Gatotkaca, Riwayatmu Kini…

0
N250 Gatokaca pernah menjadi kebanggaan bangsa. Penerbangan perdananya 21 tahun silam menerbitkan harapan dan rasa bangga. Tapi, dimanakah Gatotkaca sekarang berada

SEHARI jelang 10 Agustus 1995, pilot penguji PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) Erwin Danuwinata berpikir keras. Esok hari dia harus bisa menerbangkan N250 di landasan Lapangan Udara Husein Sastranegara yang tidak begitu panjang. Di udara, Erwin juga harus menguji semua perangkat kendali penerbangan (aileron, rudder, elevator) sebelum kembali mendarat.

Saat itulah momentum kebangkitan bangsa: penerbangan perdana N250, pesawat komersial—berkapasitas 70 penumpang—pertama karya para insinyur IPTN. Banyak pembesar negeri bakal hadir, termasuk Presiden Soeharto, Wakil Presiden Try Sutrisno, dan Menristek BJ Habibie. Tapi yang utama adalah ratusan juta rakyat Indonesia yang akan menyaksikan momen bersejarah itu dengan rasa bungah.

Esok pagi, angin berhembus kencang di Lanud Husein. N250 keluar dari hanggar dikawal para insinyur IPTN. Di podium kehormatan, tampak Menristek Habibie sibuk menyambut tamu. Maklum, Habibie, Presiden Direktur IPTN, adalah tuan rumah perhelatan bersejarah itu. Puluhan wartawan, nasional dan internasional, juga tampak sibuk menyiapkan peralatan untuk mengabadikan prestasi bangsa di dunia kedirgantaraan setelah 50 tahun merdeka.

Tak lama berselang, pesawat carter Pelita Air mendarat. Pak Harto dan Ibu Tien terlihat turun dari pesawat. Keduanya mengenakan jaket putih bertuliskan “N250 First Flight”. Jaket yang sama dikenakan seluruh pejabat yang hadir. Menristek Habibie dan Ibu Ainun pun menyambut Pak Harto dan Ibu Tien.

Setelah sempat duduk di kursi tamu kehormatan, Pak Harto berjalan ke arah N250 dan menyalami para insinyur serta pilot penguji. Kemudian, Pak Harto dan para menteri menuju menara pengawas untuk mendapatkan penjelasan seputar N250 dari Menristek.

Sementara itu, kru menyiapkan pesawat. Mesin dinyalakan. Baling-baling berputar kencang. Suasana makin tegang. Pesawat melaju pelan, berputar arah kemudian mulai bergerak di landasan pacu. Kencang, semakin kencang dan akhirnya lepas landas. N250 akhirnya terbang membelah langit Bandung.

Ketegangan berubah tepuk tangan. Semua pejabat yang hadir di menara pengawas berdiri dan bertepuk tangan sambil berdiri. Tak sedikit yang menangis haru. Kala itu, Ibu Tien tampak memeluk Ibu Try Sutrisno dan Ibu Ainun. Pak Harto dengan bangga menyalami BJ Habibie. Senyum lebar tampak di wajah Pak Harto. N250 telah menorehkan tinta emas. Bangsa pun semakin siap tinggal landas.

Setelah mengangkasa selama 56 menit, N250 mendarat mulus. Berita pun tersebar luas ke seantero dunia. Indonesia, yang kerap disebut negara dari dunia ketiga, ternyata mampu membuat pesawat sendiri. “Keberhasilan uji coba penerbangan pesawat N250 adalah tonggak bersejarah bagi seluruh bangsa Indonesia karena berhasil merancang sendiri pesawat modern,” kata Pak Harto tak bisa menahan haru.

Bukan pesawat biasa

N250 bukan pesawat biasa. Pesawat ini merupakan generasi lanjutan CN235. Bedanya, jika CN235 masih menggunakan lisensi Casa, perusahaan dirgantara asal Spanyol, N250 murni hasil rancang bangun anak negeri.

Dibandingkan pesaingnya, seperti ATR42-500, Fokker 50, dan Dash 8-300, N250 adalah yang tercanggih karena menggusung teknologi “fly by wire”. Bahkan ketika itu, Boeing 737 buatan Amerika Serikat sekalipun belum menerapkan teknologi tinggi tersebut (Boeing baru menerapkan “fly by wire” pada seri 777).

Sebagai catatan, “fly by wire” bisa memberi peringatan jika ada komponen pesawat yang gagal beroperasi. Sistem “fly by wire” membuat pesawat otomatis berada dalam keadaan stabil. Misalnya, ketika pilot menggerakkan aileron pada sayap untuk membelokan pesawat, maka secara otomatis mesin kanan dan kiri pesawat akan menyesuaikan agar pesawat tidak kehilangan gaya angkat.

Pesawat MA-60 buatan China milik Merpati yang jatuh di Kaimana, Papua, baru-baru ini tidak dilengkapi dengan “fly by wire”. Saat MA-60 batal mendarat dan pilot menaikkan pesawat, tak ada yang memberi tahu bahwa kedua mesin pesawat bekerja pada torsi yang berbeda.

Perbedaan torsi mesin ini membuat pesawat miring sampai 38 derajat dan kehilangan gaya angkat. Pesawat pun jatuh. Kalau saja MA-60 menggunakan sistem “fly by wire” seperti N250, mungkin mesin pesawat secara otomatis akan men-setting kedua mesinnya agar seimbang.

Pak Harto memberi nama

N-250 dirancang dalam empat versi. Pak Harto memberi nama keempat versi tersebut. Produksi prototipe pertama yakni N 250 PA-1 diberi nama “Gatotkaca” diluncurkan 10 Agustus 1995, dan N-250 PA-2 diberi nama “Krincing Wesi” yang diluncurkan Agustus 1996. N-250 PA-3 diberi nama “Koconegoro” dan N-250 PA-4 diberi nama “Putut Guritno”.

“Pak Harto memberi empat nama tapi baru N-250 seri kedua, proyek N-250 harus dihentikan,” kisah PT Dirgantara Indonesia—yang menggantikan IPTN–Budi Santoso.

Memang akibat krisis moneter pada 1998, Indonesia memerlukan dana pinjaman bersyarat dari IMF. Salah satu syarat yang diajukan IMF, anehnya, adalah penghentian aliran dana APBN untuk industri pesawat. Hilangnya dukungan Pemerintah terhadap industri pesawat nasional menyebabkan industri pesawat pun ambruk. Banyak insinyur IPTN akhirnya bekerja untuk negara lain.

Kini setelah utang negara kepada IMF lunas pada 2006, dukungan pemerintah kepada industri dirgantara tak kunjung datang. Habibie pernah mengungkapkan kekecewaannya kepada pemerintah. Menurut Presiden Ketiga Indonesia itu, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sama sekali tak memiliki perencanaan serius untuk menghidupkan kembali industri dirgantara.

Padahal, dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, kebutuhan untuk memproduksi pesawat terbang sendiri menjadi krusial untuk menopang industri penerbangan domestik. Terbukti, kini sejumlah maskapai telah mengimpor pesawat buatan asing. Pada 2009, misalnya, Lion Air memesan 20 pesawat ATR72-500 dari Perancis. Padahal, ATR72 masih kalah canggih dari N250.

Saat ini, dua prototipe pesawat N250 cuma menjadi besi tua yang dijemur pada apron atau parkir pesawat milik PT DI di sebelah Lanud Husein Sastranegara. Dua pesawat N-250 bernama “Gatotkaca” dan “Krincing Wesi” itu saat ini tampak sekali catnya mulai lusuh dan tak terawat karena dibiarkan terkena hujan dan terik matahari di parkiran pesawat.

LEAVE A REPLY