Mantan Ketua Umum PDI Soerjadi Tutup Usia

0

Jakarta, PelitaOnline.id  – Mantan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) periode 1988-1993 Drs Soerjadi wafat pada usia ke-77 tahun di Jakarta, Sabtu (4/6) pagi seiring penyakit ginjal yang dideritanya.

Pria kelahiran Ponorogo, Jawa Timur, 13 April 1939 ini semasa muda dikenal sebagai seorang aktivis mahasiswa yang cukup aktif. Soerjadi tercatat pernah menjadi Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia dan turut membidangi terbentuknya Kelompok Cipayung bersama-sama dengan Akbar Tanjung (Ketua Himpunan Mahasiswa Indonesia), Chris Siner Key Timu (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Rrepublik Indonesia) dan Binsar Sianipar (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia).

“Pak Soerjadi itu merupakan salah satu tokoh aktivis mahasiswa angkatan 1966. Beliau menjadi Ketua Umum GMNI dan turut membidani terbentuknya Kelompok Cipayung,” ujar politikus PDI Perjuangan Masinton Pasaribu.

Lama berkecimpung dalam dunia aktivis, membawa Soerjadi sukses menjadi seorang politikus hingga yang bersangkutan diberikan mandat memimpin PDI sejak 1988 hingga 1993.

Pada masa kepemimpinannya itu Soerjadi diingat sebagai tokoh yang pertama kali mengajak putra dan putri Presiden RI pertama Soekarno, Guruh Sukarno Putra dan Megawati Soekarnoputri masuk dalam dunia politik praktis dengan menjadi pengurus PDI.

Kiprah kepemimpinan Soerjadi di PDI banyak tertuang di dalam tulisan sejarah politik tanah air. Terlepas dari segala kontroversinya, salah satu kisah Soerjadi yang cukup diingat adalah kepemimpinannya di PDI yang sempat dianggap ancaman oleh pemerintahan orde baru lantaran sikapnya yang berani mendorong diselenggarakannya pemilihan umum secara langsung, umum, bebas dan rahasia (luber).

Sikap Soerjadi ini membuat khawatir rezim orde baru pada masanya. Sehingga kepemimpinan Soerjadi diganggu rezim dan yang bersangkutan dilengserkan dari kursi Ketua Umum PDI.

PDI lantas menggelar Kongres Luar Biasa di Medan tahun 1993 dengan menggadang politikus Budi Harjono menjadi Ketua Umum PDI yang mendapat dukungan rezim kala itu.

Namun dalam Kongres Luar Biasa tersebut mayoritas akar rumput PDI tanpa diduga lebih menghendaki Megawati menjadi Ketua Umum ketimbang sosok Budi Harjono yang dijagokan pemerintah.

Pemerintah orde baru kemudian berupaya membujuk Soerjadi kembali maju menjadi Ketua Umum PDI, dengan memfasilitasi penyelenggaraan Kongres di Medan tahun 1996.

Dalam kongres di Medan itu, Soerjadi terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI, tetapi kenyataan itu tidak diakui PDI di bawah kepemimpinan Megawati, sehingga muncul dua kepemimpinan PDI yakni PDI Soerjadi yang secara hukum diakui pemerintah dan PDI Megawati yang mendapat dukungan secara faktual dari akar rumput.

Dualisme kepemimpinan PDI ini bermuara pada pertikaian pengambilalihan kantor PDI di Jalan Diponegoro 58, Menteng, tanggal 27 Juli 1996 oleh PDI kelompok Soerjadi yang didukung rezim.

“Dengan kata lain pak Soerjadi pernah menjadi bagian dari orde baru untuk menghadang akar rumput PDI pendukung ibu Megawati,” ujar Masinton.

Upaya pemerintah orde baru mengamankan sikap PDI melalui sosok Soerjadi, faktanya justru membuat partai PDI kian redup pada tahun 1997 karena kader PDI pendukung Megawati merapat ke Partai Persatuan Pembangunan yang kala itu dikenal sebagai “Mega Bintang”.

Selanjutnya tekanan kuat rakyat mendorong lengsernya Presiden Soeharto pada 1998. Jatuhnya rezim orde baru membuka keran demorkasi di tanah air, dan Megawati akhirnya mendirikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada tahun 1999.

Sejak saat itu PDI mulai kehilangan pendukung dan dibubarkan tahun 2003 seiring meredupnya karier politik Soerjadi.

Atas dasar rentetan sejarah tersebut, nama Soerjadi pun disebut-sebut sebagai tokoh yang secara tidak langsung membuka jalan politik Megawati Soekarnoputri.(Ant)

LEAVE A REPLY