Tumpah Ruah ‘Guilty Pleasure’ dalam Wadah Karaoke Massal

0

Pelita.online – “Coba kau pikirkan, coba kau renungkan. Tanya bintang-bintang hanya kaulah yang kusayaang.. ”

Lirik lagu “DOY” milik Kangen Band itu meluncur dengan lancar dari mulut lautan anak muda masa kini yang hadir di Synchronize Festival pada Oktober lalu.

Di atas panggung, terlihat Oomleo memandu karaoke massal tersebut diiringi penampilan Kangen Band yang diperkuat oleh sang vokalis, Andika Mahesa, dan gitarisnya, Dodhy.

Tak terbayangkan sebelumnya, festival alternatif semacam ini mengundang band-band bernapas Melayu dan penonton yang hadir bisa menyanyikan lagu-lagu mereka dengan lantang.

Tak hanya Kangen Band, festival tahunan itu juga menggandeng Wali, Radja, dan ST12. Mengusung konsep karaoke, mereka berkolaborasi dengan Oomleo, seorang seniman yang dikenal dekat dengan komunitas Ruang Rupa.

Tumpah Ruah Guilty Pleasure dalam Wadah Karaoke Massal (FOKUSTak hanya Kangen Band, Synchronize Festival juga menggandeng Wali, Radja, dan ST12.

Meski ada beberapa pihak yang sempat menganggap kehadiran band-band Melayu di Synchronize tidak tepat, tapi nyatanya mereka menjadi salah satu yang paling ditunggu.

Penonton tumpah ruah. Mereka seolah cuek dengan titel musik “alay” yang ditampilkan, bahkan diam-diam hafal, bahkan lantang bernyanyi.

Oomleo sendiri kala itu sempat menyindir penonton dari atas panggung, “Mampus enggak lo anak-anak indie! Siapa yang dulu hina-hina Inbox? Siapa yang dulu hina-hina Dahsyat?”

Dalam kesempatan berbeda, ia sepakat bahwa penampilan kala itu menjadi bukti bahwa karaoke menjadi ajang untuk menumpahkan ‘guilty pleasure‘ demi kesenangan.

“Tujuannya mereka kan bersenang-senang. Walaupun dalam hal yang sangat guilty pleasure sekali. Guilty pleasure tuh ada pleasure-nya loh. Bersalah tapi ada rasa senangnya,” ujar Oomleo saat berbincang.

“Ada kesenangan yang tidak bisa disembunyikan. Dari hal-hal seperti itu, ketika bernyanyi dengan lagu yang norak, ya sah-sah saja.”

Dari karaoke massal ini, ternyata tak hanya penonton yang senang, tapi juga para personel band itu sendiri. Oomleo bercerita bahwa setelah tampil bersama Radja, sang vokalis, Ian Kasela, menumpahkan kegembiraannya.

“Ian Kasella sendiri bilang ke gua, ‘Oomleo, gila nih enak banget format kayak gini dan banyak banget tawaran yang minta gua untuk jadinya karaoke-an lagi sama lo. Jadi bintang tamu di karaoke lo,'” tutur Oomleo.

Dalam wawancara dengan Gofar Hilman di program Ngobam, Oomleo juga mengatakan bahwa penampilan di Synchronize itu meninggalkan kesan mendalam bagi band-band Melayu tersebut.

“Dia bilang, ‘Oomleo, kalau lo mau tahu, inilah sebenarnya yang gua harapkan. Gua diterima di masyarakat ini.’ Wah gila, terharu gua,” katanya.

Tumpah Ruah Guilty Pleasure dalam Wadah Karaoke Massal (FOKUSDalam karaoke massal ini, ternyata tak hanya penonton yang senang, tapi juga para personel band Melayu itu sendiri. (CNN Indonesia/M Andika Putra)

Di lain sisi, guilty pleasure ini juga menjadi salah satu faktor yang memicu perkembangan karaoke berkembang dari ruang-ruang privat menjadi ke bar-bar, di mana orang tak saling mengenal.

Hal ini juga diamini oleh Ryo Wicaksono, salah satu pemilik bar yang kerap menggelar malam karaoke, Duck Down. Menurutnya, pemenuhan guilty pleasure ini datang bersamaan dengan kejenuhan orang dengan acara dengan penampil yang “itu-itu saja.”

“Begitu jenuh, dicolek pakai lagu-lagu yang familier atau bahkan guilty pleasure jadinya ketagihan. Dan kayaknya sekarang orang suka tampil ya. Udah enggak malu-malu lagi, apalagi dengan era sosial media seperti sekarang, semua orang punya corong untuk menjadi terkenal atau membuat konten sendiri, jadi udah enggak malu lagi,” katanya.

Di ranah lain, belakangan muncul pula karaoke yang mengusung musik-musik emo melalui Emo Night. Gelaran gagasan Sobat Indie ini pertama kali dihelat pada 2016. Begitu besar antusiasme publik, acara ini sampai-sampai sudah digelar di Jakarta dan Bandung.

Ekky selaku salah satu penyelenggara Emo Nite memang mengakui bahwa ada beberapa kalangan yang menganggap musik emo sebagai guilty pleasure.

“Mungkin saja (jadi guilty pleasure) buat sebagian orang, tapi jika ya, buat apa denial atau menjadikannya guilty pleasure? Orang pas nyanyiin lagunya bareng temen-temen lo yang ada cuma ‘pleasure‘ doang buat lo,” katanya.

Tumpah Ruah Guilty Pleasure dalam Wadah Karaoke Massal (FOKUSBegitu besar antusiasme publik, Emo Night sampai-sampai digelar di Jakarta dan Bandung. (Dok. Emirul Fahmi)

Anggota Sobat Indie lainnya, Rega Ayundya, juga sependapat dengan Ekky. Menurutnya, Emo Night tak termasuk dalam guilty pleasure.

“Gua enggak yakin sih emo itu guilty pleasure. Gua udah pernah ngerasain karaoke JKT48, K-Pop, dan gua (atau pun orang lain yang datang, gua yakin) enggak pernah melihat ketiganya sebagai guilty pleasure,” katanya.

Bagi Rega, khalayak suka karaoke massal karena aktivitas ini menghubungkan orang, di mana mereka bisa berbagai perasaan melalui lirik lagu yang dinyanyikan.

“Apalagi emo, karena mostly pendengar emo mendengarkan band-band emo ketika mereka lagi remaja. Setiap lagu emo pasti represents personal experience atau memori mereka. Jadi ya, gua bisa relate kalau yang datang ke Emo Night selalu sing along dengan kencang sambil bilang, ‘Lagu ini gua banget!'” tutur Rega.

Menanggapi semua perdebatan mengenai guilty pleasure ini, Oomleo dalam wawancaranya bersama podcast Agordi Club mengatakan tren karaoke ini menegaskan bahwa karya seni apa pun memang bermutu tinggi.

“Musik, visual art, sastra, pendokumentasian itu adiluhung. Seorang yang melantunkan, komposer di belakangnya, entah sangat murahan atau pasar yang menjadikannya komoditas, bendanya tetap adiluhung. Stratanya tinggi di kebudayaan. Semurah apa pun bisa diapresiasi oleh siapapun,” katanya.

 

Sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY