Presidential Threshold 20 Persen Kemunduran Demokrasi

0
Mendagri Tjahjo Kumolo menyalami anggota DPR RI usai Rapat Paripurna ke-32 masa persidangan V tahun sidang 2016-2017 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (20/7)./ Republika/ Wihdan Hidayat

JAKARTA, Pelita.Online – Ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen kursi parlemen menjadi catatan buruk dalam nalar demokrasi dan konstitusi. Pengesahan ambang batas pencapresan itu dalam Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) menjadi kemunduran demokrasi.

Peneliti Politik dari LIPI Firman Noor mengatakan ambang batas pencapresan 20 persen merupakan langkah mundur atau setback bagi upaya penciptaan kemandirian pemerintah. “Ini juga setback bagi pemaksimalan fungsi checks and balaces dan, di atas itu semua, tegaknya demokrasi yang sesungguhnya,” kata dia kepada Republika, Jumat (21/7).

Menurut Firman, pengesahan presidential threshold sebesar 20 persen suara parlemen telah menjadi permainan partai politik. Ia menyatakn penetapan ambang batas ini sebuah pertunjukan yang di luar nalar.

“Bagaimana logikanya A dan B serentak dilaksanakan, namun A hanya bisa dilakukan setelah B dilaksanakan. Terlambat dalam hitungan menit saja jelas sudah tidak bisa dibilang serentak,” ujar dia, menganalogikan.

UU Pemilu yang disahkan DPR pada Sidang Paripurna Kamis (20/7) malam mengamanatkan pencapresan diajukan oleh partai politik dan/atau gabungan partai politik yang memiliki 20 persen suara sah di parlemen. Karena pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) pada Pemilu 2019 berlangsung serentak, ambang batas yang digunakan berdasarkan hasil Pemilu 2014.

Kendati demikian, hal tersebut tetap saja menghilangkan keserentakan yang diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya pada 2014. Firman menyatakan, pemilu serentak berarti pilpres tidak seharusnya tergantung pada hasil pileg.

Dia menambahkan jika ditarik ke belakang, ketika MK memerintahkan pilpres dan pileg berlangsung serentak, maka ada amanat agar presiden terbebas dari belenggu oppotunisme partai-partai yang hanya mengekalkan oligarki politik.

Di sisi lain, dia berpendapat, ambang batas pencapresan 20 persen ini telah membungkam ekspresi dan aspirasi rakyat untuk mencalonkan calon presiden alternatif. “Hal yang pasti, potensi munculnya tokoh alternatif sudah terlucuti, hak-hak rakyat untuk mengkespresikan aspirasinya tercuri oleh partai,” kata Firman.

Republika.co.id

LEAVE A REPLY