Komisi X: Sistem Zonasi Sekolah Diterapkan saat Kondisi Belum Siap

0

Pelita.online – Sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menuai keluhan dari pihak siswa yang hendak mendaftar ke sekolah. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendorong sistem zonasi dievaluasi. Komisi bidang pendidikan DPR menilai, sebenarnya kondisi sekolah-sekolah Indonesia belum siap untuk mengikuti sistem zonasi.

“Sistem zonasi ini tujuannya bagus tapi belum bisa diterapkan,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian, kepada wartawan, Jumat (21/6/2019).

Sistem zonasi memerlukan prasyarat yang wajib dipenuhi. Bila prasyarat itu belum ada, maka sistem zonasi belum bisa diterapkan. Prasyarat pertama adalah meratanya sarana dan prasarana sekolah di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan temuan Panitia Kerja (Panja) Evaluasi Pelaksanaan Pendidikan Dasar dan Menengah Komisi X DPR, faktor sarana dan prasarana masih belum memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP). Data per Juli 2016 yang mereka kantongi menunjukkan ada 1.367.143 ruang kelas rusak yang butuh perbaikan.

Prasyarat kedua yang harus dipenuhi sebelum sistem zonasi diterapkan adalah ketersediaan guru. Menurut Hetifah, sampai saat ini Indonesia kekurangan 988.133 guru PNS, namun jika didalami berdasarkan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) per Desember 2018 untuk data kebutuhan Guru SD (guru kelas, muatan lokal, penjaskes, seni/budaya/prakarya), angka kekurangan guru mencapai 1.168.806 guru.

“Pemerataan sarana dan prasarana serta guru belum terwujud. Ada sekolah yang punya sarana dan prasarana serta guru yang sudah bagus, tapi banyak sekolah yang tidak memenuhi standar pelayanan,” kata Hetifah.

“Ini belum siap. Prasyaratnya (pemerataan) belum dipenuhi, tapi sistem zonasi sudah dilakukan,” ujarnya.

Mana yang lebih dulu harus dilakukan, memeratakan kualitas sekolah terlebih dahulu atau menerapkan sistem zonasi terlebih dahulu? Hetifah menilai persoalan itu seperti pertanyaan mana yang lebih dulu apakah ayam atau telur. Tentu saja bila telur itu sudah berhasil diidentifikasi sebagai telur ayam, maka jelas sudah, ayam lebih dulu ada ketimbang telur.

Tujuannya bagus: menghapus favoritisme

Hetifah yang merupakan politikus Partai Golkar ini menilai tujuan sistem zonasi sudah baik, yakni menghapus favoritisme, dengan kata lain semua sekolah diharapkan bisa menjadi sekolah favorit karena sama baiknya satu sama lain. Tapi kenyataannya Indonesia belum sampai pada kondisi itu.

“Tujuannya bagus, yakni supaya tidak ada favoritisme sekolah. Tapi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) seharusnya tidak membuat sistem perankingan tentang sekolah unggulan, peringkat pertama, kedua, dan seterusnya,” kata Hetifah.

Sistem akreditasi masih diterapkan, yakni di bawah Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah. Ada sekolah berakreditasi A, B, dan C. Ini adalah bentuk favoritisme. Hetifah melihat, seharusnya anggaran pendidikan dialokasikan lebih banyak untuk sekolah-sekolah yang berkekurangan, bukan dialokasikan untuk insentif bagi sekolah-sekolah unggulan.

“Sistem akreditasi atau pemeringkatan sekolah harus dikaji ulang jika PPDB dengan sistem Zonasi ini bertujuan menghilangkan favoritisme terhadap sekolah tertentu. Di lapangan, sekolah yang dikatakan favorit sangat khawatir akan menurunkan peringkat atau mutu sekolah ketika 50% siswa yang diterima dari 90% kuota PPDB sistem zonasi adalah siswa yang memiliki kemampuan rendah,” tutur perempuan bergelar Master kebijakan publik dari National University of Singapore dan Doktor ilmu politik Flinders University ini.

Kini sistem zonasi sudah diterapkan dan menuai protes. Komisi X DPR akan melakukan kunjungan kerja ke Surabaya, kota dengan aksi protes terhadap sistem zonasi yang mengemuka. Komisi X DPR juga mengundang Menteri Pendidikan Muhadjir untuk hadir pada rapat kerja, Senin (24/6) besok.

Menurut Hetifah, solusi polemik sistem zonasi bukanlah menghapus sistem zonasi itu sendiri, namun memeratakan alokasi anggaran pendidikan. “Jangan kita kembali ke titik nol lagi. Solusinya, anggaran dialokasikan lebih banyak justru kepada sekolah-sekolah yang berkekurangan. Kalau sekarang kan justru sekolah-sekolah unggulan malah dapat lebih banyak. Esensinya adalah menghapus favoritisme,” kata Hetifah.

 

Sumber : Detik.com

LEAVE A REPLY