Indonesia Harus Waspadai Pecahnya Konflik Laut China Selatan

0

Pelita.online – Indonesia harus mewaspadai pecahnya konflik di Laut China Selatan (LCS) seiring dengan adanya resesi ekonomi dunia yang saat ini terjadi. Konflik LCS diprediksi akan menyeret banyak negara yang memiliki kepentingan terhadap keberadaan geostrategis di perairan tersebut.

Panglima TNI periode 2013-2014, Moeldoko, mengingatkan, jika di LCS pecah konflik, maka akan ada dua negara utama terlibat di dalamnya, yakni Tiongkok dan Amerika Serikat (AS). Tidak tertutup kemungkinan, konflik di LCS akan menjadi pemantik pecahnya perang dunia ke III.

“Indonesia diharapkan tidak ikut terseret dalam konflik Laut China Selatan. Saya memandang Indonesia harus tetap perlu sebagai negara yang netral dan tidak terseret ke dalam konflik itu,” kata Moeldoko, dalam Webinar Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) bertema “Geopolitik Energi di Laut Cina Selatan: Kekuatan Diplomasi” di Jakarta, Sabtu (20/6/2020).

Menurut Moeldoko, Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis di LCS atau di perairan Natuna Utara. Jangan sampai Indonesia terseret ke dalam konflik yang justru melibatkan dua raksasa dunia.

“Saat ini, yang bisa dilakukan Indonesia, salah satunya dengan memperkuat posisi geopolitik di konflik LCS. Mengingat, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekuatan SDA yang dibutuhkan AS dan Tiongkok,” jelasnya.

Selama ini, kata Moeldoko, ada sejumlah negara yang memiliki kepentingan di LCS, seperti Taiwan, Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Tiongkok itu sendiri. Pecahnya konflik di LCS, akan menyeret AS sebagai negara yang juga memiliki kepentingan di perairan LCS.

“Adapun yang terjadi di Tiongkok, justru situasi ini dipergunakan untuk memperkuat nasionalismenya. Sementara, LCS sebagai pembenaran bagi AS dan menganggap sebagai momentum untuk menekan Tiongkok,” tandas Moeldoko.

Pendiri PYC dan pionir Universitas Pertahanan Indonesia, Purnomo Yusgiantoro, mengingatkan, berbicara konflik LCS setidaknya ada dua sudut pandang yang bisa dilihat Indonesia. Pertama menyingkapi adanya 9 titik garis tradisional putus-putus yang diklaim Tiongkok dan keberadaan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada disana.

Saat ini, diingatkan Purnomo, sudah ada tiga kapal induk Amerika yang berada di sekitar perairan tersebut. Sedikitnya, satu kapal induk Amerika sudah membawa 60 pesawat tempur di LCS.

“Tiongkok juga menurunkan kekuatannya. Kalau berbicara dari sisi soft power, upaya Asean sempat terhenti sejak ada Covid-19. Di satu sisi ada soft power, di satu sisi ada hard power. Kaitannya dengan Indonesia, sebetulnya kita tidak terlibat dalam tumpang tindih ini. Namun, kita dekat sekali dengan wilayah LCS,” kata Purnomo.

Menurut Purnomo, Indonesia tidak tinggal diam melihat adanya pergeseran kekuatan militer menuju ke LCS. Indonesia sudah memperkuat perairan Natuna dengan menurunkan kekuatan armada militer, mulai dari fregat, korvet dan lain sebagainya.

“Kekuatan kita sendiri di Natuna, telah menurunkan fregat, korvet dan pesawat tempur di samping kekuatan darat kita ada disana. Tentu kekuatan diplomasi juga bisa kembangkan dengan baik,” tandas Purnomo.

Pengamat pertahanan, Andi Widjajanto, menjelaskan, saat ini Tiongkok sudah menjadi kekuatan utama di Asia Timur. Pengembangan kekuatan militer Tiongkok sama sekali tidak terpengaruh dengan adanya pandemi Covid-19.

“Sekarang pembangunan kekuatan angkatan laut terbesar di dunia dipegang Tiongkok, dan sudah melampaui AS. Pembangunan kekuatan militer Tiongkok sangat konsisten sejak tahun 1979,” kata Andi Wijayanto.

 

Sumber : beritasatu.com

LEAVE A REPLY