Koalisi Sipil: Omnibus Law Ciptaker Sudutkan Masyarakat Adat

0

Pelita.online – Koalisi Masyarakat Sipil menilai isi dalam draf RUU Omnibus Law Cipta Tenaga Kerja (Ciptaker) yang telah disampaikan pemerintah ke DPR justru makin menyudutkan posisi masyarakat adat.

“RUU ini sekali lagi abai dan tidak berhasil mengenali keberadaan masyarakat adat sebagai subjek yang paling rentan terdampak investasi. Juga gagal melihat peran masyarakat adat dalam pembangunan perekonomian daerah dan penjagaan kelestarian lingkungan hidup. Semisal Pengadaan lahan untuk kegiatan usaha yang paling banyak diatur, dan mengancam masyarakat adat di dalam RUU Cipta Kerja,” ujar salah satu perwakilan koalisi, Manajer Advokasi RMI Wahyubinatara Fernandez dalam keterangan pers kepada wartawan, Jakarta, Selasa (25/2).

Ia mengatakan potensi konflik lahan karena perampasan tanah di wilayah-wilayah adat akan meningkat bila omnibus law itu disahkan DPR.
Sejauh ini pun, sambungnya, dari perangkat undang-undang yang ada, kepastian hukum masyarakat adat masih terpinggirkan walau telah ditegaskan dengan lugas pengakuannya dalam konstitusi, UUD 1945.

“[Pengakuan masyarakat adat dalam konstitusi] ini ada di Pasal 18B dan Pasal 28I [UUD 1945],” kata dia.

Di tempat yang sama, Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman mengatakan walau sudah ditegaskan dalam UUD 1945, sejauh ini ada perbedaan batasan atau definisi mengenai masyarakat adat pada masing-masing undang-undang terkait seperti di UU Kehutanan, Agraria, dan lainnya.

Oleh karena itu, sambungnya, dia menekankan RUU Masyarakat Adat yang sudah masuk Prolegnas 2020 itu harus menyepakati penyeragaman definisi yang membatasi secara khusus mengenai masyarakat adat.

“Ada tiga yang kami tekankan untuk RUU Masyarakat Adat ini,” kata Arman.

Tiga tuntutan itu adalah mengenai kepastian hukum yakni menyeragamkan definisi tentang masyarakat adat. Membuka ruang bagi masyarakat adat untuk mendaftarkan diri, selain pemerintah harus mendata keberadaan mereka. Dan, bisa menjadi legitimasi di mata hukum baik bagi masyarakat adat maupun pemerintah.

“Proses pengakuan masyarakat adat itu harus mudah dan murah,” kata dia.

Arman mengatakan di masyarakat adat di Indonesia yang telah tercatat pihaknya mencapai sekitar 2.371, dan tak menutup kemungkinan lebih banyak lagi.

Koalisi Sipil: Omnibus Law Ciptaker Sudutkan Masyarakat AdatPresiden Joko Widodo (kedua kanan) saat menerima kunjungan perwakilan masyarakat adat di Istana Kepresidenan, Jakarta, 22 Maret 2017. (CNN Indonesia/Resty Armenia)

Selain itu, AMAN juga mencatat kriminalisasi terhadap masyarakat adat masih terus berlangsung sampai dengan saat ini. Berdasarkan catatan pihaknya, setidaknya ada 125 masyarakat adat di 10 wilayah yang menjadi korban kriminalisasi di kawasan hutan. Beberapa di antaranya berada di Bengkulu, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, NTB, NTT, hingga Maluku Utara.

Oleh karena itu, Arman dkk berharap RUU Masyarakat Adat bisa diketok palu pada masa kerja DPR periode 2019-2024. RUU itu sendiri sebelumnya sudah masuk ke prolegnas pada dua periode masa bakti DPR sebelumnya, namun tak jua terwujud. Arman mengatakan saat ini proses pembahasan RUU itu disebutkan sudah disepakati masuk ke tingkat Panitia Kerja (Panja) di DPR RI. Namun, kata dia, sejauh ini publik belum mendapatkan informasi proses kerja Panja tersebut.

CNNIndonesia.com mengonfirmasi ke Wakil Ketua Badan Legislasi [Baleg] DPR RI, Willy Aditya, perihal pembahasan RUU tersebut. Ia mengatakan hal tersebut sudah melalui tahap harmonisasi di Baleg, dan masih menunggu fraksi mengirimkan nama-nama anggota Panja.

“Belum [ada pembahasan lagi],” kata politikus NasDem itu saat dihubungi via pesan singkat, Selasa.

Definisi Masyarakat Adat

Anggota koalisi masyarakat sipil lainnya, Direktur debtWatch Indonesia, Arimbi Heroepoetri mengatakan pihaknya menekankan setidaknya delapan hal yang harus masuk ke dalam draf RUU Masyarakat Adat saat pembahasan di DPR. Seperti yang diutarakan Arman, poin pertama adalah merujuk pada satu istilah atau masyarakat adat.

“Di beberapa undang-undang, dan kementerian/lembaga, ada yang menyebutnya masyarakat adat, kesatuan masyarakat hukum adat, masyarakat hukum adat, masyarakat tradisional dan lain lagi. Jadi kita inginnya merujuk kepada satu istilah yaitu masyarakat adat sehingga tidak menimbulkan keributan lainnya,” kata dia.

Koalisi itu sendiri mencatat setidaknya ada 19 undang-undang terkait yang mendefinisikan atau memberi batasan pada masyarakat adat secara berbeda-beda, dan tak sinkron.

Tujuh tuntutan lainnya adalah RUU Masyarakat Adat harus berbasis HAM, memuat aturan pemulihan hak, mengakui hak atas identitas budaya, pengaturan penyelesaian konflik, pengakuan dan perlindungan kekayaan intelektual. Lalu pengakuan tentang hak anak, pemuda, dan perempuan adat. Terakhir adalah mengenai tindakan khusus sementara masyarakat adat seperti pendidikan bagi kelompok mainstream agar mengenali dan menghormati eksistensi masyarakat adat.

Untuk definisi istilah masyarakat adat, dalam pengenalannya, Arimbi mengatakan setidaknya ada tiga indikator yang perlu diperhatikan.

“Mereka mampu mengenali asal-usul leluhurnya… ada teritori atau wilayah yang bisa dikenali, walaupun mereka sudah tergusur tetapi dia bisa menyebutkan wilayah tersebut… Dan, masih terikat dengan adat,” kata Arimbi mewakili koalisi sipil yang terdiri atas 26 organisasi tersebut.

 

Sumber : iNews.id

LEAVE A REPLY