Isu Reposisi Koalisi, Apa Jadinya Bila Pemerintahan Jokowi tanpa Oposisi?

0

Pelita.online – Usai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, muncul isu soal berakhirnya koalisi pendukung Prabowo-Sandi. Bila benar koalisi itu bubar jalan, apa jadinya bila pemerintahan Presiden Jokowi berjalan tanpa oposisi?

Adalah Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan yang menyampaikan bahwa Prabowo mengatakan koalisi berakhir begitu putusan MK diketok. Isu ini juga bergulir seiring meluncurnya tawaran kursi pemerintahan untuk Partai Gerindra, partainya Prabowo.

Peneliti departemen politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, menjelaskan oposisi berguna dalam pemerintahan demokratis, yakni menjalankan fungsi kontrol dari parlemen.

“Fungsi kontrol ini penting supaya pemerintah terpilih tidak tergelincir menjadi otoriter atau antikritik,” kata Arya kepada wartawan, Jumat (28/6/2019).

Pernah, pemerintahan di Indonesia berjalan tanpa oposisi yang cukup memadai, yakni pada era Orde Baru Soeharto. Saat itu dominasi Presiden terlalu kuat, sistem checks and balances tak maksimal. Arya melihat era itu sudah berlalu dan demokrasi Indonesia telah berkembang ke arah yang lebih baik hingga kini. Namun kini, usai Pemilu 2019, bila semua partai ditarik menjadi pro-Jokowi, maka langkah mundur berpotensi terjadi.

“Kalau semua partai ditarik ke dalam pemerintahan, itu adalah kemunduran dalam demokrasi kita. Tak akan ada lagi kontrol dan penyeimbang di parlemen, tak akan ada lagi diskursus politik. Kalau pun ada oposisi di luar parlemen, itu tak akan punya power yang mencukupi. Mereka hanya akan teriak-teriak dari luar pagar,” kata Arya.

Semangat rekonsiliasi yang digelorakan usai Pilpres 2019 berpotensi disalahartikan menjadi semangat meniadakan oposisi. Caranya adalah dengan mengakomodasi kelompok yang semula berseberangan untuk menjadi pendukung pemenang kontes. Konretnya: tawarkan kursi menteri untuk politikus oposisi.

“Padahal, rekonsiliasi bukanlah akomodasi. Rekonsiliasi berarti komitmen membangun bangsa dan negara, mengakhiri pertikaian. Akomodasi politik lewat pemberian jabatan ke parpol yang berseberangan adalah cara yang keliru. Menurut saya, rekonsiliasi bukan berarti mendiadakan oposisi,” tutur Arya.

Pemilu 2019 digelar serentak. Parpol-parpol yang berlaga sudah berkelompok sejak awal sebelum Pemilu. Kelompok itu didasarkan atas kesamaan visi dan misi. Namun begitu putusan MK, kelompok-kelompok yang berbeda visi dan misi ini berpotensi tercampur.

Arya memprediksi, jika Jokowi memaksakan diri mengakomodasi kaum oposisi, itu justru berbahaya bagi pemerintahannya kelak. Soalnya, dia melihat, karakteristik kaum oposisi dan pendukung Jokowi cukup berbeda.

“Terlalu banyak perbedaan, ini akan merugikan Jokowi bila menarik semuanya ke pemerintahan. Itu malah bisa menjadi bumerang,” kata Arya.

Apa benar tak akan ada oposisi lagi?

Arya melihat, oposisi tak akan benar-benar lenyap dari peta politik Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin kelak. Yang ada hanya reposisi koalisi. Meski ada oposisi, namun itu bukanlah oposisi yang cukup bertenaga.

“Saya kira nanti tetap akan ada oposisi, tapi oposisi yang lemah,” kata Arya.

Sambil membolak-balik laman berita-berita daring, Arya melihat ada PKS yang masih ngotot di jalur oposisi. Indikasinya, ada berita-berita soal nada pernyataan politikus PAN dan Partai Demokrat yang mengarah mendekati Jokowi. Bahkan Gerindra sudah ditawari kursi, namun belum tegas ditolak. Hanya PKS yang dia lihat tegas ingin tetap menjadi oposisi.

“Saya kira PKS kalau solid di jalan oposisi, suara orang yang kecewa bisa terkumpul di PKS semua, tidak mustahil dia bisa memetik hasil di Pemilu 2024,” kata Arya.

 

Sumber : Detik.com

LEAVE A REPLY