Telaah – Harmonisasi Yudhoyono Dan Jokowi

0

Jakarta, Pelitaonline.id – Seolah berbarengan, saat publik disodori pesona film “Batman v Superman Dawn of Justice” yang tayang perdana serentak mulai 23 Maret 2016, publik juga disuguhkan berita Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden ke-7 Joko Widodo.

Keduanya bukanlah “superhero” seperti pada dunia khayal para sineas Hollywood itu, melainkan bapak bangsa Republik ini yang kiprahnya kerap menarik perhatian publik.

Berbagai media memberitakan dan mengulas dengan pandangan pengamat soal apa yang disebut sebagai “saling sindir” antara Yudhoyono dan Jokowi.

Dalam berbagai pertemuan untuk menyerap aspirasi masyarakat melalui “SBY Tour de Java” selama dua pekan pada Maret, Yudhoyono menyoroti sejumlah kebijakan pemerintah.

Yudhoyono yang juga Ketua Umum Partai Demokrat menegaskan bahwa partainya konsisten mendukung pemerintah bila kebijakannya benar dan memberikan koreksi bila kebijakan pemerintah salah.

Yudhoyono yang memimpin Republik Indonesia selama dua periode pada 2004 hingga 2014 itu kembali mengoreksi soal belanja pembangunan infrastruktur yang sedang digalakkan Jokowi.

Ia mengingatkan ekonomi Indonesia masih lesu dan anggaran yang ada jangan sampai terkuras untuk pembangunan infrastruktur, apalagi dengan target semua harus selesai tahun ini.

Sementara Jokowi saat melakukan inspeksi ke Pusat Pelatihan, Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang di Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, memprihatinkan kondisi bangunan yang mangkrak alias terbengkalai yang terjadi sejak pemerintahan Yudhoyono akibat skandal korupsi dalam pembangunannya.

Ia menggeleng-gelengkan kepala menunjukkan keprihatinannya saat ditanya media mengenai kondisi fasilitas yang dibangun pada tahun anggaran 2010-2012 sebesar Rp2,7 triliun.

Menurut Presiden, Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat segera mengkaji ulang pembangunan fasilitas pada kawasan seluas 32 hektare itu, termasuk kondisi kestabilan lahannya.

Jokowi juga mengatakan status sejumlah perlengkapan penunjang yang sudah ada di wisma atlet akan diperiksa oleh BPKP.

Bukan pertama Bukan pertama kali media menangkap “berbalas pantun” antara SBY dan Jokowi ini. Saling berkomentar yang menarik perhatian publik bahkan pernah terjadi ketika SBY masih menjabat Presiden dan Jokowi menjabat Gubernur DKI Jakarta.

Peringatan Hari Otonomi Daerah ke-18 di Istana Negara, 25 April 2014, misalnya, SBY menyentil bahwa pemimpin yang baik tidak harus terlihat mondar-mandir ke sana kemari. Pemimpin yang baik adalah yang memimpin dengan hati dan pikiran yang terwujud dalam program kerja yang berpihak kepada rakyat.

Di sisi lain, Jokowi dikenal kerap melakukan blusukan atau meninjau dan mengecek langsung permasalahan dan perkembangan kondisi ke berbagai lokasi.

Soal kemacetan di Ibu Kota Negara, Yudhoyono juga pernah menyatakan setiap pemerintah daerah bertanggung jawab atas kemacetan lalu lintas.

Dalam silaturahim dengan Kamar Dagang dan Industri Indonesia di Istana Bogor pada 4 November 2013, Yudhoyono menyebut kalau biang kemacetan di Jakarta, serahkan kepada Jokowi. Jokowi pun menimpali kemacetan di Jakarta juga menjadi urusan pemerintah pusat.

Di luar itu, diakui bahwa suksesi dari Yudhoyono ke Jokowi paling mulus dan baru pertama kali terjadi selama sejarah pergantian kepemimpinan nasional.

Peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno pada era Orde Lama kepada Presiden Soeharto dalam membentuk Orde Baru menorehkan luka sejarah.

Soeharto tampil sebagai koreksi total atas pemerintahan Soekarno sebelumnya. Soekarno bahkan menjadi “tahanan rumah” yang dibelenggu kebebasannya dalam beraktivitas dan berpendapat.

Peralihan kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada Presiden BJ Habibie, menyusul gerakan reformasi, pengunduran diri 14 menteri, serta pernyataan berhenti dari Soeharto, juga membuat hubungan keduanya seolah terputus.

Habibie terakhir kali melihat dan bertemu dengan Soeharto hanya pada saat Soeharto menyatakan lengser pada 21 Mei 1998 dan Soeharto pulang ke rumah ke Cendana dari Istana Merdeka. Sejak itu hingga akhir hayatnya, Soeharto tak memberi kesempatan kepada Habibie untuk menemuinya.

Suksesi dari Presiden BJ Habibie kepada Presiden Abdurrahman Wahid pada 1999 juga didahului dengan penolakan atas pertanggungjawaban Habibie pada Sidang Umum MPR, terutama soal lepasnya Timor Timur dari Negara Kesatuan RI.

Peralihan dari Presiden Abdurrahman Wahid kepada Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2011 juga karena pemakzulan MPR atas kasus Buloggate yang membuat Abdurrahman Wahid menanggalkan jabatannya.

Pergantian kepemimpinan dari Presiden Megawati kepada Presiden Yudhoyono pada 2004, meskipun melalui pemilihan presiden secara langsung yang pertama kali dalam sejarah Republik ini, namun turut dipicu ketegangan antara keduanya sehingga membuat Yudhoyono mengundurkan diri dari jabatan Menkopolkam untuk mencalonkan diri sebagai Presiden dan melawan Megawati selaku petahana saat itu.

Megawati yang juga Ketua Umum PDI Perjuangan menjalankan peran sebagai “oposisi” atas pemerintahan Yudhoyono.

Barulah dari Yudhoyono ke Jokowi terjadi suksesi yang digambarkan Yudhoyono sebagai suksesi kepemimpinan yang damai, bermartabat dan mulia.

Yudhoyono menghadiri pelantikan Jokowi pada 20 Oktober 2014 pada Sidang Istimewa MPR, Yudhoyono juga mengantarkan Jokowi masuk ke Istana Merdeka dan memperlihatkan situasi di dalam Istana, Yudhoyono dan Ani Yudhoyono pun meninggalkan Istana yang telah dihuninya selama 10 tahun dengan diantarkan oleh Jokowi dan Ibu Negara Iriana.

Yudhoyono mengemukakan suksesi kepemimpinan dari pemerintahannya kepada Jokowi merupakan pertama kalinya memenuhi kriteria damai, bermartabat, dan mulia.

“Ini tradisi yang baik, suksesi kepemimpinan dari saya ke Presiden baru kita, Pak Joko Widodo, untuk pertama kalinya damai, bermartabat dan mulia,” katanya setelah kembali ke Cikeas, kediaman pribadinya.

Yudhoyono menceritakan, “Dari Presiden pertama Bung Karno ke Pak Harto belum bisa dikatakan damai, bermartabat dan mulia. Kemudian dari Pak Harto ke Pak BJ Habibie juga bjsa dibilang khas dan tidak normal. Dari Pak Habibie ke Presiden Gus Dur meski tidak terkait langsung, tapi tradisi itu belum terbentuk dengan baik. Dari Gus Dur ke Ibu Megawati, juga tidak normal karena saat itu ada krisis. Dari Ibu Mega ke saya sebetulnya tidak ada masalah, karena itu proses demokrasi dan saya dipilih oleh rakyat, namun sejarah mencatat dan Allah belum mengizinkan, boleh dikatakan belum damai bermartabat dan mulia. Terutama damai di hati”.

Yudhoyono merujuk kepada catatan antara dia dengan Megawati yang selama ini sulit untuk bertemu baik secara fisik maupun politik.

Sukses karena kritik Yudhoyono menegaskan pemerintah akan sukses dalam menjalankan tugasnya bila siap dikritik.

“Saya gembira dengar pernyataan Jubir Presiden Johan Budi-Presiden mau dikritik dan juga Menko Polhukam, pemerintah siap dikritik,” kata Yudhoyono dalam akun twitter pribadinya @SBYudhoyono.

Bila Presiden dan pemerintah siap dikritik maka akan sukses melakukan tugasnya karena kritik tidak sama dengan menghujat dan mengganggu.

Dengan pernyataan yang disampaikan Johan Budi dan Menko Polhukam itu, Yudhoyono mengharapkan tidak ada lagi pesan-pesan ketidaksenangan atas sejumlah kicauannya di twitter yang memberi masukan kepada pemerintah atas sejumlah hal.

“Bagus jika rakyat tidak takut bicara. Tentu bicara yang tepat, diperlukan, santun dan bertanggung jawab,” kata Yudhoyono.

Yudhoyono juga mengatakan dia dan partainya konsisten memberikan dukungan pada legitimasi pemerintahan saat ini dari hasil Pemilu Presiden 2014 untuk memimpin bangsa selama periode 2014-2019.

Harmonisasi antara Yudhoyono dan Jokowi adalah dalam konteks saling mengingatkan dan mengoreksi demi perbaikan dan kemajuan bangsa ini, bukan karena sentimen pribadi. Mereka adalah “orang besar” Republik ini.(an/san)

LEAVE A REPLY