Isu Perempuan di Tengah ‘Jualan’ Emak-emak dan Ibu Bangsa

0
Kelompok hawa diperebutkan kubu paslon 01 dan 02 lewat istilah Ibu Bangsa dan Emak-emak, namun dinilai masih menyorot isu perempuan di permukaan saja. (CNN Indonesia/Hesti Rika)

Pelita.online — Jelang Pemilu 2019, istilah ’emak-emak’ tidak lagi lekat dengan sosok yang mengomel saat anaknya bangun kesiangan atau tak mau makan. Emak-emak kini selalu dikaitkan dengan pasangan calon nomor urut 02 dalam Pilpres 2019, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Bahkan, paslon nomor urut 02 secara terang-terangan mengikutsertakan emak-emak ke dalam ‘jualan’ mereka dalam Pemilu 2019. Misalnya, Sandiaga yang pernah berkicau terkait janji kampanye soal kesejahteraan emak-emak dalam akun Twitter pribadinya.

“Bertemu dengan anak-anak muda generasi milenial hingga emak-emak. Anak-anak mudanya minta peluang dan kepastian kerja. Emak-emak minta harga-harga kebutuhan pokok lebih stabil dan terjangkau,” demikian kicauan Sandiaga pada 4 April 2019

Seolah tak mau kalah dengan pasangan Prabowo-Sandi, paslon nomor urut 01 Jokowi-Ma’ruf Amin pun dilekatkan dengan kaum emak. Namun, mereka memiliki istilah berbeda yakni ibu bangsa.

Dari catatan CNNIndonesia.com, istilah ini berawal dari peringatan Hari Ibu di Raja Ampat tahun lalu. Kemudian Jokowi kembali mengangkat istilah ini saat Sidang Umum Ke-35 Internasional Council Of Woman (ICW) dan Pertemuan 1.000 Organisasi Perempuan Indonesia di Yogyakarta pada Agustus silam.

Penggunaan istilah baik ’emak-emak’ maupun ‘ibu bangsa’ sama-sama merujuk pada kaum perempuan.

Namun, Yolanda Panjaitan, akademisi yang tergabung dalam Cakra Wikara Indonesia menuturkan istilah itu digunakan demi mobilisasi pendukung. Menurut Yolanda, baik ’emak-emak’ maupun ‘ibu bangsa’ justru menyederhanakan kemajemukan perempuan Indonesia.

“Perempuan Indonesia itu wajahnya banyak sekali, majemuk. Istilah ini berpotensi menempatkan perempuan di posisi tertentu dengan penyebutan seperti itu. Jadi oversimplifikasi,” katanya saat ditemui usai simulasi Pemilu 2019 si GOR Bulungan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (6/4).

Dia menerangkan penyebutan emak-emak menyiratkan posisi dan peran perempuan di wilayah domestik. Sedangkan istilah ibu bangsa menggambarkan perempuan memiliki ‘beban’ untuk mengasuh dan merawat.

“Label emak dan ibu itu membatasi, baik membatasi wajah maupun peran atau posisi perempuan. Dalam kenyataannya di masyarakat, wajah dan peran perempuan sangat beragam dan ini yang dinafikkan oleh penyebutan emak dan ibu tersebut,” imbuh Yolanda.

Padahal, menurutnya, ada banyak perempuan Indonesia yang tak hanya memiliki satu peran yakni sebagai emak atau ibu, tetapi juga peran-peran lain.

Penggunaan istilah emak dan ibu dalam konteks kampanye pilpres, kata Yolanda, memaksakan kategori identitas perempuan, yaitu yang terkait peran domestik saja.

Isu Perempuan dalam Pilpres 2019

Terkait perhatian akan isu perempuan, Yolanda mengatakan agar dua paslon peserta Pilpres 2019 mempertajam perjuangan mereka terhadap kesejahteraan perempuan.

Sembako dan jaminan kesehatan merupakan kebutuhan dasar, tetapi ia berharap kedua kandidat memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Perjuangan kesetaraan itu, katanya, misal bisa diwujudkan lewat perubahan pada UU Aparatur Sipil Negara (ASN). Yolanda menerangkan undang-undang tersebut dirasakan belum mengakomodasi perempuan dan kenaikan jabatan.

Di samping itu, kata dia, beleid tersebut pun belum mempertimbangkan perempuan yang punya peran ganda (bekerja dan mengurus rumah tangga). Perempuan kerap terbentur aturan kenaikan jabatan misal pendidikan dan latihan (diklat) yang berlangsung lama. Padahal, sang perempuan itu pun memiliki tanggung jawab keluarga.

Senada dengan Yolanda, Deputi I Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia Sutriyatmi mengatakan sembako memang kebutuhan semua orang. Namun, budaya Indonesia menempatkan perempuan sebagai pihak yang mesti memikirkan kebutuhan pokok untuk rumah tangganya.

Yolanda dan Sutriyami sepakat kedua paslon sudah menaruh perhatian pada kesejahteraan perempuan dan kaum rentan lain seperti kaum difabel dan lansia. Hanya saja, menurut mereka, dua paslon sebaiknya mempertajam program mereka.

Sutriyami menegaskan ada banyak persoalan mengenai perempuan tak hanya menyoal kenaikan harga sembako.

“Sekarang ini ya paling gampang gerakan perempuan sedang memperjuangkan batas minimal usia perkawinan. Kan perkawinan anak. Itu bisa jadi program penting bagi paslon, anggota legislatif. Perkawinan anak enggak cuma batas minimal usia. Tapi dampaknya,” imbuhnya. (els/kid)

LEAVE A REPLY