Agama, Pilkada DKI, dan Pilpres AS

0

Jakarta, Pelita.Online – April 2017, beberapa hari seusai putaran kedua Pilkada DKI 2017, seorang teman mengintroduksi sampul buku The God Strategy, How Religion Became Political Weapon in America di satu Whatsapp group.

Beberapa jam sebelumnya, di media sosial beredar tulisan yang katanya dibuat analis politik Eep Saefulloh Fatah. Eep yang dalam Pilkada DKI 2017 menjadi konsultan politik pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno membandingkan Pilkada DKI 2017 dengan pilpres Amerika ketika John F Kennedy dan Richard Nixon bertarung.

Eep hendak mengatakan agama ternyata juga digunakan dalam pilpres Amerika. Baik buku yang diintroduksi di Whatsapp group maupun tulisan yang katanya dibikin Eep itu kira-kira hendak melegitimasi politisasi agama dalam pilkada DKI karena toh politisasi agama juga terjadi dalam pilpres Amerika.

Saya penasaran. Apa iya Amerika yang katanya sekuler, yang memisahkan agama dari politik, membiarkan politisasi agama? Survei membuktikan rakyat Amerika semakin sekuler. Survei Pew Research Center menunjukkan jumlah orang dewasa Amerika yang percaya kepada Tuhan turun dari 92% pada 2007 menjadi 89% pada 2014.

Survei yang sama juga menunjukkan jumlah mereka yang mengatakan agama sangat penting bagi mereka turun dari 56% pada 2007 menjadi 53% pada 2014. “Publik Amerika semakin kurang religius,” cetus Becka A Alper, Research Associate of Religion and Public Life of Pew Research Center. Alper mempresentasikan hasil penelitiannya ketika 12 jurnalis peserta 2017 Senior Journalists Seminar yang diadakan East-West Center, termasuk saya, bertandang ke Kantor Pew Research Center di Washington, Jumat (8/9).

Apakah bisa dikatakan, bersamaan dengan semakin sekulernya orang Amerika semakin pudar pula pengaruh agama dalam kehidupan politik di Amerika? “Tidak juga. Kaitan agama dan politik di Amerika sangat kompleks,” jawab Alper.

Bila kita tengok sejarah, masyarakat Amerika sesungguhnya sangat religius. Para pendiri Amerika bahkan menyandingkan religiositas dan kebebasan. “The God who gave us life gave us liberty at the same time,” kata Thomas Jefferson, salah satu pendiri Amerika, Juli 1774. “Religion and liberty must flourish or fall together in America. We pray that both may be perpetual,” ucap William Smith dalam khotbahnya di Gereja Kristus, Philadelphia, 23 Juni 1775, saat melepas George Washington menjadi komandan tentara kontinental.

Saya makin penasaran. Apa iya Amerika yang menjadi kiblat demokrasi mengizinkan agama dijadikan senjata politik? Daripada mati penasaran, saya memeriksa buku The God Strategy yang ditulis David Domkedan Kevin Coe dan terbit pada 2010.

Untuk menggambarkan bagaimana agama digunakan dalam politik di Amerika, Domkedan Coe mengutip pidato pelantikan Presiden Barack Hussein Obama: “We know that our patchwork heritage is a strength, not a weakness. We are a nation of Christian, Muslims, Jews, and Hindus and nonbelievers.”

Domkedan Coe juga mengutip pidato John F Kennedy yang sangat terkenal pada September 1960: “I believe in an America where the separation of Church and state is absolut; where no Catholic prelate would tell the President–should he be a Catholic–how to act, and Protestant minister would tell his parishioners for whom to vote.”

Dari pidato Obama dan Kennedy tersebut tergambar bahwa agama digunakan sebagai strategi politik dalam konteks demokrasi, kesetaraan, dan keberagamaan, juga sekularisme. Penggunaan agama dalam konteks politik semacam itulah yang menyebabkan Obama yang punya darah muslim dalam dirinya serta John F Kennedy yang minoritas Katolik bisa menjadi presiden di Amerika yang mayoritas penduduknya Protestan.

Senjata moral

Dalam kehidupan politik modern Amerika, agama digunakan sebatas sebagai senjata moral. Sebagai contoh, dalam Pilpres AS 2008, warga negara sangat peduli dengan afiliasi keagamaan para kandidat yang mungkin mempengaruhi kebijakan pemerintah, seperti dalam isu riset stem sel, aborsi, eutanasia, dan pendidikan seks. Itu artinya warga AS menjatuhkan pilihan pertama-tama pada kandidat yang kebijakannya diprediksi sesuai dengan moral agama, bukan pada identitas agama kandidat.

Frank Newport, Pemimpin Redaksi Gallup, sebuah lembaga survei, setuju bila dikatakan peran agama dalam politik AS lebih bersifat moral ketimbang identitas. Gallup pada 20 Januari sampai 15 Maret 2017, melakukan survei tentang religiositas program-program Presiden Donald Trumps. Hasilnya sebagian besar atau 51% responden menyebut program kerja Trump sangat religius, 44% mengatakan lumayan religius, dan 32% menyebut tidak religius.

“Tapi, Trump sendiri bukan orang yang religius. Yang dianggap religius ialah programnya, misalnya, terkait dengan pernikahan sesama jenis,” cetus Frank menjawab pertanyaan saya ketika para jurnalis mengunjungi Kantor Gallup di Washington, Senin (11/11).

Itu artinya pemilih Amerika menjatuhkan pilihan pertama-tama karena program calon presiden. “Publik Amerika tidak mempertimbangkan agama dalam pemilihan presiden. Mereka pertama-tama mempertimbangkan program ekonomi kandidat,” ungkap Akram R Elias, President Capital Communication Group, sebuah konsultan internasional. Akram memberi kuliah kepada peserta 2017 Senior Journalists Seminar tentang sistem politik dan pemerintahan di Washington, Kamis (7/9).

Walhasil, ada perbedaan mendasar penggunaan agama dalam politik Amerika dan politik pilkada DKI. Perbedaan mendasar itu ialah agama digunakan sebagai moral dalam pilpres Amerika, sebaliknya agama digunakan secara brutal dalam Pilkada DKI 2017. Politisasi agama di pilkada DKI disebut brutal antara lain karena ungkapan ‘kafir’, ‘munafik’, dan ‘non-pribumi’, sampai larangan menyalatkan pemilih Ahok berseliweran di ruang publik.

Metrotvnews.com

LEAVE A REPLY