Mimpi buruk itu harus dialami seorang inovator yang sejak lama memimpikan negaranya bisa merekayasa dan memproduksi mobil tenaga listrik. Dasep Ahmadi, lulusan Teknik Mesin di Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1990 ini harus menjalani hari-harinya kini di jeruji besi. Ini setelah penerima beassiwa dari Verein Deutscher Maschinen und Anlagen (VDMA) di Trumpf GmbH Maschinen Fabrik, Stuttgart Jerman itu divonis hukuman penjara selama 7 tahun.
Dia didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi dalam pembuatan mobil listrik teknologi Prototype Electric Bus dan Executive Electric Car yang digunakan pada kegiatan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) XXI di Bali tahun 2013 lalu.Dalam posisinya sebagai Direktur PT Sarimas, Dasep juga diharuskan membayar uang pengganti sebesar Rp17,1 miliar. Vonis yang disampaikan Ketua Majelis Hakim Arifin di Pengadilan pada Senin (14/3) ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni 12 tahun penjara dengan uang pengganti mencapai Rp28 miliar. Dasep pun tak terima dan akan mengajukan banding.
Pria kelahiran Sukabumi 1965 ini menilai pembuatan mobil listrik itu adalah aset negara yang harus dikembangkan. Namun, Kejaksaan melihat bahwa proyek senilai Rp32 miliar itu dianggap gagal dan ada unsur korupsi. “Kita ingin melakukan yang terbaik, kalau masih ada kekurangan, itu wajar. Tapi, kalau ini disebut perbuatan kejahatan, saya tidak terima,” tegas ahli mekatronika itu. Dasep menyebut para pihak yang menilai perbuatannya sebagai tindak pidana belum memahami bidang penelitian. Dasep pun mendapat dukungan penuh dari teman-temannya dari ITB dan pihak lain yang bersimpati.
Berangus Inovasi
Vonis ini kini menciptakan keresahan tersendiri. Terutama,bagi para inovator di lembaga penelitian maupun perguruan tinggi. Ikatan Alumni (IA) ITB merasakan kecemasan yang berpotensi memberangus inovasi tersebut. “Dalam pembicaraan di internal alumni, keresahan itu muncul. Sebab kasus ini kan terkait inovasi dan kreatifitas anak bangsa. Teman-teman (kini) jadi mikir dua kali kalau ingin membuat inovasi,” ujar Direktur Eksekutif IA ITB Andi Wahyudi kepada media belum lama ini. Selama ini menurut Andi, Dasep dikenal sebagai peneliti idealis yang memiliki mimpi besar agar Indonesia memiliki mobil sendiri.
Di tempat terpisah Dekan Fakultas Teknik Universitas Indonesia Dedi Priadi menyebut sekaligus membandingkan bahwa teknologi mobil listrik butuh waktu yang lama sampai bisa dikatakan inovasi itu berhasil. Di UI saja, ada dua inovasi mobil listrik yang dibuat melalui modifikasi dari mobil Toyota Kijang Super dan sebuah city car. Dibutuhkan waktu dua tahun hanya untuk penelitian terutama desain engineering nya. “Kami membuat keduanya (dua mobil) sejak 2014, namun untuk engineering designnya dibutuhkan sekitar dua tahun sebelumnya, itupun belum bisa dikatakan selesai,” ujar Dedi. Karena dibutuhkan waktu lagi untuk penelitian lanjutan termasuk didalamnya uji performance.
Dan Dasep bukan peneliti amatiran, kredibilitas di bidang yang digelutinya bahkan telah mendapat banyak pengakuan dan penghargaan. Diantaranya Penganugerahan Penghargaan Teknologi Bacharudin Jusuf Habibie pada Agustus 2009 lalu. Salah satu perancang mesin Daihatsu dan Esspas PT Astra yang berkecimpung di dunia technopreneur selama lebih kurang 10 tahun dinilai memiliki prestasi dalam inovasi mesin yang dianggap sangat berguna bagi negara. Kini bekas juara nasional lomba purwarupa robot tahun 1987 dan juara nasional alat penghemat bahan bakar tahun 1989 itu sedang berjuang keras melawan upaya pemberangusan kreatifitas atas nama penegakan hukum dari dalam terali besi. Tapi, ada yang menyebut Dasep hanya korban politik balas dendam antar rezim. Entahlah.(esa).