Dunia ‘Cuma’ Kurangi Batu Bara Cs, Suara RI Didengar?

0

pelita.online –  Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) COP28 di Dubai menerbitkan draft terbaru yang diantaranya berkomitmen mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Hanya saja, draft tersebut tidak mencantumkan mengenai ‘penghentian’ penggunaan bahan bakar fosil.

Dokumen tersebut mencantumkan delapan opsi yang dapat digunakan negara-negara untuk mengurangi emisi, termasuk mengurangi konsumsi dan produksi bahan bakar fosil, dengan cara yang adil, teratur, dan merata sehingga mencapai nol emisi pada, sebelum, atau sekitar tahun 2050.

Tindakan lain yang termasuk dalam daftar ini adalah meningkatkan kapasitas energi terbarukan sebanyak tiga kali lipat pada tahun 2030, mengurangi penggunaan batu bara secara bertahap, dan meningkatkan teknologi termasuk teknologi untuk menangkap emisi CO2 agar tidak mencemari atmosfer.

Presiden COP28 Sultan Al Jaber mendesak hampir 200 negara yang hadir dalam pembicaraan tersebut untuk melipatgandakan upaya mereka untuk menyelesaikan kesepakatan sebelum KTT COP28 berakhir untuk membicarakan penghentian bahan bakar fosil.

“Anda tahu apa yang masih harus disepakati. Dan Anda tahu bahwa saya ingin Anda mewujudkan ambisi tertinggi dalam semua hal termasuk bahasa bahan bakar fosil,” katanya seperti dilansir Reuters, dikutip Rabu (13/12/2023).

Lalu bagaimana dengan usulan RI atas transisi energi?

Patut diketahui, bahwa Indonesia juga ngebet untuk bertransisi energi. Indonesia sendiri memiliki target pengurangan emisi gas rumah kaca untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) tahun 2060 atau lebih cepat.

Beberapa program yang dibuat untuk mendukung hal tersebut seperti pengurangan emisi melalui pemensiunan dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT), dan pengembangan ekosistem kendaraan listrik untuk mengurangi konsumsi bahan bakar fosil dalam negeri.

Kenyataannya memang, program-program yang dicanangkan di Indonesia perlu mongocek kantong lebih dalam. Transisi energi menjadi lebih bersih di dalam negeri membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) dalam sambutannya di COP28, Dubai itu menyatakan, program transisi energi di Indonesia harus diperkuat dari negara maju, khususnya dalam hal pendanaan iklim bagi negara berkembang.

“Utamanya dalam rangka mencapai target Net Zero Emission. Dalam KTT COP28 ini saya akan menyampaikan pengalaman Indonesia dan mempertegas pentingnya kolaborasi global untuk pendanaan iklim serta pentingnya transisi yang inklusif untuk menjamin keberlanjutan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di negara-negara berkembang,” kata Jokowi.

Dana besar yang dibutuhkan bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia dijelaskan pula secara gamblang oleh Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati.

Menkeu Sri Mulyani mengatakan dalam menjalankan transisi energi, Indonesia membutuhkan setidaknya US$ 97 miliar atau setara Rp 1.518 triliun (asumsi kurs Rp 15.653 per US$) hingga tahun 2030 mendatang.

Dengan begitu, Indonesia telah memiliki Energy Transition Mechanism (ETM), yaitu sebuah mekanisme pembiayaan campuran yang bisa dimanfaatkan oleh seluruh pihak global dalam menyelesaikan krisis iklim.

“Kami membutuhkan langkah konkret melalui Green Low-Cost Financing. Kami memberikan landasan yang kuat bagi platform negara pembiayaan ramah lingkungan melalui ETM dan JETP yang telah kami tuangkan dalam Comprehensive Investment & Policy Plan (CIPP),” kata Sri Mulyani.

Adapun, program JETP (Just Energy Transition Partnership) itu sendiri merupakan keseakatan Indonesia dengan berbagai negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Jepang untuk membantu pendanaan transisi energi di Indonesia.

Namun lagi-lagi, dana yang dijanjikan dalam JETP sekitar US$ 20 miliar atau setara Rp 300 triliun terhitung masih jauh dari kebutuhan Indonesia untuk transisi energi yang sampai tahun 2030 saja membutuhkan dana sekitar Rp 1.500 triliun.

Dengan begitu, Indonesia atau bahkan negara-negara berkembang lainnya perlu memutar otak lebih jauh untuk merealisasikan program transisi energi dan menghindari krisis iklim.

Berbicara pentingnya realisasi transisi energi di Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Siti Nurbaya Bakar mengatakan pentingnya sektor energi sekaligus memprioritaskannya dalam agenda COP28 untuk didiskusikan di Paviliun Indonesia.

Menurut Siti Nurbaya, implementasi JETP memproyeksikan sekitar US$ 20 miliar kemitraan publik-swasta dengan pendanaan investasi campuran khususnya untuk mempercepat dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan.

“Mobilisasi keuangan kini sedang berlangsung selama tiga sampai lima tahun dengan memperkenalkan Indonesia Country Platform sebagai mekanisme keuangan untuk pensiun dini pembangkit listrik tenaga batubara atau PLTU dan untuk investasi baru pada energi terbarukan,” ujar Siti Nurbaya.

“Pembahasan mengenai energi akan menjadi penting dan menarik setelahnya, begitu juga dengan sampah dan ekonomi sirkular, yang semuanya melibatkan partisipasi masyarakat, swasta, CSO dan akar rumput,” tandasnya.

Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo mengungkapkan gelaran United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) COP28 merupakan event yang cukup spesial.

Mengingat, dalam kesempatan itu, pihaknya dapat mengajak para komunitas global bersama-sama untuk turut serta mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) melalui penggunaan energi bersih.

Darmawan menilai perubahan iklim sejatinya bukan lagi menjadi persoalan suatu bangsa, namun merupakan persoalan masyarakat dunia. Misalnya, emisi GRK yang dihasilkan di Jakarta juga akan menimbulkan dampak yang sama di berbagai dunia.

“Apakah ini permasalahan Indonesia saja? apakah ini permasalahan Eropa saja? apakah ini permasalahan dari United States? Apakah dari Jepang? ternyata bukan karena ini adalah permasalahan Global,” kata Darmawan dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia di Dubai, dikutip Rabu (13/12/2023).

Darmawan pun berharap melalui sesi diskusi di sela-sela perhelatan COP28 dapat membuat masyarakat global kompak menangani perubahan iklim.

“Dalam proses ini kami bangga sekali bahwa pemerintah Presiden Joko Widodo di sini ada Kementerian ESDM ada, Kemenko Marves ada, KLHK ada, dari BUMN ada, semuanya hadir di sini dan kami dalam rangka menjalankan tugas transisi energi dalam bidang kelistrikan,” kata dia.

Di samping itu, ia memproyeksikan emisi gas rumah kaca (GRK) RI dari sektor ketenagalistrikan bisa mencapai 1 miliar metrik ton CO2 per tahun pada 2060 mendatang. Terutama apabila PLN tidak melakukan upaya untuk mengurangi emisi di sektor tersebut.

Menurut Darmawan emisi GRK yang dihasilkan dari sektor ketenagalistrikan saat ini jumlahnya mencapai 290 juta metrik ton CO2 per tahun. Adapun, apabila PLN hanya bekerja secara business as usual, maka emisi GRK di tahun 2060 akan tembus 1 miliar metrik ton CO2 per tahun.

sumber : cnbcindonesia.com

LEAVE A REPLY