Tok! Anwar Usman Harus Mundur sebagai Ketua MK

0

Pelita.Online –  Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Priyanto, selaku pemohon, terkait masa jabatan hakim konstitusional sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Dalam amar putusannya, majelis konstitusi MK menyatakan Pasal 87 huruf a dan huruf b UU MK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). “Menyatakan Pasal 87 huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan yang disiarkan di kanal YouTube MK, Senin, 20 Juni 2022.

Pasal 87 huruf a UU MK menyatakan, “Hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang ini.” Dengan dinyatakan Pasal 87 huruf a UU MK bertentangan dengan UUD 1945, maka akan berdampak pada kedudukan masa jabatan Ketua MK Anwar Usman dan Wakil Ketua MK Aswanto.

Seperti diketahui, keduanya menjabat ketua dan wakil ketua MK saat aturan masa jabatan pimpinan MK masih menggunakan UU Nomor 8 tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.  Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2022, Ketua dan Wakil Ketua MK dipilih dari dan oleh anggota hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 2 tahun 6  bulan.  Namun, periode masa jabatan mereka diubah berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2020 menjadi 5 tahun. Dengan dikabulkannya gugatan tersebut, maka otomatis ketentuan mengenai masa jabatan ketua dan wakil ketua MK kembali ke aturan sebelumnya, yakni 2 tahun enam bulan.    Menurut hakim konstitusi Enny Nurbaniningsih, perubahan periodesasi jabatan ketua dan wakil ketua MK menjadi 5 tahun seperti yang dirumuskan Pasal 4 ayat 3 UU Nomor 7 tahun 2020 telah menimbulkan masalah hukum.  Permasalahan tersebut dipertegas oleh pembuat UU dengan mengkonstruksikan peralihan berupa Pasal 87 huruf a UU Nomor 7 tahun 2020, yang pada pokoknya mengatur masa jabatan ketua dan wakil ketua MK yang memuat frasa ‘masa jabatannya berakhirnya berdasarkan ketentuan UU’  “Menurut mahkamah, ketentuan demikian memunculkan kemenduaan makna (ambigu) karena penggunaan frasa ‘masa jabatannya’ yang disebutkan UU 7/2020 ternyata dipergukanan dua arti/konteks, yaitu masa jabatan sebagai hakim konstitusi dan masa jabatan sebagai ketua atau wakil ketua Mahkamah Konstitusi,” ujar Hakim Enny “Tidak adanya penegasan arti/konteks ‘masa jabatan’ mana yang diacu oleh Pasal 87 huruf a UU 7/2020 telah menciptakan ketidakpastian hukum dan karenanya bertentangan dengan UUD 1945,” imbuhnya   Meskipun Anwar Usman dan Aswanto diwajibkan mundur dari jabatannya sebagai ketua dan wakil ketua MK, namun keduanya tetap menjabat sebagai hakim konstitusi. Sementara jabatan ketua dan wakil ketua yang diembannya saat ini tetap sah hingga terpilih ketua dan wakil ketua MK yang baru. “Oleh karena itu, dalam waktu paling lama 9 bulan sejak putusan ini diucapkan harus dilakukan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi,” ungkap Enny Nurbaningsih. Dalam menjatuhkan putusan, majelis konstitusi ada yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) yakni Hakim MK Arief Hidayat dan Manahan Sitompul. Kemudian Hakim MK Saldi Isra mengajukan alasan berbeda atau concuring opinion.

sumber : viva.co.id

LEAVE A REPLY