Kisah Dewi Sartika Dirikan Sekolah Perempuan Pertama, Untuk Perjuangkan Kesetaraan dalam Pendidikan

0

pelita.online – Pada era Kolonial Belanda, tidak semua pribumi bisa belajar membaca dengan leluasa apalagi sekolah. Hanya orang Eropa dan pribumi menak priyayi atau bangsawan yang mendapat akses sekolah. Para anak tukang kebun, anak babu, pembantu dan kalangan pribumi yang dianggap rendahan nampak mustahil untuk bisa sekolah terlebih anak perempuan.

Di tengah situasi kesenjangan semacam itu, rasa solidaritas sebagai sesama anak bangsa muncul dari seorang Dewi Sartika. Tidak seperti kalangan menak lainnya, Dewi Sartika yang beruntung bisa sekolah karena posisi keluarganya nampak peka terhadap nasib bangsanya. Tidak hanya berwacana, ia membuat aksi nyata, berani mengajar baca tulis kepada perempuan pribumi. Bahkan aksi nyata itu ia lakukan sejak masih belia, saat masih tinggal di Cicalengka.

Di umur 10 tahun, Dewi diam-diam mengajarkan para anak pembantu membaca dan menulis. Meski di golongan menak, Dewi tak gengsi dan tetap berbaur dengan para rakyat jelata. Di belakang gedung kepatihan, Dewi kerap mengajar anak-anak pembantu belajar baca tulis bahasa Belanda dengan alat seadanya. para rakyat jelata ini belajar baca tulis menggunakan arang, pecahan genting dan papan bekas.

Dilansir dari buku Meneladani Kepahlawanan Kaum Wanita karya Edi Warsidi, akibat perbuatan Dewi, Cicalengka gempar karena sejumlah anak-anak pembantu kepatihan mampu membaca, menulis dan berbicara dalam Bahasa Belanda meski secara sederhana.

Rupanya itu adalah buah tangan Dewi Sartika kecil yang kerap bermain sekolah-sekolahan. Dewi selalu berperan sebagai guru dan ia memberikan kesempatan kepada para anak pembantu bagaimana rasanya sekolah dan bisa mempelajari kunci ilmu pengetahuan yaitu membaca dan menulis. Meski di ranah permainan, secara tidak langsung, Dewi mengajari para anak pembantu membaca dan menulis bahasa Belanda.

Namun kebersamaan antara Dewi dan anak-anak pembantu di Cicalengka harus berakhir ketika Dewi remaja. Ia harus kembali ke Bandung untuk tinggal bersama ibunya. Tak hanya bermain sekolah-sekolahan. Di usia remaja ia memiliki visi jelas untuk membuat sekolah betulan. Semangatnya untuk menciptakan kesetaraan dalam kesempatan belajar tidak padam.

Ia juga mendapat dukungan dari pamannya, Bupati Martanagara, yang memiliki visi yang serupa. Namun, adat pada waktu itu sangat membatasi peran wanita, dan hal ini membuat pamannya khawatir. Namun, karena ketekunan dan semangatnya yang tak pernah pudar, akhirnya Dewi Sartika berhasil meyakinkan pamannya untuk mengizinkannya mendirikan sekolah untuk perempuan.

Sejak tahun 1902, Dewi Sartika mulai merintis pendidikan bagi perempuan. Ia mengajar di sebuah ruangan kecil di belakang rumah ibunya di Bandung, mengajarkan berbagai keterampilan seperti merenda, memasak, menjahit, membaca, dan menulis kepada anggota keluarganya yang perempuan.

Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A Martanegara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika mulai membuka Sakola Istri atau sekolah perempuan pertama se-Hindia Belanda. Sebelum ini tidak pernah ada sekolah perempuan di seantero wilayah pendudukan Belanda.

Untuk mengajar para murid perempuan ini, Dewi dibantu oleh dua saudaranya yang bernama Poerwa dan Oewid. Angkatan pertama sekolah itu berjumlah 20 orang. Mereka belajar di pendopo Kabupaten Bandung.

Singkat cerita, sekolah ini semakin diminati masyarakat sekitar. Sebab tidak ada tempat lain yang menyediakan kesempatan belajar kepada rakyat jelata. Semakin banyak murid yang mendaftar, pendopo dan ruang kepatihan Bandung pun tak sanggup menampung murid-murid.

Alhasil pada tahun 1905, Dewi memutuskan untuk membeli lahan di Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Menggunakan uang pribadi dan dana bantuan dari Bupati Bandung, Dewi akhirnya bisa membangun sekolah sendiri. Lima tahun kemudian, Dewi juga mengeluarkan uang dari kantong pribadinya untuk memperbaiki sekolah supaya lebih representatif.

Sepak terjang Dewi mendirikan sekolah perempuan menarik perhatian para pemimpin daerah lain. Sejumlah daerah mulai meniru tindakan yang dilakukan Dewi. Singkat cerita, sekolah istri pun bermunculan di wilayah lain.  Pada tahun 1912 berdiri 9 sekolah perempuan di wilayah Pasundan. Dan pada tahun 1920 telah terdapat sekolah perempuan di seluruh wlilayah Pasundan.

Sekolah perempuan Dewi Sartika pernah mengalami ujian berat saat perang dunia ke-1. Saat itu terjadi malaise atau krisis keuangan global. Beberapa tahun kemudian, sekolah perempuan Dewi Sartika harus berhenti beroperasi karena Bandung jadi medan pertempuran dan diduduki Belanda.

Dewi Sartika kemudian mengungsi ke Tasikmalaya dan wafat pada 11 September 1947. Pahlawan nasional itu dimakamkan dalam sebuah upacara pemakaman sederhana di Pemakaman Cigagadon, Desa Rahayu, Kecamatan Cineam, Tasikmalaya. Saat ini perjuangannya menciptakan kesetaraan dalam pendidikan mulai membuahkan hasil.

sumber : tempo.co

LEAVE A REPLY