AS sampai Inggris Tak Ucap Duka Eks Presiden Meninggal ke China

0

Pelita.Online – Amerika Serikat, Inggris, dan India tak menyampaikan belasungkawa atas kepergian mantan presiden China, Jiang Zemin, yang meninggal dunia di usia 96 pada Rabu (30/11).
Saat sesi rapat di Dewan Keamanan PBB pada Rabu waktu New York, sejumlah delegasi negara mengucapkan belasungkawa kepada China sebelum menyampaikan pidato dalam pertemuan. Namun, perwakilan AS, Inggris, dan India dalam rapat itu tidak melakukannya.

“Mantan Presiden Jiang Zemin akan dikenang oleh komunitas internasional atas kontribusinya yang berdedikasi bagi perdamaian, keamanan, dan pembangunan global serta atas perannya dalam reformasi Tiongkok, keterbukaannya, modernisasi, dan pembangunan ekonomi,” kata Presiden Dewan sekaligus kepala misi Ghana untuk PBB, Duta Besar Harold Agyeman.

Setelah Agyeman mengucapkan itu, semua delegasi berdiri dan mengheningkan cipta selama satu menit.

Dalam kesempatan itu, Duta Besar Rusia Vasily Nebenzya, juga turut mengucapkan belasungkawa. Seolah menunjukkan kedekatan Rusia dengan China, Nebenzya membandingkan pemerintahan Jiang dengan Tiongkok saat ini.

“[Jiang] adalah seorang negarawan yang luar biasa. Periode terakhir sejarah baru China berkaitan erat dengan [kekuasaannya], yang ditandai dengan pencapaian besar dan pembangunan ekonomi dan sosial serta penguatan dalam kedudukan internasional,” kata Nebenzya.

Duta besar lainnya yakni Mohammed Abushahab dari UEA, Fergal Mythen dari Irlandia, Ferit Hoxha dari Albania, hingga Meena Syed dari Norwegia juga mengawali pidato mereka dengan menyampaikan pesan duka cita ke China.

Hanya India, Inggris, dan AS yang langsung bicara gamblang membahas isi pertemuan tersebut.

Hingga Rabu sore, ketiga negara itu juga belum mengeluarkan pernyataan resmi tentang kematian Jiang.

Departemen Luar Negeri AS sejauh ini pun belum memberikan tanggapan. Ini terjadi di saat AS-China terus bersaing ketat berebut pengaruh, terutama di kawasan Eropa dan Indo-Pasifik.

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, sempat berujar bahwa Washington telah “bekerja untuk meningkatkan ketahanan NATO di masa depan karena menghadapi tantangan baru, termasuk yang ditimbulkan China.”

Dia juga merujuk pada pertemuan NATO di bulan Juni saat para anggota menyebut Beijing sebagai “tantangan sistemik untuk keamanan Euro-Atlantik”.

“Anggota aliansi kami tetap prihatin dengan kebijakan koersif [China] atas penggunaan disinformasinya, atas pembangunan militernya yang cepat namun buram, termasuk kerjasamanya dengan Rusia,” kata Blinken di Bucharest seperti dikutip The South China Morning Post.

Sementara itu, hubungan antara India dan China sendiri memang sedang tegang akibat latihan militer bersama AS-India di wilayah sengketa yang dekat dengan China.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, sempat mengatakan latihan itu melanggar perjanjian antara China dan India pada 1993 dan 1996. Dia juga mengatakan latihan tersebut hanya menggoyahkan kepercayaan bilateral kedua negara.

“Latihan militer bersama yang diadakan oleh India dan AS di dekat Garis Kontrol Aktual melanggar semangat perjanjian yang relevan yang ditandatangani oleh China dan India pada 1993 dan 1996. Serta tidak membantu membangun kepercayaan bilateral,” ujarnya.

Di sisi lain, hubungan Inggris dan China juga tengah bersitegang lantaran Inggris mendukung kedaulatan Taiwan atas China. Duta besar China, Zheng Zeguang, bahkan sempat mengecam rencana kunjungan anggota parlemen Inggris ke Taiwan.

Zheng mengatakan kunjungan tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip “Satu China” dan komunike bersama.

“Ini adalah  campur tangan dalam urusan internal China yang pasti akan menyebabkan konsekuensi yang parah dalam hubungan China-Inggris Kami meminta pihak Inggris untuk mematuhi komitmennya sendiri  dan tidak meremehkan sensitivitas ekstrem dari masalah Taiwan, dan tidak mengikuti jejak AS,” tutur Zheng seperti dilansir The Guardian, dikutip Rabu (3/8/2022).

sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY