Mataguru’, Ruh Iwan Tirta dalam Batik Tiga Babak

0

Pelita.online – Nama Iwan Tirta terus lekat di industri mode tanah air, apalagi jika bicara soal batik. Meski telah berpulang pada 2010 lalu, desainer kelahiran Blora itu terus menjadi ruh dalam koleksi label Iwan Tirta Private Collection. Sebagai bentuk apresiasi pada sang maestro sekaligus guru, para penerusnya mempersembahkan koleksi bertajuk Mataguru.

“Mataguru adalah apresiasi kami sebagai generasi penerus kepada sang maestro Iwan Tirta dalam membawakan batik hingga menjadi warisan budaya yang tetap relevan dari generasi ke generasi,” ujar CEO Iwan Tirta Private Collection, Widyana Sudirman.

Sebanyak 36 look hadir dalam kemasan pertunjukan wayang kulit di ballroom Fairmont Hotel, Jakarta Pusat, Kamis (28/11). Bak lakon, peragaan dibagi ke dalam tiga babak yang di antaranya “Talu”, “Adeg Jejer”, dan “Adeg Sabrang”. Bukan sembarang pembabakan, ketiganya mewakili setiap karakter koleksi yang ditampilkan.

Dalam pertunjukan wayang kulit, Talu adalah babak pembuka. Berasal dari bahasa Jawa, ‘talu’ berarti pukulan yang diasosiasikan dengan alat musik gamelan. Gunungan kekayon atau pohon hayat selalu membuka pentas wayang kulit. Motif gunung kekayon ini lah yang dicoba diimplementasikan dalam motif batik pada babak pertama.

Motif gunungan kekayon banyak mewarnai bagian tengah busana. Dengan dominasi warna abu-abu, busana hadir dalam siluet blus, kemeja pria, juga midi dress.

Material sutera tenun dan sutera satin menambah kilau dan kesan mewah. Sisipan material tulle juga memberi kesan modern pada busana batik.

Motif gunungan kekayon mendominasi babak pertama “Talu” dalam presentasi koleksi busana Mataguru dari label Iwan Tirta Private Collection. (CNN Indonesia/ Andry Novelino)

Pada babak selanjutnya, “Adeg Jeler” menjadi representasi pertemuan raja di keraton. Babak ini menceritakan perjalanan Iwan Tirta dalam mempelajari batik dari balik tembok keraton.

Motif bernuansa mangkuto (mahkota), parang, dan gurdo (Garuda) mewarnai koleksi pada babak ini dan sarat dengan nuansa keraton. Sebut saja motif parang yang dulu hanya boleh digunakan oleh kalangan keluarga keraton. Lalu gurdo yang jadi simbol Kerajaan Mataram.

Siluet dress, kemeja pria, dan luaran menampung motif-motif tersebut dengan dominasi warna cokelat. Material tulle tak sekadar jadi pelapis, tapi juga menjadi bagian busana utuh.

Pada bagian terakhir, peragaan memasuki babak “Adeg Sabrang”. Babak ini menggambarkan bagaimana pengaruh luar masuk ke dalam lingkungan keraton. Asimilasi budaya yang terjadi dituangkan dalam motif batik. Pada koleksi ini, budaya Eropa dan China ditonjolkan dalam rupa bunga dan burung.

Tak cuma pada motif, keragaman budaya juga ditunjukkan lewat siluet busana. Beberapa look tampak menyematkan kerah Shanghai atau bentuk kerah khas cheongsam, budaya tradisional China.

Babak ini juga menghadirkan pertemuan batik tradisional dengan motif geometri dan motif serupa polkadot. Bagian ini menjadi lambang pertemuan budaya Jawa dan Eropa.

 

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY