Demo Rusuh, Kompolnas: Tindakan Tegas Aparat Sudah Sesuai Aturan

0
Sebagian mobil staf Kemeterian ESDM RI yang dirusak oleh perusuh Kamis kemarin masih terparkir di Kemeterian ESDM RI, Jakarta, Minggu (11/10/2020). Proses perbaikan Gedung Kementerian ESDM RI akibat pengrusakan perusuh Demo UU Cipta Kerja ini sudah hampir selesai 50%.

Pelita.online –  Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyatakan, terkait unjuk rasa menentang UU Cipta Kerja (Ciptaker) yang berujung tindakan anarkistis, kepolisian sudah melaksanakan tugasnya sesuai dengan aturan yang ada.

“Saya memantau aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan secara serentak di kota-kota di Indonesia yang menentang pengesahan UU Cipta Kerja. Pantauan tersebut ada yang saya lakukan langsung, ada yang berdasarkan berita-berita media, dan ada yang saya peroleh dari jaringan. Aparat Kepolisian sudah melaksanakan tugasnya untuk menjaga agar situasi tetap kondusif,” kata komisioner Kompolnas Poengky Indarti, saat dihubungi SP, Minggu (11/10/2020).

Dari pantauan tersebut, lanjut Poengky, yang tampak menonjol dan menjadi catatan adalah massa yang berkerumun tidak mematuhi protokol kesehatan sehingga rentan menimbulkan klaster Covid-19, massa yang dimobilisasi dan belum semuanya paham dengan apa yg dilakukan. “Asal ikut saja karena ada ajakan dari WA grup, seperti yang bisa kita lihat saat beberapa pelajar mengaku tidak tahu saat ditanyai Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo,” katanya.

Selain itu, katanya, massa yang pada akhirnya bertindak anarkistis dan menyerang aparat Kepolisian serta merusak fasilitas umum.

“Saya melihat aparat kepolisian sudah melaksanakan tugasnya untuk menjaga agar situasi tetap kondusif, tetapi ada kelompok-kelompok yang memancing dan memprovokasi massa sehingga aksi menjadi anarkistis. Hal tersebut terjadi di hampir semua wilayah. Coba lihat yang terjadi di Jakarta, Malang, Surabaya, Yogyakarta dan kota-kota besar lainnya. Polisi, kendaraan polisi dan pos polisi sengaja diserang,” jelasnya.

“Bahkan di Ambon, Kapolda diserang dengan lemparan batu. Beberapa anggota Polri juga luka-luka akibat diserang dalam aksi anarkistis, antara lain, Bripda M Naufal dan Bripda Ahmad Jafar Sodik,” kata Poengky.

Jika demonstrasi berjalan tertib, terang Poengky, sesuai aturan hukum, maka tidak mungkin aparat kepolisian membubarkan demonstrasi.

“Jika demonstrasi dilakukan dengan cara anarkistis, para pimpinan demo tidak mampu mengontrol massanya, hal tersebut fatal. Tindakan anarkistis para pengunjuk rasa justru telah mencederai demokrasi. Oleh karena itu polisi berwenang melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang diduga melakukan tindakan anarkistis saat demo. Saya melihat Polri masih dalam koridor hukum,” paparnya.

“Adanya korban luka dari pengunjuk rasa, jurnalis, dan bahkan dari pihak Kepolisian sendiri harus dilihat kasus per kasus. Tidak fair jika yang disalahkan semata-mata polisi. Harus dilihat dengan komprehensif tentang demonstrasi, terjadinya aksi-aksi anarkistis dan tindakan penegakan hukum yang dilakukan Polri,” katanya.

Poengky mencontohkan, dalam video viral ada yang menunjukkan polisi memukul peserta demo atau polisi menembakkan gas air mata yang dituding merupakan bentuk kekerasan.

“Kita tidak bisa menilai dari video sepotong-sepotong yang diviralkan. Jika melihat video di Pejompongan, misalnya, di situ jelas tindakan penyerangan yang dilakukan demonstran dengan merusak mobil polisi dan menyerang aparat, maka berdasarkan Protap Anti Anarki, anggota Polri berwenang menggunakan kekerasan guna penegakan hukum, karena dalam konteks itu polisi adalah sebagai penegak hukum,” katanya.

Lebih lanjut Poengky menjelaskan, tahapan-tahapannya termasuk kendali tangan kosong, kendali senjata tumpul, senjata kimia, antara lain, gas air mata, hingga yang paling maksimal adalah dengan menggunakan senjata api jika tindakan pelaku anarkistis dapat mengakibatkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat.

“Polisi berwenang membubarkan kerumunan massa dengan water canon atau dengan gas air mata. Semuanya dilakukan setelah peringatan yang disampaikan polisi tidak diindahkan massa,” ujarnya.

Poengky mengungkapkan bahwa, dirinya justru sependapat dengan adanya dugaan bahwa demonstrasi serentak yang berakhir anarkistis di kota-kota besar di Indonesia, ada yang men-setting untuk tujuan tertentu. Oleh karena itu saya berharap Polri dapat mengungkap siapa aktor intelektual di belakangnya. Termasuk menyelidiki beredarnya berita-berita hoax yang meresahkan masyarakat.

“Jika demo berjalan damai, go ahead. Silakan. Karena demo itu hak semua orang sebagai perwujudan dari kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat. Tetapi ingat, kebebasan tersebut tetap harus mematuhi hukum dan menjaga ketertiban. Jika anarkistis, polisi wajib menindak tegas,” katanya.

Apalagi di masa pandemi Covid-19 ini, tambah Poengky, seharusnya semua orang bertanggungjawab menjaga agar tidak terjadi penularan yang meluas. “Mencegah penyebaran Covid-19 akan memercepat bangsa dan negara ini kembali pulih perekonomiannya,” tegasnya.

Sumber:BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY