Konsisten Jaga Kualitas, Gudeg Bu Djuminten Eksis Seabad

0

Pelita.online – Tak semua kota besar sibuk. Ada kota besar yang tak seambisius itu namun terasa sangat hidup. Yogyakarta yang nyentrik ini pernah menjadi ibu kota tapi tak menjadikannya kota yang tak pernah tidur, layaknya karakter Jakarta.

Di tempat yang berjuluk kota seni ini terasa waktu berjalan pelan namun pasti. Seakan setiap detik berharga dan membuat kita terhenti untuk memperhatikan hal yang kecil-kecil yang biasanya terlewat mata.

Yogyakarta adalah kota yang detail dalam berkarya. Lihat saja Candi Borobudur yang menjadi keajaiban dunia. Batiknya yang punya seribu cerita. Pun gudegnya yang khas.

Yogyakarta menawarkan sejumlah warung gudeg yang patut dikunjungi. Salah satunya Gudeg Bu Djuminten yang konon katanya sudah ada jauh sebelum zaman kemerdekaan.

“Gudeg Bu Djuminten buka dagangan sejak tahun 1926. Saat ini dipegang oleh generasi ketiga,” mengutip akun resmi Grab Indonesia, Selasa (21/1).

Suasana jadul warungnya pun terasa begitu kental. Dekorasinya klasik minimalis ala bertandang ke rumah oma.

Pak Sutrisno merupakan pengelola warung gudeg ini hingga langgeng bertahan. Keberhasilan Pak Sutrisno membuat nama Gudeg Bu Djuminten melegenda dikarenakan gudegnya berbeda dari yang lain.

“Ciri khas yang tak ditinggalkan adalah kuah areh yang terasa gurih di lidah. Arehnya basah. Diramu dari kelapa asli sehingga kentalnya seperti kuah Padang, tak seperti gudeg umumnya yang didominasi rasa manis.”

Sudah satu abad Gudeg Bu Djuminten berjaya, Pak Sutrisno nyatanya tak sendirian. Rahasianya dipegang oleh seorang lain, Pak Joko. Dialah yang bertanggung jawab di dalam dapur dan segala urusan di sana, dan mempertahankan olahan tetap sama.

Di usianya yang sudah lebih dari setengah abad, Pak Joko masih terhitung tajam memastikan kualitas ayam kampung mudanya dimasak dengan bumbu semur selama satu setengah jam.

Ada lagi rahasia lainnya. Proses memasak bahan-bahan bakunya pun tak sembarangan. Pemakaian kayu bakar dari pohon sono keling masih diteruskan sebagai warisan yang terjaga.

“Tapi tidak semua dimasak di atas kayu ini. Hanya areh, gudeg, dan telurnya. Gudegnya sendiri, butuh waktu tiga jam lebih untuk dimasak,” ujar Pak Joko.

Saking lamanya waktu memasak, Gudeg Bu Djuminten dimasak tiga hari sekali dalam gentong besar berkapasitas satu kuintal. Dalam satu kali memasak gudeg menghabiskan dua puluh ekor ayam sekaligus. Tetapi betul adanya. Waktu menentukan kualitas.

Tak sulit menemukan Warung Gudeg Bu Djuminten. Ancang-ancangnya dari tugu Jogja, cari saja kawasan Kranggan, yang masih jadi bagian dari kawasan pecinan Jogja.

Bagi Anda yang pendatang, tak perlu khawatir tersesat jika naik GrabCar atau GrabBike karena jalannya mudah diakses. Jika tak sempat ke sana atau malas mengantre, tinggal pesan saja di layanan GrabFood.

 

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY