Potensi Penetapan Idul Fitri Berbeda, PPP dan PKS Minta Saling Toleransi Sambut Lebaran

0

Pelita.online – Penetapan Idul Fitri 1 Syawal 1444 H berpotensi berbeda antara Muhammadiyah dan NU atau pemerintah. Menanggapi hal tersebut, Presiden PKS Ahmad Syaikhu menilai perbedaan menyambut Lebaran 2023 ini harus disikapi dewasa.

“Saya kira ini masalah kaitan kita harus lebih dewasa ya, sehingga dengan perbedaan ini tentu bukan menjadi faktor pemecah belah bangsa tapi kita justru membuka ruang ruang toleransi di antara sesama umat,” kata Syaikhu usai pertemuan dengan PPP, Rabu (19/4/2023).

Dia menilai, semua pihak memiliki pegangan masing-masing terkait penetapan Idul Fitri dan harus saling menghormati.

“Karena masing masing punya pegangan, masing masin punya dasar. Tapi kan belum tentu kan berbeda, mudah mudahan bisa jadi juga bersama sama,” kata Syaikhu.

Sementara itu, Plt Ketum PPP Mardiono meminta mayoritas tidak boleh memaksakan kehendak terhadap kaum minoritas, termasuk pada minoritas muslim yang merayakan lebaran lebih dahulu.

“Bentuk toleransi dari umat muslim bahwa umat muslim yang mayoritas di negeri ini tidaklah kemudian memakaakan kehendak. Kita memberikan ruang toleransi termasuk bagi yang menjalankan Idul Fitri, kalau nggak salah Jumat di tanggal 21 itu kita amini, tetapi pemerintah belum memutuskan,” jelas dia.

“Nanti berdasarkan kementerian agama itu yang diyakini itu nanti kita ikuti,” sambung Mardiono.

Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud Md menyatakan, tak ada yang sama dalam penentuan 1 Syawal baik lewat metode hisab maupun rukyat.

“NU dan Muhammadiyah sama-sama berhari raya tanggal 1 Syawal, hanya beda pilihan ukuran ufuk. Sama juga, misalnya, ummat Islam sama-sama melaksanakan salat dzuhur saat matahari lengser ke arah barat sekitar jam 12.00. Tetapi yang satu salat jam 12.00, yang satu salat jam 13.00. Sama benarnya, tak perlu ribut,” kata Mahfud dikutip dari Instagram @mahfudmd, Selasa (18/4/2023).

Fasilitas Publik Bisa Digunakan untuk Salat Ied Lebaran

Mahfud juga meminta fasilitas publik boleh digunakan untuk salat ied apabila ada masyarakat ingin menggunakan.

“Pemerintah menghimbau, fasilitas publik seperti lapangan yang dikelola Pemda agar dibuka dan diizinkan untuk tempat salat idul fitri jika ada ormas atau kelompok masyarakat yang ingin menggunakannya. Pemda diminta untuk mangakomodasi. Kita harus membangun kerukunan meski berbeda waktu hari raya,” kata dia.

Menurut Mahfud, perbedaan waktu hari raya sama-sama berdasar Hadits Nabi, “Berpuasalah kamu jika melihat hilal (bulan) dan berhari rayalah jika melihat hilal” (Shuumuu biru’yatihi wa afthiruu birukyatihi).

“Maksudnya setelah melihat hilal tanggal 1 bulan Hijriyah. Melihat hilal bisa dengan rukyat, bisa dengan hisab,” kata Mahfud.

Dia menyebut Rukyat adalah melihat dengan mata/teropong seperti praktik zaman Nabi. Hisab adalah melihat dengan hitungan ilmu astronomi. Rukyat tentu didahului dengan hisab juga untuk kemudian dicek secara fisik.

“NU dan Muhammadiyah sama-sama berhari raya pada tanggal 1 Syawal. Bedanya hanya dalam melihat derajat ketinggian hilal,” pungkas Mahfud.

Sumber : liputan6.com

LEAVE A REPLY