Garin Nugroho Ajak Masyarakat Lawan Penghakiman Massal

0

Pelita.online – Film ‘Kucumbu Tubuh Indahku’ (KTI) semula beredar di puluhan bioskop sehari pasca pencoblosan Pemilu, 18 April. Tapi sejak pekan kemarin, film tersebut cuma diputar di tiga bioskop di Jakarta. Pada 22 April muncul petisi ajakan untuk memboikot, dan sejumlah kepala daerah melarang peredaran film KTI di daerah mereka.

Sebagai sutradara, Garin Nugroho sangat tidak mengharapkan dan amat menyayangkan respons semacam itu. Ajakan boikot dan larangan dari sebagian kepala daerah merupakan salah satu indikasi kemunduran kualitas pemilu. Sebab politik identitas dan perasaan terancam tidak hanya direpresentasikan ke arah calon presiden dan para calon anggota legislative tapi juga ke dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

“Kelompok-kelompok ini kalau tidak diskusikan dan kita kritisi akan menjadi kelompok penghakiman,” kata Garin dalam Blak-blakan yang tayang di detikcom, Rabu (1/5/2019).

Ia mengaku sengaja mengedarkan film ini sehari setelah pencoblosan Pemilu sebagai bentuk ujian di tengah situasi politik identitas yang banyak tidak sehatnya. Tak sehat karena setiap kelompok, agama, ekonomi, suku selalu ketakutan dan merasa serba terancam. Karena itu lalu muncul perilaku agresif dalam bentuk petisi, dan ajakan boikot.

“Hanya dengan informasi tanpa kajian, tanpa melihat film itu lalu merasa ketakutan dan terancam. Itu adalah ciri dari abad ini yang harus kita lawan. Karena perasaan terancam itu kalau menjadi ekstrem dan menjadi perilaku penghakiman massa yang radikal. Itu terjadi pada film Kucumbu Tubuh Indahku,” papar
alumnus Fakultas Sinematografi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu.

Film KTI, ia melanjutkan, menawarkan dialog tentang perjalanan seorang penari lengger lelaki yang menarikan tarian perempuan. Dia punya trauma tubuh mengenai persoalan maskulin dan feminin. Sumber inspirasinya adalah Rianto, penari kaliber internasional yang kini bermukim di Tokyo, Jepang.

“Problem semacam ini ada di berbagai pelosok seni tradisi kita, terkait penari perempuan maupun laki-laki,” ujarnya. Tentang kritik atau kesalahpahaman terhadap judul film ini, Garin menyebut hal itu juga merupakan akibat dari politik identitas yang bertumbuh menjadi ekstremitas massal.

Kalau memang tema dan inspirasinya dari seorang penari lengger bernama Rianto, kenapa filmnya tidak dibuat dalam bentuk dokumenter atau biopik?
Atas pertanyaan seperti itu, Garin mengakui bila dirinya ingin agar karya dapat dinikmati oleh kalangan lebih luas. Sebab dokumenter ruang tonton lebih kecil, dan dokumenter tentang Rianto akan ada pada waktunya. Ia juga sengaja tak memilih membuat film ini biopik karena yang diwakili tak cuma seorang Rianto dan Lengger tapi juga problem-problem diskriminasi pada karya-karya seni tradisi yang banyak terjadi.

“Sekarang ini, pertunjukkan wayang saja ada yang melarang, ditutup. Padahal wayanglah yang pertama membawa Islam masuk ke negeri ini dengan damai, lewat bahasa dan nilai-nilai yang sangat indah,” kata alumnus Garin yang Fakultas Hukum UI itu.

 

Sumber: Detik.com

LEAVE A REPLY