Jejak Dinasti Saud di Arab Saudi dan Pengaruh Wahabisme

0

Pelita.Online – Selama berbada-abad, semenanjung Arab memainkan peran penting dalam sejarah sebagai jalur perdagangan dan sebagai tempat kelahiran Islam, serta paham Wahabi yang meluas.
Sejak Raja Abdulaziz Al-saud mendirikan Arab Saudi, perubahan di wilayah itu sangat mencengangkan, utamanya di infrastruktur.

Saudi mengubah dirinya dari negara gurun menjadi negara modern dan pemain utama di panggung internasional

Kurang dari 100 tahun setelah kelahiran Islam, Kerajaan Islam meluas dari Spanyol ke beberapa bagian India dan China. Meskipun pusat-pusat politik kekuasaan telah pindah dari Jazirah Arab, perdagangan berkembang di daerah tersebut.

Selain itu, kekaisaran Islam berkembang pada abad ke-17, saat sejumlah kerajaan Muslim memisahkan diri.

Kemudian, pada awal abad ke-18, seorang cendekiawan dan pembaharu Muslim bernama Muhammad bin Abdul Wahhab mulai menyarankan Saudi ke bentuk Islam yang murni.

Menurut Britannica, ia mengkhotbahkan ide-ide ‘radikal’ soal reformasi agama yang konservatif berdasarkan aturan moral yang ketat.

Ajarannya dipengaruhi cendekiawan abad ke-14, Ibn Taymiyyah. Ia menyerukan pemurnian Islam melalui pengusiran praktik-praktik yang ia lihat sebagai inovasi, termasuk teologi spekulatif, tasawuf, dan praktik keagamaan populer seperti ibadah suci.

Pengalaman Pahit Abdul Wahhab
Pengalaman Abdul Wahhab terbilang pedih. Ia sempat dianiaya para ulama dan pemimpin agama setempat lantaran ajarannya mengancam basis kekuasaan mereka.

Ia lalu melarikan diri dan mencari perlindungan di kota Diriyah, wilayah yang diperintah Muhammad bin Saud.

Abdul Wahhab dan Muhammad bin Saud sepakat mendedikasikan diri mengembalikan ajaran Islam yang murni kepada komunitas Muslim.

Dalam semangat itu, bin Saud mendirikan Negara Saudi Pertama, di bawah bimbingan spiritual bin Abdul Wahhab, yang hanya dikenal sebagai Syaikh.

Pada 1788, negara Saudi menguasai seluruh dataran tinggi tengah dan dikenal sebagai Najd.

Pada awal abad ke-19, kekuasaannya meluas ke sebagian besar Semenanjung Arab, termasuk Makkah dan Madinah.

Popularitas dan kesuksesan penguasa Al-Saud menimbulkan kecurigaan Kesultanan Utsmaniyah atau Ottoman, yang ketika itu menjadi kekuatan dominan di Timur Tengah dan Afrika Utara.

Pada 1818, Ottoman mengirim pasukan dalam jumlah besar ke wilayah barat Arabia. Pasukan itu dipersenjatai artileri modern.

Tentara Ottoman kemudian mengepung Diriyah, yang sekarang telah berkembang menjadi salah satu kota terbesar di semenanjung. Pasukan Ottoman meratakan kota dan membuat wilayah itu tidak bisa dihuni secara permanen. Mereka juga merusak sumur dan mencabut pohon kurma.
Pada tahun 1824, keluarga Al-Saud telah mendapatkan kembali kendali politik di Arab tengah. Turki bin Abdullah Al-Saudi, kemudian memindahkan ibu kotanya ke Riyadh, sekitar 32 kilometer dari selatan Diriyah. Negara Saudi Kedua pun terbentuk.

Menurut laporan Saudi Embassy, selama 11 tahun pemerintahan Turki, ia berhasil merebut kembali sebagian besar tanah yang hilang dari Ottoman.

Di bawah kendali Turki dan putranya, Faisal, Negara Saudi Kedua menikmati masa damai, kemakmuran, perdagangan dan pertanian yang berkembang pesat.

Namun, pada 1865 kesejahteraan itu hancur di era kepemimpinan putra Faisal, Abdulrahman saat diserbu tentara Ottoman yang ingin memperluas wilayah ke Semenanjung Arab.

Keluarga Al-Rashid dari Hail dan disokong Ottoman melakukan upaya menggulingkan Negara Saudi.

Abdulrahman terpaksa mengakhiri perjuangan pada 1891. Dia mencari perlindungan di Arab timur yang dikenal sebagai Rub’ Al-Khali, atau ‘Empty Quarter.’

Dari Rub’ Al-Khali, Abdulrahman dan keluarga melakukan perjalanan ke Kuwait, dan tinggal hingga 1902.
Anaknya yang masih kecil, Abdulaziz, turut ikut sang ayah. Ia tumbuh menjadi sosok yang tangguh dan memiliki sifat kepemimpinan secara alamiah.

Abdulaziz muda bertekad untuk mendapatkan kembali warisan dari keluarga Al-Rasyid, yang telah mengambil alih Riyadh.

Pada tahun 1902, Abdulaziz, dengan hanya 40 pengikutnya, melakukan pawai malam ke Riyadh untuk merebut kembali pangkalan militer kota, yang dikenal sebagai Benteng Masmak.

Peristiwa legendaris ini menandai awal terbentuknya negara Saudi modern.

Ia mendirikan Riyadh sebagai markas besarnya, Abdulaziz merebut semua Hijaz, termasuk Makkah dan Madinah pada 1924 hingga 1925. Dalam prosesnya, ia menyatukan suku-suku yang bertikai menjadi satu negara.

Pada tanggal 23 September 1932, Abdulaziz mendeklarasikan Kerajaan Arab Saudi, sebuah negara Islam dengan bahasa Arab sebagai bahasa nasionalnya dan Al-Qur’an sebagai konstitusinya.

Posisi Kerajaan Saudi kian kukuh setelah mendapat sokongan dari Kerajaan Inggris. Terlebih ketika Inggris, Amerika Serikat, dan sejumlah negara sekutu menjadi pemenang Perang Dunia II ‘menggebuk’ Jerman dan negara-negara sekutu seperti Jepang, Italia, termasuk Turki pada September 1945.

Kekuatan Ottoman Turki yang telanjur memilih merapat ke Jerman ikut dilucuti. Alhasil, Kerajaan Saudi semakin mendapat tempat pasca-Perang Dunia II.
Raja Abdulaziz tercatat secara resmi sebagai raja pertama Dinasti Saud di Arab Saudi. Kini singgasana kerajaan ditempati Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud.
Berikut sederet Raja yang memimpin Arab Saudi

Raja Abdulaziz (1932-1953)
Raja Abdulaziz memimpin Kerajaan dari 1932 hingga 1953. Di era kepemimpinannya, ia membawa Arab Saudi ke arah modernisasi. Diantara modernisasi itu yakni pembangunan infrastruktur negara, memperkenalkan teknologi modern, dan meningkatkan pendidikan, perawatan kesehatan dan pertanian.

Raja Saud (1953-1964)
Putra sulung Abdulaziz, Saud, mengambil alih kekuasaan usai kematian sang ayah pada tahun 1953. Dia melanjutkan warisan Raja Abdulaziz, membentuk Dewan Menteri dan mendirikan Kementerian Kesehatan, Pendidikan, dan Perdagangan.

Salah satu keberhasilan terbesar Raja Saud adalah pengembangan pendidikan. Di bawah pemerintahannya banyak sekolah didirikan di Saudi termasuk institut pendidikan tinggi pertama, Universitas Raja Saud, pada tahun 1957.

Raja Saud juga meninggalkan jejak di dunia internasional. Pada 1957, ia menjadi raja Saudi pertama yang mengunjungi Amerika Serikat. Kemudian pada 1962, ia mensponsori sebuah konferensi Islam internasional yang akan menjadi Liga Muslim Dunia.

Raja Faisal (1964-1975)
Raja Faisal bin Abdulaziz adalah seorang inovator visioner yang sangat menghormati tradisi.
Dia memprakarsai rencana pembangunan ekonomi dan sosial yang akan mengubah infrastruktur Arab Saudi, terutama industri. Dia juga mendirikan sekolah umum pertama untuk anak perempuan.

Dalam politik luar negeri, Raja Faisal menunjukkan komitmen yang kuat terhadap dunia Islam. Dia adalah kekuatan sentral di balik pembentukan Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 1971.

Sepanjang periode pergolakan tahun 1960-an dan 1970-an, yang mencakup perang Arab-Israel dan krisis minyak tahun 1973, Raja Faisal adalah suara untuk moderasi, perdamaian dan stabilitas.

Raja Khalid (1975-1982)
Khalid bin Abdulaziz menggantikan Raja Faisal pada tahun 1975. Ia juga menekankan pembangunan infrastruktur fisik negara secara besar-besaran.

Di panggung internasional, Raja Khalid merupakan penggerak utama dalam pembentukan Dewan Kerjasama Teluk (GCC) pada tahun 1981, sebuah organisasi yang mempromosikan kerjasama ekonomi dan keamanan di antara enam negara anggotanya: Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi.

Raja Fahd (1982-2005)
Di bawah Raja Fahd bin Abdulaziz, yang mengadopsi gelar Penjaga Dua Masjid Suci, Arab Saudi melanjutkan pembangunan sosial ekonomi yang luar biasa. Negara ini, juga muncul sebagai kekuatan politik dan ekonomi terkemuka.

Ia juga mendiversifikasi ekonomi dan mempromosikan perusahaan swasta serta investasi. Dia merestrukturisasi pemerintah Saudi dan menyetujui pemilihan kotamadya nasional pertama, yang berlangsung pada 2005.

Salah satu pencapaian terbesar Raja Fahd adalah serangkaian proyek untuk memperluas fasilitas Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. menampung jutaan peziarah yang berkunjung setiap tahun.

Sebagai Putra Mahkota pada tahun 1981, ia mengusulkan delapan poin rencana untuk menyelesaikan konflik Arab-Israel dan memberikan Palestina sebuah negara merdeka.

Rencana tersebut dianggap sebagai salah satu upaya pertama untuk menemukan penyelesaian yang adil dan langgeng, yang mempertimbangkan kebutuhan Arab dan Israel.

Raja Abdullah (2005 – 2015)
Penjaga Dua Masjid Suci Raja Abdullah bin Abdulaziz naik takhta setelah kematian Raja Fahd pada 1 Agustus 2005.

Dipengaruhi oleh ayahnya, Raja Abdulaziz, ia menjunjung agama, sejarah, dan warisan Arab.

Diplomasi internasionalnya mencerminkan peran kepemimpinan Arab Saudi dalam membela isu-isu Arab dan Islam dan untuk pencapaian perdamaian, stabilitas dan keamanan dunia.

Perdamaian di Timur Tengah dan penderitaan rakyat Palestina menjadi perhatian khusus Raja Abdullah.

Usulannya untuk perdamaian Arab-Israel yang komprehensif, yang dipresentasikan pada KTT Arab Beirut pada tahun 2002, telah diadopsi oleh Liga Negara-negara Arab dan dikenal sebagai Inisiatif Perdamaian Arab.

Raja Salman (2015-2017)
Penjaga Dua Masjid Suci Raja Salman bin Abdulaziz naik takhta setelah kematian Raja Abdullah pada 23 Januari 2015.

Raja Salman Salman ditunjuk sebagai Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi, dan diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri, oleh Penjaga Dua Masjid Suci Raja Abdullah bin Abdulaziz pada 18 Juni 2012. Ia juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan.

Dia adalah penerima beberapa gelar kehormatan dan penghargaan akademik, termasuk gelar doktor kehormatan dari Universitas Islam Madinah, penghargaan akademik Pangeran Salman, dan Medali Kant oleh Akademi Ilmu Pengetahuan dan Humaniora Berlin-Brandenburg sebagai penghargaan atas kontribusinya pada bidang sains.

Selama kunjungan resmi ke Amerika Serikat pada April 2012, Raja Salman bertemu dengan Presiden Barack Obama dan sejumlah pejabat AS.

Putra Mahkota Mohammed bin Salman (2017-sekarang).

MBS diangkat menjadi putra mahkota pada 2017 lalu. Ia disebut mengeluarkan gebrakan baru sebagai langkah mengubah kultur, dari negara konservatif menjadi lebih moderat. Terutama, dalam penerapan hukum syariat Islam.

Aturan itu diantaranya, mengizinkan pengunjung berpakaian bikini di pantai di wilayah tertentu, perempuan boleh hidup sendiri tanpa wali, perempuan boleh menyetir, ganti nama tanpa izin wali, dan perempuan masuk militer.

sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY