Sejarah Masjid dan Gapura Padureksan Warisan Dinasti Demak di Kudus

0

Pelita.online – Masjid Jami’ At Taqwa yang terletak di Desa Loram Kulon, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, menyimpan cerita sejarah tentang sosok Sultan Hadirin menantu Sunan Kudus. Lalu bagaimana cerita sejarahnya?

Masjid Jami’ At Taqwa yang yang dikenal dengan Masjid Wali Loram Kulon sudah dilakukan renovasi total pada tahun 1990-an silam. Kini bangunan yang masih asli adalah gapura di depan masjid. Gapura itu dikenal dengan gapura Padureksan.

Gapura tersebut berbentuk tumpukan batu merah. Gapura tersebut setinggi kurang lebih 5 meter. Pada gapura terdapat tiga pintu masuk ke masjid. Terdiri dari sebelah selatan, tengah dan utara. Namun hanya pintu tengah saja yang terlihat tertutup. Terdapat pintu yang terbuat dari kayu di bagian tengahnya.

Juru Pemelihara Masjid Jami’at Taqwa, Afroh Amaludin, mengatakan di Desa Loram Kulon terdapat benda peninggalan bersejarah. Yakni berupa gapura dan masjid Wali Loram Kulon.

“Di Desa Loram Kulon ada peninggalan bersejarah yang dikenal dengan benda cagar budaya yaitu berupa gapura dan masjid. Namun cagar budaya tinggal gapuranya, dikarenakan masjid sudah mengalami perubahan,” kata Afroh saat ditemui di lokasi, Senin (19/4/2021).

Afroh menjelaskan masjid dan gapura merupakan satu-kesatuan. Gapura didirikan oleh Sultan Hadirin pada tahun 1596, sedangkan masjid baru didirikan pada tahun 1597. Kedua bangunan itu tidak dibangun secara bersamaan.

“Kenapa gapura dan masjid, itu satu ikatan gapura dan masjid. Untuk gapura itu didirikan 1596 sedangkan masjid didirikan 1597 ini ada tahapan tidak serentak, tapi bertahap,” ungkapnya.

Masjid Jami' At Taqwa di Desa Loram Kulon, Kecamatan Jati, Kudus, Senin (19/4/2021).Masjid Jami’ At Taqwa di Desa Loram Kulon, Kecamatan Jati, Kudus, Senin (19/4/2021). Foto: Dian Utoro Aji/detikcom

Menurutnya ada cerita tersendiri terkait dengan gapura yang berbentuk seperti pura. Konon, kata dia, Sultan Hadiri atau yang lebih terkenal dengan nama Sultan Hadirin membangun gapura bertujuan untuk mempermudah menyebarkan agama Islam di wilayah Loram Kulon dan sekitarnya. Terlebih dulu warga di Loram Kulon masyarakatnya memeluk agama Hindu.

“Sultan Hadirin sebagai tokoh penyebar agama untuk memudahkan dalam menyebarkan agama Islam, beliau menggunakan cara diterima oleh masyarakat dengan mendirikan bangunan gapura, yang bangunan itu dianggap oleh masyarakat sebagai tempat ibadah bagi orang yang dulu masih beragama Hindu,” terang Afroh.

“Maka untuk arsitekturnya untuk gaya bangunannya seperti bangunan Hindu. Kalau Hindu dinamakan Pura, kalau di sini dinamakan Gapura. Gapura yang memiliki makna panggonan untuk nyuwun (minta) pangapura (maaf). Masyarakat belum bisa menyebutkan nama arab Gofuro maka dinamakan gapura. Maka untuk memudahkan nama Padureksa, terus sini namanya Gapura Padureksan,” lanjut dia.

Selengkapnya di halaman selanjutnya…

Afroh melanjutkan ceritanya, konon dulu bangunan masjid dan gapura terpisah jauh. Namun lamban laun karena dilakukan renovasi pada masjid. Kemudian masjid dan gapura jaraknya dekat. Hingga akhirnya yang tersisa menjadi benda cagar budaya adalah Gapura Padureksan.

“Kemudian dibangun masjid ini, masjid dan gapuranya dulu jaraknya jauh. Kemudian setelah tambah tahun, jemaah, depan ini yang dulunya tanah lapang juga termasuk pohon besar. Pada tahun 1971 dilakukan bangun serambi ini, terus beberapa tahun lagi, tepatnya tahun 1990 diadakan renovasi masjid, karena tidak muat untuk salat jemaah. Dilakukan renovasi masjid secara total,” ungkap Afroh.

“Untuk serambi ini dikembangkan menjadi dua lantai tahun 2011. Kemudian untuk gapura mengalami renovasi 1996. Ini yang bisa diselamatkan gapuranya. Karena pada tahun ini sudah ada undang-undang terkait dengan benda cagar budaya. Gapura dan sumurnya yang masih asli. Peninggalan dari Sultan Hadirin,” lanjut dia.

Afroh menceritakan Sultan Hadirin yang merupakan raja di Jepara bisa sampai ke Kudus. Konon, kata dia, Sultan Hadirin menikah dengan Roro Ayu Kalinyamat. Pernikahan keduanya belum memiliki anak. Padahal Sultan Hadirin berkeinginan untuk memiliki anak.

Singkat cerita, jika berkeinginan untuk memiliki anak, kemudian dijodohkan dengan salah satu putri Sunan Kudus bernama Dewi Probodinabar. Semenjak itulah ada kedekatan Sultan Hadirin dengan Sunan Kudus.

“Sultan Hadirin nikah sama dengan Roro Ayu Kalinyamat, beliau menikah belum punya anak. Pernyataan kalau masih punya keturunan bisa nikah barang kali bisa memiliki anak. Kemudian dijodohkan dengan salah satu putri dari Sunan Kudus yang bernama Dewi Probodinabar. Semenjak itulah menjadi menantu Sunan Kudus, ada kedekatan antara guru dengan murid, Kiai dengan santri mertua dengan menantu,” ungkapnya.

Sunan Kudus pada waktu itu mengetahui jika menantunya Sultan Hadirin merupakan seorang ulama. Maka kemudian Sultan Hadirin diminta untuk ikut menyebarkan agama Islam di Kudus bagian selatan. Sultan Hadirin pun memilih Loram Kulon untuk menyebarkan agama Islam, karena lokasinya strategis dan masyarakat memeluk agama Hindu.

“Sunan Kudus tahu bahwa menantunya seorang ulama, maka Sunan Kudus meminta kepada Sultan Hadirin menyebarkan agama Islam di Kudus bagian selatan. Beliau memilih Desa Loram, karena desanya strategis dekat dengan sungai saat itu. Di samping itu, belum ada kota Kudus, Loram ini menjadi tempat pertemuan Syah Jafar Sodiq dengan Kiai Telingsing ketika dari Demak untuk mendirikan negara di Utara,” pungkasnya Afroh.

Hingga kini masjid tersebut menjadi tempat ibadah warga setempat. Sejumlah tradisi pun masih dilakukan masyarakat setempat. Mulai tradisi sedekah nasi kepel hingga tradisi kirab nganten (pengantin).

LEAVE A REPLY