Mahasiswa Indonesia di Jerman: Lawan Rasisme dan Penindasan di Papua

0

Pelita.online – Gerakan #BlackLivesMatter yang mengusung antirasisme, menjadi momentum besar bagi para mahasiswa Indonesia di Jerman yang mengajak masyarakat bercermin atas situasi serupa yang menimpa etnis Papua.

Dalam aksi demonstrasi #BlackLivesMatter menentang rasisme di Kota Köln, Jerman, Afie Joy dan teman-temannya ikut berpartisipasi, sebagai bentuk solidaritas terhadap komunitas kulit hitam:

“Dari kami yang dikategorikan sebagai people of colours,” katanya.

“Aksi solidaritas ini ditujukan untuk George Flyod dan `black community‘ yang mendapat perlakuan paling parah. Jadi ini adalah bentuk solidaritas dari sisi kita sebagai orang pendatang di sini (Jerman), yang mana kita pun dalam kesehariannya sering mendapat perlakuan rasis. Itu dia alasanya kenapa kita melakukan aksi solidaritas ini,“ kata Alfie.

Di Jerman, demonstrasi #BlackLivesMatter bukan hanya berlangsung di Köln, namun juga di kota-kota lainnya.

Alfie bercerita demonstrasi yang diikutinya berjalan lancar dan damai, diikuti oleh ribuan orang.

“Dan didominasi oleh kalangan anak muda. Di situ kita bisa simpulkan bahwa kita bisa berharap pada generasi muda untuk menghentikan rasisme,“ ujar mahasiswa jurusan bisnis internasional di Politeknik Köln ini.

Bahkan di negara yang disebutnya progresif ini, Alfie bercerita rasisme pun terjadi.

“Jadi itu sih yang aneh. Jadi bisa kita lihat munculnya partai sayap kanan, partai konservatif yang belakangan ini mendapat sorotan dan bahkan mendapatkan kursi di parlemen Jerman. Itu berarti mereka mendapat kekuatan yang bisa merugikan imigran.“

Ditambahkannya, tema ini adalah hal penting untuk dibahas dan bukan hal yang tabu lagi. Itu sebabnya Alfie dan kawan-kawan di bandnya di Jerman banyak menyuguhkan musik bertema pluralisme dan toleransi.

“Ya, kami ingin menunjukkan bahwa kita tidak mengkotak-kotakkan dan kita tidak mau dikotak-kotakkan oleh sistem rasis ini. Intinya, semua orang itu sama,“ paparnya.

Meski demikian Alfie tidak ingin menggenaralisasi. Banyak juga orang-orang Jerman yang sangat antirasisme. Kawan-kawannya yang bergabung dalam satu band dengan Alfie adalah warga Jerman.

Namun menurut Alfie, mereka sangat respek dan menjaga hubungan baik satu sama lain, bahkan sudah seperti layaknya keluarga.

“Mereka sangat bersahabat, ada di saat saya susah dan benar-benar membutuhkan bantuan,” tutur Alfie yang berasal dari Bali.

“Semua ini membuka mata saya bahwa warna kulit itu tidak relevan. Kita seharusnya menjunjung kemanusiaan. Kemanusiaan itu di atas segala-galanya.”

Melawan rasisme terhadap masyarakat Papua “Rasisme itu ada di mana-mana. Di tanah air, bisa kita simpulkan rasisme itu ada sejak dulu, karena tanpa sadar kita mengadopsi doktrin itu. Kita pun sebagai orang, yang mengatakan kepada kita sebagai bangsa pribumi, kita bisa melihat ketidakadilan terhadap etnis Tionghoa dan Papua,“ kata Alfie.

Menurutnya, gerakan antirasisme di dunia, #BlackLivesMatter ini, mengingatkannya pada situasi di Tanah Air.

“Kita tidak akan pernah lupa tragedi kerusuhan Mei tahun 1998 atau kejadian yang menimpa mahasiswa Papua di Jawa. ‘Colourism’ dan ‘anti Blackness’ di Indonesia itu ada karena kebanyakan orang menghubungkan warna kulit yang gelap dengan hal yang negatif, padahal sama sekali tidak benar,” ujar Alfie geram.

“Tidak ada yang bisa mengkotak-kotakkan kita berdasarkan warna kulit. Karena pada dasarnya tidak ada fakta biologis yang menyatakan bahwa warna kulit mempengaruhi level intelektual seseorang. Jadi selama kita berpikir warna kulit mempengaruhi tingkah laku kita, sikap kita, motivasi kita, tingkah laku kita, cara berpikir atau gaya hidup, maka saya pikir, rasisme itu akan selalu ada.“

Hal senada disampaikan Reynaldi Adias Dhaneswara yang juga kuliah di jurusan yang sama dengan Alfie di Kota Köln.

Menurutnya, kematian George Floyd di Amerika Serikat mengingatkan bahwa rasisme itu masih sangat kental di kehidupan masyarakat maupun di sekeliling dan kehidupan kita sehari-hari, entah disadari atau tidak.

“Dan kematian Floyd mengingatkan kita sebagai bangsa Indonesia bahwa kita masih melakukan rasisme sedari dulu kala terhadap saudara kita di Papua dengan penindasan yang melanggar hak asasi manusia baik, dari pemerintah maupun kepolisian/tentara.“

Amira Rahima Wasitova, mahasiswi jurusan ilmu pertanian Universitas Bonn berbagi pendapat, insiden yang menimpa George Flyod bisa diketahui banyak orang karena tertangkap kamera dan jadi viral. Sehingga masyarakat luas jadi marah dan tidak terima kalau orang kulit hitam masih mendapat diskriminasi ras yang parah.

Padahal bukan rahasia lagi, insiden serupa sering terjadi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

“Masih banyak diskriminasi antar ras, seperti contohnya yang sering dihadapi oleh teman-teman dari Papua,“ papar Amira.

Mahasiswi yang bermukim di Kota Bonn, Jerman ini juga berharap agar masyarakat Indonesia mengintrospeksi diri dan menghargai sesama.

“Yang paling penting agar lebih sadar terhadap isu kekerasan terhadap ras tertentu di Indonesia demi persatuan,“ katanya.

“Mulai dari sekadar lontaran ejekan yang menyinggung warna kulit, serangan fisik dari masyarakat sekitar, hingga perlakuan aparat yang kurang berdasar,“ tambah Amira yang juga mengambil contoh serangan di asrama Papua tahun lalu.

Sementara itu, Bimo Ario Tedjo, mahasiswa jurusan bisnis administrasi, Universitas Köln, berharap banyaknya aksi solidaritas terhadap komunitas kulit hitam akan membangun kesadaran baru.

Seperti rekan-rekan mahasiswa yang lain, ia pun mengingatkan pentingnya juga membangun kesadaran melawan rasisme di tanah air.

“Jadi ibarat berbela sungkawa dengan orang yang jauh di sana, tapi lupa bahwa ada rasisme di dalam negeri sendiri.“

Mendidik diri sendiri

Satya Lestiadi, mahasiswa konstruksi teknik sipil, Köln, mengingatkan pentingnya menanamkan paham terhadap diri sendiri dan generasi selanjutnya bahwa semua manusia punya kesempatan, hak, dan kewajiban yang sama, apa pun warna kulitnya.

Untuk melawan rasisme baik di dunia dan terutama di tanah air, menurut Alfie Joy, yang pertama-tama dilakukan adalah menyadari bahwa rasisme itu ada dan nyata.

“Selama ini kita selalu melihat perspektif dari orang kulit putih tanpa kita sadari dan itu menurut saya secara tidak langsung mendukung agenda “white supremacy”. Saya ingin tegaskan, terlepas dari apa negaramu, apa agamamu, terlepas dari apa orientasi seksualmu, kemanusiaan itu tetap di atas segala-galanya.”

 

Sumber : Suara.com

LEAVE A REPLY