MA Perintahkan Panasonic Healthcare Indonesia Bayar Pajak Rp18,85 Miliar

0

Pelita.online – Mahkamah Agung (MA)memerintahkan PT Panasonic Healthcare Indonesia tetap membayar pajak penghasilan (PPh) Badan sejumlah Rp18.855.074.657.

PT Panasonic Healthcare Indonesia (PHCI) merupakan anak perusahaan PHC Corporation Group yang berbasis di Jepang. PT PHCI memproduksi dan menyalurkan sejumlah alat-alat kesehatan, di antaranya Blood Glucose Monitor, Medical Imaging Monitor, Dental Intraoral Camera, Heated Incubator, dan Ultra Low Temperature Freezer.

Perintah tersebut termaktub dengan jelas dalam putusan peninjauan kembali (PK) nomor: 376/B/PK/Pjk/2020. PK diajukan oleh PT Panasonic Shikoku Electronics Indonesia yang sekarang bernama PT Panasonic Healthcare Indonesia (PHCI) sebagai pemohon PK dan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan sebagai termohon PK. Perkara ini ditangani dan diputus oleh majelis hakim agung PK yang dipimpin Yulius dengan anggota M Hary Djatmiko dan Yosran.

PT PHCI mengajukan memori PK pada 03 Maret 2016 ke MA atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-65714/PP/M.XIA/13/2015 tertanggal 16 November 2015. Sedangkan Dirjen Pajak menyampaikan kontra memori PK pada 25 Juli 2018.

Dalam memori PK, PT PHCI memohon agar MA memutuskan tujuh hal. Di antaranya, satu, menerima dan mengabulkan permohonan PT PHCI sebagai pemohon PK atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor 65714 terbatas pada koreksi Dirjen Pajak, yang diajukan oleh PT PHCI untuk seluruhnya. Dua, mengabulkan permohonan pemohon PK untuk seluruhnya.

Tiga, membatalkan dan menyatakan tidak berlaku (a) Surat Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-13/WPJ.22/BD.06/2012 mengenai Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penghasilan Pasal 26 Masa Pajak Januari sampai dengan Maret 2009 dan (b) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penghasilan Pasal 26 Masa Pajak Januari sampai dengan Maret 2009 Nomor 00005/204/09/431/10 tertanggal 08 Oktober 2010, dengan segala akibat hukumnya.

Empat, menetapkan bahwa perhitungan perpajakan PPh Pasal 26 masa pajak Januari hingga Maret 2009 pemohon PK di antaranya jumlah yang masih harus dibayar adalah nol/nihil. Lima, menghukum Dirjen Pajak untuk mengembalikan kepada PT PHCI kelebihan pembayaran pajak ditambah dengan imbalan bunga sebesar 2 % sebulan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Pasal 87 Undang-Undang (UU) Pengadilan Pajak.

Majelis hakim PK yang dipimpin Yulius memastikan, telah membaca dan meneliti memori PK yang diajukan PT PHCI, kontra memori PK yang disampaikan Dirjen Pajak, alasan-alasan para pihak, dan putusan Pengadilan Pajak serta pertimbangan-pertimbangannya. Mahkamah Agung (MA) berpendapat, alasan-alasan permohonan PT PHCI sebagai pemohon PK tidak dapat dibenarkan.

Menurut MA, putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan menambah jumlah pajak yang harus dibayar atas banding PT PHCI sebelumnya terhadap Keputusan Dirjen Pajak Nomor: KEP-13/WPJ.22/BD.06/2012, tertanggal 05 Januari 2012, mengenai keberatan atas SKPKB Pajak Penghasilan Pasal 26, Masa Pajak Januari sampai dengan Maret 2009, Nomor 00005/204/09/431/10 tertanggal 08 Oktober 2010, atas nama pemohon banding sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi Rp18.855.074.657, adalah sudah tepat dan benar.

“Mengadili, satu, menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: PT Panasonic Shikoku Electronics Indonesia sekarang PT Panasonic Healthcare Indonesia. Dua, menghukum Pemohon Peninjauan Kembali membayar biaya perkara pada peninjauan kembali sejumlah Rp2,5 juta,” tegas Ketua Majelis Hakim PK Yulius sebagaimana dalam amar putusan.

Putusan ini diambil dalam rapat permusyawaratan majelis hakim pada Senin, 17 Februari 2020 oleh Yulius sebagai ketua majelis bersama-sama dengan dua anggota yakni M Hary Djatmiko dan Yosran. Putusan diucapkan oleh Yulius dalam sidang terbuka untuk umum pada hari yang sama dengan dihadiri dua hakim anggota tersebut serta Heni Hendrarta Widya Sukmana Kurniawan sebagai panitera pengganti. Pengucapan putusan tanpa dihadiri oleh para pihak.

Majelis hakim PK menyatakan, ada dua petimbangan utama MA menolak permohonan PK yang diajukan PT PHCI. Satu, alasan-alasan permohonan PK dalam perkara a quo yaitu Koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh Pasal 26 atas sales promotion masa pajak Januari-Maret 2009 sebesar Rp67.339.552.295 tidak dapat dipertahankan oleh majelis hakim Pengadilan Pajak tidak dapat dibenarkan.

Pasalnya, setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam memori PK oleh PT PHCI dihubungkan dengan kontra memori PK yang disampaikan Dirjen Pajak, maka tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum majelis Pengadilan Pajak. Dalam perkara a quo berupa substansi yang telah diperiksa, diputus, dan diadili oleh Majelis Pengadilan Pajak dengan benar.

“Sehingga majelis hakim agung mengambil alih pertimbangan hukum dan menguatkan putusan Pengadilan Pajak a quo dengan mengambil alih pertimbangan hukum hakim ketua: Caecilia Sri Widiarti (dissenting opinion),” bunyi petimbangan putusan PK nomor 376.

Karena, lanjut majelis hakim PK, in casu yang terkait dengan nilai pembuktian yang lebih mengedepankan asas kebenaran materiil dan melandaskan prinsip substance over the form yang telah memenuhi asas Ne Bis Vexari Rule, sebagaimana yang telah mensyaratkan bahwa semua tindakan administrasi harus berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum.

Putusan majelis hakim Pengadilan Pajak sudah tepat dan benar karena in casu memiliki keterkaitan dan hubungan hukum (innerlijke samenhang) dengan perkara PK yang telah diputus oleh di Mahkamah Agung RI dalam register perkara: Nomor 1881/B/PK/PJK/2019 tertanggal 17 Juni 2019. Amar putusan PK Nomor 1881 telah mengabulkan seluruhnya PK dari pemohon PK saat itu yakni Dirjen Pajak. Karena, in casu memiliki keterkaitan dengan hubungan istimewa dan penggunaan metode transfer pricing yang didukung dengan bukti atas eksistensi dari pembayaran royalti menjadi deviden terselubung dan sales promotion yang diatur dalam perjanjian.

Sehingga, PT PHIC yang saat itu sebagai pemohon banding dan sekarang pemohon PK tidak berhak memperoleh fasilitas perpajakan dan tidak dapat dibiayakan serta tidak memiliki hubungan dengan 3M (Mendapatkan, Memelihara, Menagih) penghasilan dan oleh karenanya koreksi Dirjen Pajak dalam perkara a quo tetap dipertahankan karena telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hal ini sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 29 ayat (2) Alinea Ketiga UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jo Pasal 9 ayat (1) huruf f, Pasal 18 ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 26 ayat (1) huruf d UU Pajak Penghasilan jo Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (1) Pasal 22 ayat (1), Pasal 13 ayat (1) Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 18, Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22 serta Pasal 22 P3B Indonesia-Jepang.

Dua, alasan-alasan permohonan PT PHCI sebagai pemohon PK tidak dapat dibenarkan karena bersifat pendapat yang tidak bersifat menentukan. Pasalnya, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

“Sehingga pajak yang masih harus dibayar dihitung kembali sesuai dengan perkara Nomor: 1881/B/PK/PJK/2019 sebesar Rp18.855.074.657,” kata majelis hakim.

 

Sumber : Sindonews.com

LEAVE A REPLY