Dalang Ruwat, Profesi Tak Sembarangan Ki Manteb Soedharsono

0

Pelita.online – Dalang bukan sekadar soal menggerakkan wayang dan bercerita dalam pertunjukan. Lebih dari itu, dalang diharuskan memiliki kemampuan memainkan wayang, bercerita, dan ‘nembang‘. Butuh pemahaman dan keahlian khusus untuk mendapatkan status dalang sehingga sejak dulu mereka amat diistimewakan.

Tidak ada penjelasan pasti tentang masuknya pertunjukan wayang dan awal mula keberadaan dalang di Indonesia. Diperkirakan kesenian ini sudah ada di zaman Kerajaan Mataram Kuno pada abad ke-9 Masehi sebelum agama Hindu masuk, meski ada pula pendapat yang berkata wayang mulai dimainkan di abad ke-11 dan 12 Masehi.

Mengutip buku bertajuk Sejarah Pedalangan yang ditulis Soetarno, Sarwanto dan Sudarko, pertunjukan wayang dianggap sebagai sarana pemujaan roh leluhur. Kala itu  roh leluhur diyakini bisa menampakkan diri sebagai bayangan di Bumi.

Berangkat dari sana, orang Jawa kuno lantas menghormati roh leluhur dengan membuat gambar serupa. Digambar di atas kulit binatang, umumnya lembu atau kerbau, kemudian disorot cahaya lampu dengan latar kain putih yang kelak disebut sebagai kelir, hingga ada bayangan yang bisa dilihat.

“Dalang dilakukan oleh seorang pendeta, karena hanya pendeta yang dapat menghadirkan roh-roh leluhur,” dikutip dari buku Sejarah Pedalangan.

Dalang Ruwat, Profesi Tak Sembarangan Ki Manteb SoedharsonoMenjadi dalang dan memainkan wayang bukan perkara mudah. Ada beban moral dan tanggung jawab, terlebih untuk seorang dalang songgo buwono

Seiring berjalannya waktu, pertunjukan wayang semakin berkembang, pun begitu dengan dalang. Dosen Sastra Jawa Universitas Indonesia Prapto Yuwono mengatakan, pertunjukan wayang kerap digunakan oleh Walisongo sebagai dakwah pada abad ke 14. Saat itu, Walisongo sendiri langsung turun tangan menjadi dalang.

Lambat laun, perubahan terus terjadi. Kini, masyarakat awam pun bisa jadi dalang. Bahkan profesi itu menjadi warisan turun temurun, dari kakek ke bapak, dari bapak ke anak. Lazim memang.

Bagaimanapun, ada satu dalang yang ditegaskan tak boleh diemban oleh orang biasa, yaitu dalang songgo buwono. Dalang ini, kata Prapto, adalah orang yang sangat spiritual dan suci. Ia bertugas khusus untuk ritual ruwat, karenanya disebut juga sebagai dalang ruwat.

Ritual ruwat bisa dibilang sebagai upaya ‘buang sial’. Hal ini sering dilakukan oleh masyarakat Jawa, biasanya kepada anak yang mudah sakit-sakitan, jauh jodoh, ataupun situasi lain yang dianggap tidak baik.

“Kalau ada suatu kejadian salah yang ingin diselamatkan, diadakan upacara ruwat (pertunjukan wayang ruwat). Ini enggak boleh dilakukan oleh dalang biasa, harus dalang ruwat,” kata Prapto

Ki Manteb Soedarsono adalah salah satu dalang ruwat tersebut. Ia mendalang sejak usia delapan tahun dan saat ini pada usia 71 ia telah jadi maestro wayang. Profesi itu ia dapatkan dari garis keluarga, di mana buyut sampai ayahnya juga seorang dalang, hingga tutup usia. Persis seperti dalang-dalang zaman dahulu.

Sejak awal, Manteb kecil kerap diberitahu sang ayah, Ki Hardjo Brahim, tentang perbedaan dalang biasa dengan dalang ruwat. Menurut Hardjo, menjadi dalang ruwat harus memiliki darah berketurunan dalang, seperti dirinya.

“Itu dinamakan dalang sejati dan saya sudah dipercayai dan diakui oleh masyarakat. Dari kakek sampai saya, jadi saya dalang generasi keempat,” kata Ki Manteb kepada CNNIndonesia.com saat ditemui di Banyumas, Jawa Tengah.

Manteb mengingat, Hardjo memberinya petuah tentang menjadi dalang ruwat. Disebutkan, setidaknya ada tiga syarat utama. Pertama, harus sudah beristri saat meruwat. Kedua, dilarang keras berpoligami. Dan ketiga, tidak boleh rujuk dengan mantan istri.

Dalang Ruwat, Profesi Tak Sembarangan Ki Manteb SoedharsonoKi Manteb Soedharsono memaparkan pengalaman menjadi dalang songgo buwono. (CNN Indonesia/ Aulia Bintang)

Syarat-syarat itu yang membuat Ki Manteb menikah sampai delapan kali. Setelah bercerai, ia menikahi perempuan lain karena ingin tetap mengamalkan petuah sang ayah, selain karena alasan cinta. Saat ini, istri Ki Manteb bernama Suwarti.

“[Syarat] itu dari kakek ke bapak, dari bapak ke saya. Kalau pakem saya seperti ini, kalau dalang lain bisa saja beda pakem,” kata pria yang mengaku tak pernah minum air putih itu.

Jika hendak meruwat, ia harus menjalani puasa mutih (berpantangan makanan minuman kecuali air putih dan nasi) selama tiga hari. Ada hari-hari tertentu untuk berpuasa, yakni pada Rabu Pon, Kamis Wage dan Jumat Kliwon. Bila dijumlahkan, jarak antara hari-hari tersebut adalah 40, sehingga berpuasa di tiga hari itu sama dengan berpuasa selama 40 hari.

Ki Manteb mengaku tak berani meruwat bila tidak berpuasa sama sekali. Setidaknya, ia melakoni puasa mutih satu hari pada salah satu hari yang telah disebutkan. Bila tidak berpuasa mutih, ia mengatakan ruwatan berpotensi gagal.

Saat meruwat, lakon khusus yang harus dimainkan adalah Batara Kala. Dalam kisah Mahabarata, Batara Kala diceritakan sebagai penguasa waktu. Ia direpresentasikan sebagai raksasa berwajah menyeramkan, yang dalam filsafat Hindu sekaligus menyimbolkan bahwa hukum karma tak dapat dilawan.

Dalang Ruwat, Profesi Tak Sembarangan Ki Manteb SoedharsonoKi Manteb Soedharsono saat memainkan wayang. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

Ruwatan Berkesan Ki Manteb

Ki Manteb menuturkan, dari sekian banyak permintaan, salah satu yang paling berkesan adalah saat dirinya meruwat seorang anak pengidap kanker darah. Sebelum acara ruwatan dilaksanakan di Taman Mini Indonesia Indah, sang dalang sempat bertemu si anak. Ki Manteb diberitahu, umur anak itu diprediksi sudah tak lama lagi, bahkan hanya tinggal hitungan bulan.

“Kata dokter hidup anak itu tinggal tiga bulan, dia terlihat kurus dan pucat saat itu. Setelah ruwat selesai, bapak dan ibunya saya panggil untuk saya kasih syarat. Rahasia syaratnya, setiap dalang itu bisa beda,” kata Ki Manteb.

Waktu berlalu, kehidupan terus berjalan. Suatu hari tak sengaja Ki Manteb bertemu kembali dengan anak itu. Karena Ki Manteb sudah tak mengenali, si anak yang menghampiri terlebih dahulu untuk menyapa dalang yang pernah meruwatnya setahun lalu.

Menurut Ki Manteb, si anak terlihat sehat dan yang pasti, hidup sudah lebih dari tiga bulan sejak vonis dokter. Anak itu juga sudah bekerja, serta punya istri yang sedang mengandung.

“Katanya kamu tiga bulan mati? Kok masih hidup?'” tanya Ki Manteb saat itu kepada si anak.
Meruwat agenda politik juga jadi makanan sehari-hari Ki Manteb. Salah satu agenda yang ia ingat adalah saat ruwatan Partai Golkar, ketika politikus Agung Laksono dengan Aburizal Bakrie berseberangan di masa pemilihan ketua umum.

Tetap memainkan lakon Batara Kala, Ki Manteb sempat menyelipkan beberapa nasihat untuk partai berlambang pohon beringin itu. Ia berkata, sebagai salah satu partai tertua di Indonesia, sebaiknya kedua belah pihak berdamai atau islah.

Ki Manteb pun mengiyakan permintaan ruwatan saat Pemilihan Presiden 2019 masih berlangsung. Ia mengklaim, waktu itu Presiden Joko Widodo dan calon presiden Prabowo sempat memintanya untuk meruwat. Tanpa pikir panjang, kedua permintaan itu ia setujui.

“Saya ditanggap hijau, kuning, biru dan merah mau saja. Saya bukan orang partai, saya seniman, seniman itu netral, ditanggap siapa pun saya berangkat,” kata Ki Manteb sembari tersenyum.

Tulisan ini merupakan bagian dari FOKUS (serial artikel) CNN Indonesia yang bertajuk Jalan Sunyi Ki Manteb.

LEAVE A REPLY