentukan harga acuan tahu tempe. “Ini akan segera kami keluarkan (harga acuan). Mudah-mudahan bisa diselesaikan,” janji Lutfi.

Pun demikian, Lutfi tetap menyalahkan kenaikan harga kedelai yang tinggi di pasar internasional. Ndilalahnya, lebih dari 80 persen kebutuhan kedelai dipasok dari impor.

Ekonom Indef Rusli Abdullah mengatakan dari kebutuhan kedelai tahun lalu sebanyak 2,5 juta ton, di antaranya 2,2 juta ton berasal dari impor. Maklumlah, iklim di Indonesia memang tak mendukung produksi kedelai.

Faktanya, kata Rusli, pemerintah tak berdaya menangani persoalan kedelai. “Pemerintah ngga bisa ngapa-ngapain. Terkunci, dilihat dari fakta kita impor itu sampai 91 persen,” imbuh dia.

Ia melihat salah satu pilihan terbaik untuk saat ini adalah mendiversifikasi pasar impor kedelai dari negara selain AS, mengingat saat ini AS mengalami inflasi dan kenaikan biaya produksi.

Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan persoalan harga kedelai bisa mengancam perajin tahu tempe gulung tikar. “Potensi penurunan pembelian bisa menjadi sebab, kalau berlarut jadi gulung tikar ya bisa jadi,” tutur dia.

Toh, kondisi perajin gulung tikar memang sudah terjadi sebelumnya. Tengoklah, data Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) sampai Februari 2022, dari total 160 ribu perajin tahu tempe, di antaranya 20 persen atau 30 ribu perajin berhenti produksi.

Kebanyakan perajin tahu tempe yang bangkrut adalah mereka yang berproduksi kecil-kecilan dari rumah dengan jumlah produksi 10 kg- 20 kg per hari.

Namun, Faisal mengakui intervensi tahu tempe tak semudah intervensi minyak goreng yang memang diproduksi sendiri di dalam negeri. Tahu tempe mengandalkan kedelai impor. “Kalau ketergantungan dengan impor terlalu tinggi, jadinya begitu ketika harga dari luar naik,” ujarnya.

Berbeda pandangan, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menilai kenaikan harga kedelai saat ini sebetulnya hal yang positif karena selama ini kedelai dijual dengan harga terlalu murah.
Menurut dia, tidak wajar harga kedelai lebih murah dari beras sedangkan beras adalah bahan pokok dan kedelai merupakan bahan lauk. Ia menyebutkan di masa orde baru kedelai dipatok harus 1,5 kali dari harga beras, namun yang terjadi sekarang malah sebaliknya.

Karena harga murah itu lah, sambung Dwi, petani kedelai memilih beralih ke komoditas lain, seperti kacang hijau yang bisa dibanderol hingga Rp16 ribu per kg.

Ia menilai harga kedelai di level Rp11 ribuan seperti sekarang malah mesti dipertahankan guna memberi insentif petani untuk kembali tertarik menanam kedelai.

“Di satu sisi enggak wajar juga, harga lauk kok malah jauh lebih murah dari bahan pokoknya?” imbuh Dwi.

Lalu, faktor lain yang mematikan pertanian kedelai di dalam negeri adalah kebijakan tarif impor kedelai nol persen yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 133/PMK.011/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi  Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor.

Ia menilai bebas masuknya kedelai luar tanpa biayamembuat harga kedelai dalam negeri tak bisa bersaing. Ia menjelaskan rata-rata produksi kedelai RI sebesar Rp7.000-Rp8.000 per kg sementara harga jual di level petani hanya Rp6.000-Rp7.000 per kg.

Ia menyebut pemerintah harus mencontoh India yang berani mengenakan bea masuk sawit selangit guna melindungi petani bunga matahari dan sumber minyak nabati lainnya. Dwi meyakini masalah kedelai merembet hingga ke Kemenkeu yang mengeluarkan tarif impor 0 persen.

“Petani itu rasional, untuk itu kenapa kok balik ke masalah kebijakan tarif, kalau tarif nol, enggak mungkin (produksi). Mbok pontang-panting, jumpalitan, enggak mungkin produksi dalam negeri naik,” katanya.

Dwi menyebut ini adalah saat yang tepat untuk mengedukasi konsumen tahu dan tempe agar mau membeli di harga yang sedikit lebih tinggi. Ia mengklaim konsumen tidak lantas setop makan tahu dan tempe kalau ukurannya diperkecil atau naik Rp1.000-Rp2.000.

“Konsumen harus mau menerima harga lebih tinggi atau dengan uang sama menerima jumlah lebih rendah. Saya tidak melihat nanti orang tidak makan kedelai, tidak lah,” tutupnya.

sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY