Kronologi Pembatalan Perpres Jokowi soal Dokter Spesialis

0

Pelita.online – MA mencoret kebijakan Presiden Jokowi sehingga pemerintah tak bisa menyebar dokter spesialis sampai ke seluruh Indonesia.

Putusan tersebut menganulir Perpres Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS). Alasan penolakan ini disebabkan karena dianggap melanggar UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 19 tahun 1999 tentang Konvensi ILO soal Penghapusan Kerja Paksa. MA menilai bahwa adanya wajib kerja 1 tahun serta WKDS di daerah di seluruh Indonesia dianggap sebagai bagian dari kerja paksa.

Berikut kronologi dianulirnya Perpres soal WKDS oleh MA:

1. Tanggal 12 Januari 2017
Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah (Perpres) tentang Program Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS).

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 4 Tahun 2017 berisi dokter spesialis wajib kerja 1 tahun serta WKDS di akhir masa pendidikan yang dapat dinilai sebagai syarat kelulusan pendidikan, wajib menyerahkan Surat Tanda Registrasi (STR) dan salinan STR ke Menteri Kesehatan.

Dalam perpres tersebut bagi dokter lulusan spesialis, harus bersedia ditugaskan diseluruh wilayah di Indonesia seperti:
1. Rumah sakit daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan
2. Rumah sakit rujukan regional
3. Rumah sakit rujukan provinsi

2. Tanggal 17 Maret 2017
Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB) membuat surat terbuka yang ditujukan untuk Presiden RI Joko Widodo dengan judul “Tanggapan PDIB tentang Perpres Wajib Kerja Dokter Spesialis” yang berisi soal pertanyaan seputar pasal 19, 21, dan 29 dalam Perpres Nomor 4 Tahun 2017 tentang WKDS.

Surat terbuka yang dibuat oleh James Allan Rarung sebagai ketua umum PDIB dan dimuat dalam salah satu portal blog Indonesia menuliskan:

Meskipun kami membuat surat terbuka berupa pertanyaan ini, bukan berarti kami menentang pendistribusian dan pemerataan dokter spesialis di seluruh pelosok Indonesia. Kami malah sangat mendukung hal ini. Namun, yang kami tidak setujui adalah jika ada unsur paksaan ataupun tekanan dalam penerapannya.

Bukankah banyak sekali aturan di negara kita yang tidak membolehkan lagi segala bentuk pemaksaan? Silahkan bagi yang sukarela dan senang hati mengikuti program ini, kalau perlu diberikan penghargaan yang setinggi-tingginya. Akan tetapi janganlah ada “kerugian” atau tindakan yang “dapat merugikan hak asasi” bagi mereka yang tidak mau mengikutinya.”
3. Tanggal 29 Maret 2017
Komnas HAM menerima pengaduan dari dua organisasi perkumpulan dokter yang tergabung dalam Komite Nasional Kesehatan dan Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB).

4. Tanggal 17 April 2017
Komnas HAM melakukan Focused Group Discussion (FGD) yang dihadiri oleh Kementerian Kesehatan RI, Kementerian Hukum dan HAM RI, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI, Majelis Pembina Kesehatan Umum, PP Muhammadiyah, Ketua Komite Nasional Kesehatan dan Ketua PDIB.
 
5. Tanggal 15 Juni 2017
Komnas HAM mengeluarkan surat rekomendasi No.835/R-PMT/VI/2017 tentang Perpres WKDS yang ditujukan kepada Presiden, Menteri Kesehatan, dan Menristek Dikti yang membenarkan adanya unsur pelanggaran HAM dalam Perpres tersebut. Komnas HAM juga merekomendasikan agar Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) yang berasal dari biaya pribadi atau dukungan swasta diberi kebebasan untuk memilih untuk mengikuti WKDS atau tidak.

6. Tanggal 30 Juni 2018
Dokter Ganis Irawan, Wakil Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Aceh Tenggara menulis sebuah tulisan yang dimuat dalam salah satu portal berita di Indonesia dengan menuliskan alasan WKDS harus dihentikan.

“Korban langsung dari WKDS ini adalah para mahasiswa peserta program pendidikan dokter spesialis (biasa disebut sebagai PPDS) jalur mandiri. Yaitu PPDS yang pembiayaan studinya berasal dari kantong pribadi, tanpa beasiswa dari pemerintah daerah atau pusat.”

“Permasalahan yang mencuat kemudian adalah dampak teknis dari WKDS seperti daftar antrian yang menunda kelulusan, wanprestasi pembayaran insentif jasa medis oleh Rumah Sakit tempat penugasan, perlakuan sewenang-wenang dari pejabat setempat dan lain-lain,” tulis Ganis.

7. Tanggal 13 Juli 2018
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam (Papdi) mengadakan Kongres Nasional di Kota Solo. Salah satu pembahasan dalam kongres tersebut adalah Papdi menyatakan setuju dalam mendukung program kerja WKDS karena pemerataan dokter spesialis telah menjadi masalah tersendiri di Indonesia.

8. Tanggal 7 September 2018
Dokter Ganis Irawan yang juga masih menjadi mahasiswa Universitas Syah Kuala, Aceh fakultas spesialis kedokteran ini mendaftarkan permohonan uji materi terhadap Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis ke Mahkamah agung.

9. Tanggal 18 September 2018
MA mengabulkan permohonan dr. Ganis Irawan.

10. Tanggal 18 Desember 2018
Tiga hakim MA, Irfan Fachrudin, Is Sudaryono, dan Supandi resmi membatalkan WKDS sesuai dengan keputusan MA yang tertuang dalam situs resminya.
11. Tanggal 5 April 2019
Perpres  Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Doktor Spesialis dicabut dan diberi tenggat waktu hingga 90 hari yaitu 18 April 2019 sejak putusan MA diterima.

12. Tanggal 29 Oktober 2019
MA menolak kebijakan Joko Widodo perihal Program Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) dalam  Perpres Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Doktor Spesialis karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 19 Tahun 1999 tentang Konvensi ILO mengenai Penghapusan Kerja Paksa.

13. 4 November 2019
Mahkamah Agung (MA) mencoret kebijakan Presiden Joko Widodo Perpres Nomor 4 Tahun 2017 dengan diketoknya putusan Judicial ReviewNomor 62 P/HUM/2018. MA menolak Prepres tersebut dengan alasan wajib kerja merupakan kerja paksa. Atas putusan itu Jokowi kemudian mengeluarkan Prepres Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pendayagunaan Dokter Spesialis.

Dalam Perpres tersebut, tertuang pasal 16 ayat 2 dan pasal 17 ayat 3 yang mengubah wajib kerja menjadi kerja sukarela. Bunyi dari pasal tersebut adalah:

“Peserta penempatan dokter spesialis ditempatkan RS milik Pemerintah Pusat atau Rumah Sakit milik Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a dan b berupa:
1. RS daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan
2. RS rujukan regional; atau
3. RS rujukan provinsi
yang ada di seluruh wilayah Indonesia.

Yang diutamakan adalah spesialis obstetri dan ginekologi, spesialis anak, spesialis bidan, spesialis penyakit dalam, spesialis anastesi dan terapi intensif. Dalam menempatkan jenis spesialisasi lainnya, menteri mempertimbangkan kebutuhan pelayanan kesehatan khusus di masyarakat.

 

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY