Berlayar di Labuan Bajo Naik Pinisi

0

Pelita.online – “Kapal nelayan di Bajo, sekarang sudah banyak berubah jadi Pinisi.”

Demikian celoteh seorang fotografer lokal di Labuan Bajo, Jackson Octavianus, saat berbincang soal kehidupan masyarakat lokal Bajo. Pariwisata menjadi mata pencaharian yang menjadi denyut nadi kota kecil itu.

Namun menurutnya, sebagian besar Kapal Pinisi yang bersandar di pelabuhan kota itu milik orang Jakarta. Orang lokal lantas menjadi pekerja di kapal-kapal itu atau bekerja di agen perjalanan yang banyak berjejer di sepanjang jalan Soekarno-Hatta, jalan utama kota itu.

Bius keindahan Bajo yang menjadi magnet warga kota untuk berduyun-duyun datang ke tempat ini tak luput ikut menarik minat warga dari seantero Flores untuk ikut mengadu nasib.

Jackson sendiri sebenarnya adalah warga Pulau Rote yang mengadu nasib sebagai fotografer dan pemain Sasando di Bajo. Ada lagi Ariel, warga Wae Rebo yang bersekolah sembari bekerja di salah satu pemandu wisata lokal di Bajo.

Berkunjung ke Labuan Bajo memang identik dengan kegiatan island hopping alias berwisata dari satu pulau ke pulau lain.

Pulau-pulau ini terhampar di sepanjang Selat Sape yang memisahkan Bajo yang ada di Pulau Flores dengan Sumbawa. Rinca, Padar, dan Komodo adalah tiga pulau utama yang kerap dikunjungi para wisatawan Bajo.

Selain itu, Bajo juga dikenal sebagai salah satu tujuan menyelam. Manta Point adalah salah satu titik dimana pengunjung bisa berenang diantara ikan-ikan Pari yang banyak berkumpul di sana.

Pagi buta, kami berangkat dari hotel sekitar pukul 05.00. Tak perlu waktu lama untuk sampai di dermaga, sekitar pukul 05.30 kami sudah sampai di dermaga. Aktivitas pagi di dermaga memang ramai dengan wisatawan yang bersiap berlayar.

Dari dermaga, kami menaiki sekoci untuk mencapai kapal yang tak bisa merapat. Rombongan kami dibagi dalam dua Pinisi, Helena dan Levilia. Tujuan kami hari itu adalah berlayar ke Pulau Padar, Komodo, serta bersantai dan snorkeling Pink Beach.

Berlayar di Labuan Bajo Naik PinisiPinisi yang siap berlayar. (CNN Indonesia/Eka Santhika)

Melancong dengan Pinisi memang jadi salah satu alternatif berlayar dari pulau ke pulau di Bajo. Perjalanan sehari dengan Pinisi bisa dilakukan sehari atau sembari bermalam. Pilihan berlayar lain adalah menggunakan kapal cepat.

Memilih Pinisi untuk ditumpangi ini sama halnya dengan memilih rumah yang akan ditumpangi di atas air. Kapal-kapal ini tersedia dalam berbagai ukuran, fasilitas, dan kenyamanan pelayanan. Pada perjalanan kali ini, saya berkesempatan mencoba dua Pinisi berbeda yang digunakan rombongan kami.

Tiap Pinisi ini memang punya nama masing-masing. Nama yang digunakan untuk kapal-kapal ini biasanya berunsur feminin, Helena, Levilia, Alexa, dan nama-nama wanita lain.

Setelah ditelusuri, memang berdasarkan konvensi internasional, nama wanita atau netral sepakat digunakan untuk menyebut penjelajah samudera ini.
Pinisi Helena

Pinisi Helena punya bodi yang lebih besar dari Levilia. Sebab, kapal ini punya lebih banyak ruangan ketimbang Levilia. Helena punya tiga dek, sementara Levilia hanya dua dek saja.

Pinisi Helena ini punya tiga tingkat dek, sementara bagian lambung kapal dibuat jadi empat kamar penumpang.

Pada bagian dek terdapat tempat duduk santai disertai meja panjang di ujung kapal. Lokasi ini bisa dipilih menjadi tempat makan di luar ruang. Tempat ini juga disertai dengan penutup untuk menghalau panas Flores yang tak ramah di kulit.

Sementara pada bagian tengah kapal, terdapat ruang makan lain yang lebih tertutup. Dapur tempat memasak ada di belakang tempat makan ini.

Berlayar di Labuan Bajo Naik PinisiPinisi Helena. (CNN Indonesia/Eka Santhika)

Aroma kopi yang baru diseduh dan roti bakar yang disediakan kru kapal menemani perjalanan kami pagi itu. Penumpang bisa memanggang sendiri roti mereka dengan toaster yang disediakan. Kopi, teh, dan lemari es tempat minuman dingin bertengger juga disediakan.

Namun, rasanya pagi itu menyeruput teh hangat lebih menggugah selera lantaran kami mesti bangun dini hari pagi itu. Melancong sehari ke pulau-pulau di Labuan Bajo menggunakan Pinisi memang mesti dilakukan sejak pagi buta.

Dari tempat makan ini, terdapat tangga menuju lambung kapal.

Di lambung kapal, terdapat empat kabin kamar yang dilengkapi dengan kamar mandi dalam. Tiap kamar terdiri dari satu double bed dan satu single bed. Sehingga satu kamar bisa diisi oleh tiga orang.

Tempat tidur yang disertai pendingin udara di kapal ini terbilang nyaman. Kamar mandi yang disediakan juga bersih dan dilengkapi dengan handuk serta keperluan toilet lainnya.

Berlayar di Labuan Bajo Naik PinisiArea dapur. (CNN Indonesia/Eka Santhika)

Pada bagian kiri kapal di samping ruang makan tadi, terdapat tangga menuju lantai dua. Di lantai dua terbagi jadi dua bagian.

Bagian depan adalah ruang nakhoda. Sementara bagian belakang terdapat satu kamar tidur lain. Kamar tidur ini lebih istimewa karena ruangannya lebih besar dengan satu tempat tidur double, tentu disertai dengan kamar mandi dalam.

Selain itu, kamar ini juga punya pemandangan lebih indah karena tak berada di lambung kapal. Di depan kamar disediakan teras dan tempat duduk. Di sini, penghuni kapal bisa berbagi tempat untuk bersantai sembari menikmati semilir angin ketika kapal melaju.

Berlayar di Labuan Bajo Naik PinisiArea kamar. (CNN Indonesia/Eka Santhika)

Sementara pada tingkat yang paling atas, penghuni disediakan dek kosong yang diisi dengan kursi malas dan sejumlah bean bag. Untuk para penghuni kapal yang gemar berjemur, tempat ini paling cocok untuk bersantai menghabiskan hari.

Namun, buat mereka yang menghindari terpapar sinar matahari terlalu sering, tempat ini paling cocok dinikmati pada pagi dan sore hari ketika matahari tak lagi terlalu garang.

Sebab, di atap kapal ini, penumpang kapal bisa menikmati pemandangan sekeliling tanpa terhalang tembok-tembok, seperti di bagian lain kapal.

Berlayar di Labuan Bajo Naik PinisiArea dek atas. (CNN Indonesia/Eka Santhika)

Perjalanan kami pagi itu disuguhkan dengan pemandangan pulau-pulau berbukit di sekitar Bajo yang kering dan menguning. Maklum saja, wilayah ini baru diterpa musim kemarau.

Menurut pemandu kami hari itu, Alexander Phelop, waktu terbaik berkunjung ke Labuan Bajo menurutnya sepanjang Mei-Juni. Pada bulan-bulan itu Bajo baru selesai musim hujan, sehingga pemandangan sekitar pulau akan menghijau.

Namun Alex tak banyak berkomentar ketika ditanya soal harga sewa Pinisi mewah seperti Helena ini.

“Harga sewa kapal ini berbeda-beda tergantung EO-nya [agen perjalanan] saya tidak berani bilang” jelas warga Manggarai Barat yang juga ikut mengadu nasib sebagai pendatang di Labuan Bajo itu.

Menurutnya, EO kerap mematok harga berbeda untuk sewa kapal ini. Harga yang dilego bisa dari Rp40 juta hingga Rp100 juta untuk perjalanan per hari. Ketika ditelusuri di Booking.com, kapal ini memang dipatok Rp40 juta per malam.

Layanan kapal ini juga terbilang istimewa. Sebab, kami disuguhi dengan handuk dingin setelah selesai berjalan di Pulau Rinca yang panas.

Di atas kapal, jus semangka dingin pun telah menanti. Untuk makan siang, kami pun disuguhi pilihan menu ala Barat yang terbilang nikmat.

Dari keterangan di situs Booking.com, penghuni bisa memilih menu mereka, apakah ingin menu Indonesia atau Barat.
Pinisi Levilia

Selesai melihat Komodo di Pulau Rinca, saya menjajal Pinisi yang lebih kecil, Levilia. Berdasarkan penelusuran di internet, kapal ini dipatok sekitar Rp11 juta untuk berlayar selama 3 hari 2 malam. Dengan harga yang lebih murah, tentu fasilitas yang diberikan tak sebanyak tawaran Helena.

Kapal ini hanya terdiri dari dek dua tingkat. Pada bagian dek utama, terdapat ruang makan terbuka di bagian depan kapal, ruang nakhoda di bagian tengah, ruang makan tertutup di belakang ruang nakhoda.

Sementara pada bagian atas, terdapat ruang tempat tidur bunk bed untuk 4 orang yang dilengkapi dengan kamar mandi dalam.

Di bagian lambung kapal juga ditempatkan empat kamar tidur privat, double bed dengan toilet. Semua kabin dilengkapi dengan pendingin udara.

Berlayar di Labuan Bajo Naik PinisiPinisi Levilia. (CNN Indonesia/Eka Santhika)

Kapal juga menyediakan tempat bersantai di ujung depan kapal. Pilihan lainnya ada di bagian atas kapal di belakang kamar. Penyedia kapal menyediakan beberapa bean bag agar penghuni bisa duduk santai.

Namun, fasilitas kapal ini memang tidak semewah Helena. Kamar makan dalam lebih sempit. Meja makan di luar pun terdiri dari bangku kayu yang lebih sederhana dari Helena. Kasur dan desain kamar tidur kapal ini pun lebih sederhana.

Untuk menu makanan, kapal ini terbilang cukup royal memberikan cemilan bagi penumpangnya. Sarapan pagi, makan siang, hingga camilan sore kerap disuguhkan. Menu makan siang yang disuguhkan memang lebih sederhana dari Helena, namun tetap menggungah selera.

Sebagai penumpang gelombang dua, saya sempat mencicip siomay dan pisang goreng lokal sebagai kudapan sore yang menghangatkan perjalanan pulang kembali ke Labuan Bajo.

Tips berlayar di Bajo

Sebelum melakukan perjalanan antar pulau di Bajo ada baiknya memastikan kecepatan kapal dan kebutuhan trip terlebih dulu. Jika butuh mengunjungi banyak tempat dalam sehari, kapal cepat adalah pilihan terbaik.

Sementara jika memilih Pinisi, pastikan kecepatan kapal sanggup digunakan untuk menempuh beberapa tempat sekaligus dalam sehari. Sebab, seperti Pinisi Helena, kapal ini sepertinya tidak dirancang untuk bergerak cepat.

Dengan bodi yang besar, mesin enam silinder kapal ini hanya bisa berlayar santai. Perjalanan ke Padar yang biasa memakan waktu tiga jam, tak mampu ditempuh kapal ini secepat itu. Padahal penghuni Pinisi Levilia yang lebih kecil sudah selesai trekking di Padar.

Namun, kami masih terombang-ambing di lautan. Alhasil, dari tiga pulau yang rencananya kami kunjungi hari itu, tidak ada satupun yang berhasil dicapai Helena.

Berlayar di Labuan Bajo Naik PinisiKeceriaan para penumpang. (CNN Indonesia/Eka Santhika)

Nakhoda beralasan, arus sudah terlalu deras sehingga mesin kapal tak mampu melawan. Alih-alih maju, kapal bahkan sempat mundur karena tak sanggup melawan arus.

Setelah 7,5 jam berlayar, kapal pun akhirnya hanya mampu merapat ke pulau Rinca. Ini adalah pulau terdekat dari Labuan Bajo dan tidak masuk dalam daftar rencana kunjungan kami kali ini. Padahal sesuai prediksi, Levilia pun hanya perlu 3 jam untuk perjalanan Bajo-Pulau Padar.

Lambatnya kapal ini sudah terasa sejak pertama angkat jangkar dari dermaga Labuan Bajo. Pinisi Levilia yang lebih kecil dan ramping sudah melaju hingga tak terlihat pandangan. Begitupun saat merapat ke Rinca, kapal tetangga pun “ngebut” menyalip kapal kami saat bersandar di dermaga.

Dari penelusuran di Booking.com, kebanyakan memang menyewa kapal ini untuk menginap di atas laut rata-rata selama 4 hari 3 malam.

Sementara saat itu kami memesan kapal ini untuk perjalanan selama 1 hari saja. Jelas kapal ini tak cocok untuk perjalanan “nggak” santai.

 

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY