Potensi Kebersamaan Awal Ramadhan 1439H

0

Pelita.Online – Perputaran waktu merupakan sebuah ketentuan yang tidak bisa untuk ditolak. Ketentuan itu yang akhirnya menghantarkan Umat Islam berada diujung bulan Sya’ban dan akan memasuki bulan Ramadhan 1439 H. Sebagai muslim yang taat dan patuh pada ajaran agama, sudah barang tentu akan memahami tentang kewajibannya setiap Ramadhan yaitu terkait Puasa.

Dalam menjalankan ibadah puasa tersebut, maka ada aturan main yang berlaku dan harus dipenuhi yaitu terkait kapan mulai tanggal 1 Ramadhan. Terkait dengan ini, maka tak mengherankan setiap tahunnya bagi setiap Muslim selalu menunggu dan menantikan kepastian kapan tanggal 1 Ramadhan tersebut akan jatuh pada hari dan tanggal berapa dalam kalender masehi?

Pertanyaan semacam itu senantiasa akan muncul setiap tahun terutama terkait dengan tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal. 1 Ramadhan senantisa dinanti karena terkait dengan mengawali puasa yang menjadi kewajiban setiap Muslim, sedangkan 1 Syawal senantiasa ditunggu karena terkait dengan mengakhiri puasa yang menjadi kewajibannya itu. Munculnya pertanyaan ini yang kemudian oleh Izuddin disebut dengan masalah klasik namun aktual. Klasik, dikarenakan msalah ini sudah lama sekali menjadi problema di tengah kehidupan umat Islam , sedangkan aktual dikarenakan masalah ini senantiasa hangat dan menjadi pembicaraan yang menarik ditengah kehidupan masyarakat dalam tiap tahunnya.

Klasik dan aktualnya masalah tersebut, bisa juga disebabkan karena kehidupan Umat Islam sering dihadapkan dengan perbedaan dalam penentuan awal dua bulan tersebut, sehingga tidak salah jika Nihayatur Rohmah menyebut bahwa kontroversi atau perbedaan ini menjadi sebuah tradisi. Selaras dengan ini maka menjadi cukup manarik untuk diperbincangkan tentang seberapa besar peluang atau poteni tradisi untuk berbeda pada Ramadhan 1439 H tahun ini?

Memperbicangkan perbedaan awal bulan Ramadhan dan Syawal, dimana kedua bulan tersebut berada dalam kalender kamariah, maka sebagaimana dituliskan oleh Fathurrahman bahwa perbedaan tersebut disebabkan oleh dua hal. Yaitu terkait dengan metode dan yang kedua terkait dengan kriteria. Terkait dengan metode, lebih lanjut Fathurrahman memberikan penjelasan yaitu berhubungan dengan bagaimana cara menentukan awal bulan kamariah, sedangkan kriteria dalam penjelasannya beliau menuliskan bawa hal ini berhubungan dengan kriteria apa yang dijadikan ukuran untuk menentyukan bahwa bulan baru sudah masuk.

Selaras dengan dua penyebab perbedaan itu dan guna mengoptimalkan pembahasan, maka pembahasan ini hanya dibatasi pada organisasi besar yang ada di Indonseia yaitu NU dan Muhammadiyah. Dipilihnya dua organisasi ini didasarkan atas apa yang ditulisakan oleh Izzudin dalam Fiqh Hisab Rukyat, dimana Nahdlatul Ulama secara institusi disimbolkan sebagai Mahzab Rukyat, sedangkan Muhammadiyah secara institusi disimbolkan sebagai mahdzab hisab.

Pembahasan dimulai dengn penentuan awal bulan yang diambil oleh NU, terkait dengan ini, maka menarik untuk dilihat apa yang dituliskan oleh ahmad Syarif Muthohar dalam tugas akhirnya yang menjelaskan bahwa untuk mewujudkan rukyat yang berkualitas langkah maju telah ditunjukkan oleh NU karena tidak lagi menggunakan rukyat murni, namun dikombinasikan dengan hisab imkan ar-rukyah dengan kriterianya yaitu ketinggian hilal minimal 2°, umur bulan 8 jam setelah ijtimak atau konjungsi dan elongasi 3°. Observasi hilal dilaksanakan dengan berdasarkan data yang telah diprediksikan hisab.

Sedangkan, kriteria bulan baru kamariah menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, sebagaimana dituliskan dalam pedoman hisanmya adalah (1) telah terjadi ijtimak atau konjungsi, (2) ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam (gur-b), dan (3) pada saat terbenamnya matahari, Bulan berada di atas ufuk.

Dua kriteria di atas, secaca kasat mata berbeda, namun ada sisi kesamaan yaitu pada kriteria pada permulaan hari yaitu setelah ghurub atau tenggelamnya Matahari. Sehingga jika ini dihubungkan dengan ijtima’ atau konjungsi, maka ijtima’ atau konjungsi yang dimaksud yaitu ijtima’ atau konjungsi yang terjadi harus sebelum maghrib. Terkait dengan ini, maka memunculkan potensi kebersamaan jika ijtima’ atau konjungsi terjadi setelah Maghrib. Namun, jika ijtima’ atau konjungsi terjadi sebelum maghrib, maka akan memunculkan potensi bersama dan juga berpotensi tidak bersama. Potensi bersama terjadi dengan syarat ketinggian hilal diatas dua derajat atau ketinggian hilal negatif, sedangkan potensi tidak bersama, jika ketinggian hilal positif, namun kurang dari dua derajat.

Selaras dengan ini, berdasarkan kalender yang disusun oleh Lajnah Falakiyah PWNU Jawa Timur diperoleh keterangan bahwa Ijtimak akhir bulan Sya’ban 1439 H. terjadi pada hari Selasa Kliwon, 15 Mei 2018 pukul 18:50:45 WIB. Umur hilal saat Maghrib (17:20:57) -1:29:48 (belum ijtimak) Tinggi hilal haqiqi -0° 06′ 10” Tinggi hilal mar’i di bawah ufuk azimut Hilal 248° 06′ 48” azimut matahari 288° 54′ 42” Elongasi 4° 54′ 32” Lama hilal 00:00:00 jam Awal bulan Ramadhan 1439 H jatuh pada hari Kamis Pahing, 17 Mei 2018 M.

Seirama dengan ini, hasil hisab majelis tarjih dan tajdid PP Muhammadiyah tentang awal Ramadhan diperoleh keterangan bahwa Ijtimak akhir bulan Sya’ban 1439 H. terjadi pada hari Selasa Kliwon, 15 Mei 2018 pukul 18:50:28 WIB dengan tinggi hilal saat maghrib yaitu -0° 02’50” . berdasarkan data ini 1 Ramadhan 1439 H jatuh pada hari kamis pahing 17 Mei 2018 M. Berdasarkan data-data tersebut di atas, maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa awal Ramadhan 1339 H ini memungkinkan untuk memberikan sebuah potensi kebersamaan dikalangan umat Islam Indonesia.

Ditulis oleh: Agus Solikin, (Dosen Prodi Ilmu Falak FSH UINSA)

Kiblat.net

LEAVE A REPLY