Mencegah Kekerasan Seksual

0

Ambon, Pelitaonline.id – Perkara kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak sudah lama terjadi, tetapi keseriusan pemerintah dan wakil rakyat baru muncul setelah peristiwa pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun, gadis usia 14 tahun, oleh sekelompok remaja dan orang dewasa di Bengkulu, belum lama ini.

Pemberitaan kasus itu oleh media massa cetak, elektronik dan online sama semaraknya dengan kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak yang terungkap di Jakarta International School beberapa tahun lalu.

Tetapi kali ini, semua aktivis dan LSM peduli perempuan dan anak-anak di seluruh Tanah Air meradang. Aksi unjuk rasa pun bermunculan di berbagai kota, tidak terkecuali di Ambon, ibu kota provinsi Maluku.

Dihelat di kawasan monumen pahlawan nasional Martha Christina Tiahahu, Karangpanjang, Siramau, pada 15 Mei malam, Solidaritas Perempuan Maluku yang merupakan himpunan aktivis perlindungan perempuan dan anak, organisasi kemasyarakatan pemuda, dan mahasiswa di daerah ini mendesak agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sedang dibahas di DPR diberi prioritas utama dalam Program Legislasi Nasional (Prelegnas) tahun 2016.

Dalam aksi damai berupa orasi, pembakaran lilin dan obor, pembacaan puisi serta doa bersama itu, diungkapkan bahwa selama 10 tahun terakhir ada 1.500 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak terjadi di Maluku, khususnya di Maluku Tengah, Seram Bagian Barat, Buru, dan Kota Ambon.

Aksi itu sendiri tidak kurang melibatkan Ketua Kaukus Perempuan Parlemen Maluku Ayu Hasanusi, Ketua PKK Kota Ambon Debby Louhenapessy, sejumlah anggota DPRD Kota Ambon, dan anggota DPR RI asal Maluku Mercy Barends.

Dalam kesempatan itu. Solidaritas Perempuan Maluku menyerahkan petisi “MERAH PUTIH SETENGAH TIANG DARI BUMI SERIBU PULAU UNTUK IBU PERTIWI” kepada Mercy Barends, untuk diteruskan ke Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR Ade Komarudin.

“RUU ini penting karena akan memberikan payung hukum untuk melindungi korban dan mencegah kekerasan seksual melalui perangkat perundangan yang adil, berpihak pada korban dan mencakup semua jenis dan kompleksitas kekerasan seksual,” ujar Othe Patty dari Lingkar Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LAPPAN) saat membacakan petisi tersebut.

Menurut dia, pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan berdampak pada proses penyidikan dan peradilan yang memihak korban, sekaligus mengubah pandangan dan perilaku penegak hukum, pembuatan kebijakan tentang kekerasan seksual sebagai kejahatan kemanusiaan, bukan masalah susila semata.

Diungkapkan, Komnas Perempuan mencatat sedikitnya ada 139.133 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia pada 2002 – 2012, yang jika dikalkulasikan secara kasar maka sedikitnya ada tiga hingga empat orang perempuan mengalami kekerasan seksual setiap dua jam.

Kekerasan seksual terhadap perempuan dalam kurun waktu 13 tahun terakhir berjumlah hampir seperempat dari seluruh total kasus yang dilaporkan, angkanya juga meningkat sekitar 30 persen pada 2012 – 2013, maka sedikitnya ada 35 orang perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya.

Di Maluku, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak umumnya dialami anak perempuan usia sekolah. Pelakunya adalah orang-orang terdekat seperti paman, guru, tetangga, ayah tiri, tukang ojek dan pengayuh becak langganan, dan teman sendiri.

Mercy Barends dalam kesempatan tersebut mengatakan kekerasan seksual tidak hanya terjadi dalam wilayah domestik, tapi juga ruang publik, bahkan di tempat-tempat yang seharusnya menjadi kawasan perlindungan, seperti tempat pengungsian.

Karena itu, mata rantai kekerasan seksual harus dipotong agar tidak menjadi kasus berulang, dan memberikan efek jera kepada para pelaku.

“RUU Penghapusan Kekerasan Seksual perlu didorong, karena gendernya perempuan mengalami kekerasan. Kita perlu mendorong agar ada hukuman seberat-beratnya bagi pelaku kekerasan seksual,” katanya.

Kebiri atau hukuman mati Secara hukum, kasus Yuyun dianggap telah selesai ketika pengadilan negeri menjatuhkan vonis 10 tahun penjara terhadap para pelaku yang memerkosa dan membunuh gadis belia itu.

Namun, pihak keluarga tegas-tegas menyatakan kecewa. Mereka menilai hukuman yang dijatuhkan hakim tidak adil, alih-alih memberikan efek jera kepada para pelaku.

Keluarga Yuyun menginginkan hakim menjatuhkan hukuman mati kepada para tersangka.

Di luar mereka, masyarakat pun menunjukkan empati sangat besar pada apa yang dialami Yuyun dan kesedihan yang mendera orang tua, saudara dan kerabatnya.

Ketua DPRD Maluku Edwin Adrian Huwae, misalnya, menyatakan pihaknya sangat setuju bila hukuman seberat-beratnya ditimpakan kepada para pelaku kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak-anak, kalau perlu berupa kebiri atau hukuman mati.

“Orang-orang yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak itu adalah orang yang berprilaku keji sehingga harus diberikan sanksi yang membuat jera. Kami sangat mendukung Perppu Kebiri bagi pelaku kejahatan seksual, dan tidak perlu merevisi undang-undang perlindungan anak,” katanya.

Edwin juga mengaku prihatin di era keterbukaan sekarang ini Internet semakin murah dan terbuka sehingga setiap orang dengan mudah bisa mengakses situs-situs porno, dan hal ini bisa saja mendorong orang melakukan kekerasan seksual.

“DPRD Maluku juga mendorong pemerintah melakukan sensor dan menutup situs-situs yang ada unsur seksual dan kekerasan terhadap anak dan perempuan,” katanya.

Meskipun demikian, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2016 tentang hukuman kebiri juga menuai kritik. Seksolog Dr Boyke Dian Nugraha mengungkapkan hukuman kebiri dalam “beleid” itu menyiksa pelaku, dan terpidana yang terkena hukuman itu bisa menjadi seperti perempuan.

Boyke mengatakan bahwa hukuman kebiri dengan kimiawi biasanya menggunakan suntikan antiandrogen yang berisi hormon-hormon perempuan.

“Jadi sudah tahu sendirilah, hormon-hormon perempuan dikasih ke laki-laki, ya jadi perempuan dia. Dan dia akan amat terpengaruh dengan perubahan-perubahan itu. Yang tadinya agresif, toh akan sangat menurun. Bahkan termasuk imunitasnya. Termasuk otot-ototnya semua, katanya seperti dikutip republika.co.id.

Karena itu, Boyke berpendapat para pelaku kejahatan seksual lebih baik ditembak mati saja.

Satu hal yang perlu dicatat, kata Boyke, pendidikan seks seharusnya menjadi solusi jangka panjang yang dilakukan pemerintah ketimbang memberlakukan hukuman kebiri.

“Dari hasil penelitian di berbagai negara, pendidikan seks tak mengajarkan cara berhubungan seks. Namun justru mengajarkan melindungi diri dari hal-hal negatif,” katanya.

Pencegahan dini Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Ternate, Maluku Utara Usman Muhammad mengatakan, untuk mengatasi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak cukup hanya dengan pemberatan hukuman kepada pelaku.

“Pemberatan hukuman kepada pelaku kekerasan perempuan dan anak memang perlu untuk memberi efek jera, tetapi tidak kalah penting dilakukan adalah upaya pencegahan sejak dini,” katanya di Ternate, Kamis.

Menurut dia, upaya pencegahan dini itu harus difokuskan pada faktor-faktor selama ini yang menjadi pemicu terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, seperti pemahaman dan pengamalan ajaran agama yang rendah dan ketidakpatuhan terhadap norma hukum dan norma adat.

Lingkungan sosial di masyarakat yang memberi peluang terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak serta maraknya pornografi melalui jaringan internet yang bisa diakses secara bebas oleh semua lapisan masyarakat juga harus ditangani secara serius.

“Kalau faktor-faktor tersebut tidak ditangani secara tepat dan serius dengan melibatkan semua pihak terkait, maka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak akan terus terjadi walaupun pemerintah telah mengeluarkan regulasi yang mengatur pemberatan hukuman kepada pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak,” katanya.

Usman menyatakan, yang harus menjadi perhatian utama adalah faktor pemaha, man dan pengamalan ajaran agama, baik dalam hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa maupun hubungan dengan masyarakat.

Kalau setiap orang memiliki pemahaman dan pengamalan ajaran maka dia akan mampu membentengi dirinya untuk tidak melakukan segala perbuatan yang melanggar ajaran agama atau hukum negara seperti tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Di sini, peranan keluarga, masyarakat dan pemerintah sangat menentukan dalam upaya mendorong setiap orang untuk memiliki pemahaman dan pengamalan ajaran agama, di samping dunia pendidikan baik formal maupun nonformal.

“Khusus keluarga, yang harus selalu dilakukan adalah bagaimana mendidik seluruh anggota keluarga, khususnya anak-anak mengenai ajaran agama sejak dini. Keteladanan orang tua sangat dibutuhkand alam mewujudkan keluarga yang memiliki komitmen dalam mengamalkan ajaran agama,” katanya Usman.(an/es)

LEAVE A REPLY