DPR: Resesi, Pemerintah RI Harus Jadi Pelaku Ekonomi

0

Pelita.online – Anggota DPR-RI Komisi XI Prof. Dr. Hendrawan Supratikno menyampaikan bahwa dalam situasi perlambatan ekonomi atau resesi seperti sekarang, Pemerintah Indonesia harus menjadi pelaku ekonomi. Saran serupa juga disampaikan oleh akademisi dan Rektor Universitas Atmajaya Agustinus Prasetyantoko di Jakarta, pada Selasa (10/11).

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia pada Kuartal III-2020 minus (-) 3,49% secara year on year (yoy/tahunan) dibandingkan periode yang sama pada 2019. Angka minus ini menyusul pertumbuhan yang juga negatif di Kuartal II, sebesar minus (-) 5,32%. Atas dasar pertumbuhan dua kuartal berturut-turut yang negatif itu, Indonesia sah disebut mengalami resesi.

Menurut Hendrawan, kondisi perlambatan ekonomi saat ini sebenarnya sudah dirasakan sejak beberapa tahun lalu. Indikasinya adalah target pertumbuhan ekonomi yang selalu tidak tercapai. Terlebih ketika kemudian terjadi pandemi Covid-19, dan diberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dia pun mengaku sudah bisa memastikan pertumbuhan ekonomi akan semakin terpukul.

“Jadi kami sudah tidak risau dengan istilah-istilah seperti resesi yang merujuk pada perlambatan ekonomi. Kami sudah menilai dan antisipasi sejak beberapa tahun lalu,” ujar Hendrawan yang berasal dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dalam siaran pers, Rabu (11/11).

Dia menambahkan, pihaknya sudah mendesak agar pemerintah melakukan beberapa tindakan strategis, sejak melihat melihat penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia secara menyeluruh. Hal itu ditandai dengan turunnya harga komoditas di pasar internasional dan tidak tercapainya target pertumbuhan pajak.

Ada pun anjuran tindak strategis pertama adalah, supaya pemerintah membuat perencanaan pembangunan yang lebih realistis sejak 2-3 tahun silam. Kedua, pemerintah harus membuat kebijakan ekonomi uang yang bersifat anti-cyclical/countercyclical/anti-siklik (menantang arah angin) dalam bentuk kebijakan fiskal yang lebih agresif, di mana pemerintah harus turun tangan menjadi pelaku ekonomi.

“Itu yang lebih penting bagi pemerintah, dan kami sudah wanti-wanti kepada Kepala Bappenas, OJK, Gubernur BI untuk benar-benar menerapkan kebijakan anti-siklik,” kata Hendrawan.

Namun dalam perjalanan waktu, ekonomi yang sudah melambat itu ternyata kembali mendapatkan pukulan yang lebih keras dari pandemi Covid-19. Kejadian luar biasa ini tidak hanya memberi efek pada satu sisi, supply atau demand saja seperti dalam perlambatan biasa, namun memukul dua sisi sekaligus.

Kondisi ini yang kemudian mendorong DPR menerima Perpu 1/2020, yaitu tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan disahkan menjadi Undang-undang No 2/2020, dan menyetujui program pemulihan sebesar Rp 695,2 triliun.

Hendrawan menyebut, saat ini ada 9,6% masyarakat di bawah garis kemiskinan, di mana 3,6% di antaranya berada titik kemiskinan ekstrem dengan pendapatan per kapita di bawah US$ 1,9/hari. Pertimbangan inilah yang membuat DPR setuju dengan semua rencana pemerintah, dan tidak berdebat lagi termasuk terhadap APBN Perubahan yang ditetapkan melalui Perpres 72/2020.

“Memang kami jadi menuruti apa yang dimaui pemerintah karena kondisi, dan juga karena permintaan presiden. Kalau kondisi normal, tidak mungkin,” tegasnya.

Kalau tidak ada kondisi itu, lanjut Hendrawan, pihaknya pasti menolak karena di sana untuk sementara politik anggaran yang merupakan peran penting DPR diambil alih sepenuhnya oleh pemerintah. “Kami jadi seperti memberi Sri Mulyani (menteri keuangan–Red) cek kosong, sehingga dalam waktu pendek utang melejit luar biasa,” tambahnya.

Sebagai syarat atas persetujuan tersebut, ungkap Hendrawan, DPR juga sudah meminta kepada pemerintah agar mengeksekusi program-program yang sudah disetujui dengan baik. Namun kenyataannya, sampai minggu pertama November ini, realisasi anggaran baru terlaksana 55%, padahal waktu yang tersisa tinggal 1,5 bulan sampai akhir tahun anggaran 2020.

Di sisi lain, Hendrawan memaklumi hal itu karena ada hambatan birokratis administratif yang membuat pencairan anggaran terhambat. Penyebabnya adalah karena banyak pemerintah daerah (pemda) yang masih bingung bagaimana melakukan realokasi anggaran, dari anggaran untuk penanganan covid ke pemulihan.

“Dari kondisi normal ke non-normal seperti ini selalu ada kejutan administratif karena satker-satker (satuan kerja) tetap harus memperhatikan tata kelola akuntabilitas anggaran agar tidak menimbulkan masalah hukum,” ujarnya seraya memaklumi.

Hal yang melegakan, tutur Hendrawan, kondisi ini sudah bisa dinormalisasi dalam rancangan anggaran 2021/2022, yang ditandai dengan keluarnya RUU APBN 2021. Melalui APBN yang sudah disahkan 20 September itu, ia menilai pemerintah sudah tahu bahwa kondisi akan kembali normal sehingga ke depan semua lebih bisa diprediksi.

Mengalihkan Anggaran ke Pos Sosial

Senada dengan suara DPR, akademisi Prasetyantoko turut memberi saran kepada pemerintah untuk mengambil peran lebih besar, guna menjaga agar konsumsi masyarakat tetap terjaga.

Menurut Prasetyantoko, dalam bulan-bulan terakhir 2020, apabila ada pos-pos belanja yang tidak maksimal, seharusnya dialihkan ke pos yang memiliki kebutuhan lebih tinggi. Semisal, dialihkan ke pos bantuan sosial bilamana anggaran di pos ini sudah habis.

“Tindakan seperti ini akan sangat membantu menaikkan permintaan masyarakat menengah ke bawah agar konsumsi mereka tetap terjaga,” katanya.

Sebaliknya kepada masyarakat, ia berharap kendati isu utama tetap mengenai masalah kesehatan, namun belanja konsumsi juga harus mulai dilakukan. Untuk kalangan masyarakat menengah ke bawah, tegasnya, mau tak mau hal ini harus distimulasi pemerintah melalui bantuan sosial. Sementara untuk masyarakat menengah ke atas, ia berharap mereka mulai berani belanja di sektor leasure.

Prasetyantoko berpendapat bahwa hal ini sudah mulai bisa dilakukan karena ekonomi Indonesia mulai menunjukkan pemulihan yang ditunjukkan dari angka kontraksi ekonomi yang mulai mengecil, dibandingkan Kuartal II. Sejumlah indikator ekonomi juga sudah memperlihatkan perbaikan seperti belanja pemerintah yang terlihat positif.

Dan di balik kesulitan ini, Prasetyantoko melihat ada momentum bagus bagi Pemerintah untuk menjadikan digital ekonomi sebagai backbone perbaikan. Semisal dengan melakukan penyaluran bantuan sosial melalui teknologi finansial (fintech). “Memang sudah ada, tapi belum intensif. Kalau sektor ini dimanfaatkan, akan menjadi fase baru ekonomi kita,” ujarnya.

Sumber:BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY