Sambut Hardiknas, KPAI Soroti Angka Putus Sekolah Selama Pandemi

0
Siswa SMP Negeri 6 Jayapura dengan masker di wajahnya berjalan meninggalkan sekolah usai melakukan pendaftaran ulang pada hari pertama sekolah di Jayapura, Papua, Senin (13/7/2020). Siswa SD, SMP dan SMA mulai mengikuti kegiatan belajar-mengajar tahun ajaran baru 2020/2021 dengan sistem pembelajaran tatap muka langsung dan daring. ANTARA FOTO/Gusti Tanati/wsj.

Pelita.online – Dalam rangka mempertingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh pada 2 Mei, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti menyoroti angka putus sekolah yang meningkat pada masa pandemi Covid-19.

Retno menyebutkan, dengan kondisi ini tentu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) terancam gagal tercapai. Apalagi, Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat bahwa pandemi Covid-19 di Indonesia telah menambah jumlah penduduk miskin, meningkatkan pekerja anak, dan meningkatkan putus sekolah .

“Data ini sejalan dengan pengawasan KPAI selama 2020 telah terjadi angka putus sekolah karena menikah sebanyak 119 kasus dan putus sekolah karena menunggak SPP sebanyak 21 kasus,” papar Retno dalam siaran pers yang diterima Beritasatu.com, Sabtu (1/5/2021).

Ia menambahkan, selama periode Januari-Maret 2021 terdapat 33 kasus anak putus sekolah karena menikah, 2 kasus karena bekerja, 12 kasus karena menunggak SPP, dan 2 kasus karena kecanduan gawai sehingga harus menjalani perawatan dalam jangka panjang,

Dikatakan Retno, tingginya angka putus sekolah ini karena dipicu oleh kebijakan belajar dari rumah (BDR) atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang terus menuai masalah dan tidak juga dapat dicarikan solusinya oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (pemda).

Menurut Retno, berbagai kebijakan dalam upaya mengatasinya sudah dibuat, seperti kebijakan panduan BDR atau PJJ, kebijakan bantuan kuota internet, kebijakan kurikulum khusus dalam situasi darurat, kebijakan standar penilaian di masa pandemi, dan terakhir melakukan 3 kali relaksasi terhadap SKB 4 Menteri tentang Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di masa pandemi.

“Menurut KPAI, sejumlah terobosan yang dibuat pemerintah untuk mengatasi BDR atau PJJ itu tidak efektif,” ucap Retno.

Retno menyebutkan, BDR atau PJJ terlalu bertumpu pada internet. Akibatnya, sejumlah kendala pembelajaran daring terjadi karena keragaman kondisi keluarga peserta didik dan keragaman kondisi daerah seluruh Indonesia. Apalagi terjadi kesenjangan digital yang begitu lebar antar daerah di Indonesia.

“Tidak pernah ada pemetaan kesenjangan kemampuan digital dan kemampuan ekonomi antara anak-anak di pedesaan dengan di perkotaan, antara anak-anak dari keluarga miskin dan anak-anak dari keluarga kaya,” cetus Retno.

Dikatakan Retno, pelaksanaan BDR atau PJJ ini sangat dipengaruhi oleh faktor peranan orang tua peserta didik. Misalnya, pendampingan, kemampuan dalam penguasaan teknologi digital, hingga kepemilikan gawai.

Namun, KPAI juga menilai tidak ada pemetaan variasi BDR atau PJJ yang dibangun bersama antara guru, siswa dan orang tua. Ini terkait dengan sistem pembelajaran seperti apa yang tepat atau sesuai dengan kondisi anak dari segi ekonomi keluarga, ketiadaan alat daring, ketidakstabilan sinyal, kondisi orang tua yang bekerja, serta apakah para guru memberikan umpan balik dari setiap penugasan yang diberikan.

Selain itu, Retno juga menyebutkan, kebijakan PJJ terkesan menyamakan masalah sehingga hanya satu solusi untuk semua problem BDR atau PJJ yang ada. Misalnya, bantuan kuota internet hingga Rp 7 triliun, namun pada praktiknya banyak yang mubazir. Pasalnya, bantuan kuota tersebut tetap tidak mampu mengatasi masalah pembelajaran anak-anak dari keluarga miskin yang tidak memiliki alat daring atau masalah anak-anak di pelosok yang berada pada wilayah blank spot.

“Peserta didik dari keluarga miskin dan di pelosok tetap saja tidak terlayani PJJ daring ketika kebijakannya tunggal, hanya memberikan bantuan kuota internet untuk semua masalah PJJ,” ucapnya.

Kondisi berlangsung lebih dari setahun ini, kata Retno, mengakibatkan kejenuhan pada peserta didik sehingga menurunkan semangat belajar, munculnya masalah alat daring, masalah jaringan internet yang sulit, masalah tidak adanya interaksi guru-siswa dalam proses PJJ, dan banyak anak kelas XII yang lulus tahun ini menunda kuliah karena sedang masa pandemi.

“Ini memunculkan potensi bertambahnya pengangguran, meningkatkan angka perkawinan anak dan pekerja anak,” pungkas Retno.

Sumber: BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY