Monumen Potlot, Dari Sini Pemberontakan PETA Blitar Berawal

0

Blitar, Pelita.Online – Sebelum berkibar pada Proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta, bendera merah putih sempat berkibar di Blitar. Bendera kebangsaan itu hanya berkibar selama tiga jam. Namun bendera merah putih mampu membakar semangat pejuang tentara Pembela Tanah Air (PETA) Blitar.

Bendera merah putih itu berkibar saat tentara Pembela Tanah Air (PETA) melakukan pemberontakan terhadap Jepang. Adalah Sudanco Parto Hardjono yang dengan berani mengibarkan bendera merah putih. Bendera dikibarkan tepat pukul 03.30 WIB.

Tempat Parto mengibarkan bendera merah putih sebagai penanda pemberontakan itu kini dijadikan monumen. Monumen Potlot namanya. Sejarawan Blitar, Bambang In Mardiono, berdasarkan beberapa referensi, menulis momen ini dalam buku Bunga Rampai Sejarah Blitar.

“Tepat di tiang bendera yang dipakai Sudanco Parto Hardjono mengibarkan merah putih saat pemberontakan PETA itulah, dibangun monumen Potlot yang diresmikan langsung oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman pada 16 Juli 1946,” kata Bambang pada detikcom ditemui di Istana Gebang, Sabtu (15/12/2017).

Tiang bendera itu dulu terletak di Lapangan Bendogerit Kota Blitar. Tempat biasa untuk berlatih para tentara pelajar untuk membantu Jepang menghadapi agresi militer tentara VOC.

“Di tiang bendera itu, tiap jam 06.30 selalu dikibarkan bendera Hinomaru Jepang. Merah putih hanya berkibar selama tiga jam, sebelum akhirnya para pemberontak ini ditangkap tentara Jepang,” jelas pria yang akrab dipanggil Mbah Gudel ini.

Monumen itu untuk mengingat semangat perjuangan PETA Blitar, saat pemberontakan terjadi. Dituliskan oleh Bambang, sebanyak 163 tentara atau sepertiga batalyon PETA Blitar melakukan pemberontakan. Dipimpin Sudanco Supriyadi, pemberontakan dipadamkan oleh masyarakat yang tidak pro dengan pemberontakan ini.

“Dari 163 itu, sebanyak 60 tentara ditangkap. 15 orang dalam pengadilan divonis bervariasi masa tahanannya. Dan enam orang divonis dengan hukuman mati. Selebihnya dibebaskan,” kata Bambang.

“Enam tentara yang dihukum mati itu adalah Sudanco Muradi, Sudanco Sunanto dan Sudanco Suparyono. Juga ada Budanco Sudarmo, Budanco Halir Mangkuprojo dan dr Ismangil,” papar Bambang.

Lalu dimanakah Sudanco Supriyadi ? Menurut Bambang, beberapa referensi menyebut Supriyadi dalam persidangan dinyatakan hilang. Dalam arti tidak pernah tertangkap.

“Kalau hilang seharusnya ada pengadilan in-absentia. Tapi tidak ada sejarah yang menulisnya. Jadi kesimpulan saya, sebetulnya Jepang sudah tahu jika Supriyadi “dihilangkan” sebelum persidangan,” ucap pria berusia 65 ini.

Lalu kenapa Monumen itu diberi nama Potlot ? “Karena para pejuang PETA itu didominasi pemuda pelajar yang berusia antara 14 sampai 16 tahun. Nah Potlot atau pulpen itu identik dengan alat menulis para pelajar itu. Namun mereka harus berjuang untuk kemerdekaan bangsa,” tuturnya.

Monumen Potlot, terletak di bagian tengah paling belakang, areal Taman Makam Pahlawan Raden Wijaya di Kota Blitar.

Sayangnya Monumen itu semakin dilupakan. Bahkan oleh sebagian besar pemuda di Blitar. Seperti pengakuan beberapa siswa SMA yang sekolahnya tdi dekat TMP Raden Wijaya Kota Blitar.

“Belum tahu soalnya memang belum pernah masuk situ,” kata siswa kelas XII SMAK Diponegoro, Feri.

Sementara siswi Kls X SMKN 3 Kota Blitar, Cindi, mengaku tahu ada Monumen didalam TMP, namun tidak tahu nama dan sejarahnya.

“Namanya tidak tahu, hanya lihat di internet soalnya belum belajar tentang itu,” katanya. Hal sama dinyatakan Putri Yufani, pelajar Kls XII di SMKN 3 Kota Blitar.

“Di depan memang ada, tapi gak tahu namanya,” pungkasnya .

 

detik.com

LEAVE A REPLY