El Nino dan Alarm Krisis Pangan yang Menyalak

0

pelita.online – Pemerintah tengah was-was menghadapi El Nino pada medio tahun ini. Fenomena alam itu diklaim berpotensi membuat Indonesia kekeringan hingga didera inflasi pangan.
Baru-baru ini, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan mengatakan ancaman El Nino berkorelasi terhadap penurunan produksi pertanian RI. Padahal, inflasi pangan berkontribusi besar terhadap inflasi keseluruhan.

“Belum lagi dampak luas terhadap inflasi Indonesia dikarenakan besarnya kontribusi inflasi pangan terhadap inflasi keseluruhan. Hal ini terjadi karena diperkirakan 41 persen lahan padi mengalami kekeringan ekstrem di tahun tersebut,” kata Luhut di akun Instagram resminya, Rabu (26/4) lalu.

Ia pun berjanji pemerintah bakal bersiap menghadapi ancaman paling ekstrem. Luhut meminta seluruh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah memulai persiapan ‘perang’ melawan El Nino sejak dini.

Maklum, ia tak mau kecolongan seperti 2015 lalu, di mana Indonesia diterjang El Nino dan dilanda kekeringan luas hingga kebakaran hutan di beberapa daerah RI. Terlebih, ia sudah mengantongi prediksi waktu terjadinya El Nino, yakni pada Agustus 2023 mendatang.

“Setidaknya sejak saat ini kami menyiapkan teknologi modifikasi cuaca sebagai senjata menghadapi El Nino,” imbuh Luhut.

Luhut lantas mengutip data World Food Programme yang menyebut tiga dari lima rumah tangga kehilangan pendapatan akibat kekeringan. Selain itu, satu dari lima rumah tangga harus mengurangi pengeluaran untuk makanan imbas bencana kekeringan.

Pengamat Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Hermanto Siregar mengatakan El Nino memang akan terjadi pada tahun ini dan harus diwaspadai. Namun, pemerintah dan masyarakat pun tidak perlu takut berlebihan.

Menurutnya, walaupun El Nino menyebabkan peningkatan suhu udara dan terjadi penurunan curah hujan, namun tak berarti tidak ada hujan.

Hermanto menilai curah hujan masih tetap ada terutama di berbagai daerah, bahkan bisa jadi Indonesia mengalami ‘kemarau basah’. Oleh karena itu, ia mengatakan petani masih bisa bercocok tanam.

“Sehingga padi dan tanaman pangan lainnya tetap bisa ditanam. Kuncinya adalah mengetahui daerah-daerah yang tetap bisa ditanami tersebut dan memastikan produksi pangan masih mencukupi,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (2/5).

Pun Hermanto memastikan El Nino tahun ini tidak akan separah pada 2015 silam. Saat itu, tak sedikit lahan pertanian yang mengalami gagal panen alis puso.

Kementerian Pertanian mencatat luas lahan pertanian yang terkena dampak kekeringan dari 2009-2019. Berdasarkan data itu, ada 33.188 hektare lahan pertanian yang mengalami gagal panen pada 2009.

Angka tersebut mengalami fluktuasi hingga tercatat mengalami penurunan drastis menjadi 4.442 hektare pada 2013.

Namun, pada 2015, jumlah lahan pertanian yang mengalami puso meroket hingga 244.861 hektare akibat fenomena El Nino yang menyebabkan kebakaran hutan dan kekeringan di banyak tempat.

“Tidak akan separah 2015. Ada beberapa perkiraan bahwa tahun ini walau El Nino, namun tetap ada hujan,” tegas Hermanto.

Kendati demikian, tidak ada salahnya pemerintah untuk waspada. Ia pun memaparkan beberapa upaya yang bisa diambil agar El Nino tidak terlalu menyebabkan kekeringan lahan pertanian yang berimbas pada produksi.

Pertama, pemantauan dan peramalan cuaca dilaksanakan sebaik-baiknya agar dapat mengantisipasi dampaknya terhadap penanaman/budidaya tanaman pangan.

Kedua, memastikan dilakukannya penanaman padi di daerah-daerah yang ketersediaan airnya memadai. Ketiga, memastikan terkendalinya tanaman tersebut dari serangan hama.

Keempat, memastikan gabah hasil panen diolah dan disimpan secara optimal. Di samping itu, beras dapat didistribusikan secara baik ke seluruh Indonesia.

Optimalkan Infrastruktur dan KUR
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menuturkan untuk meredam dampak El Nino pada sektor pertanian, pemerintah harus segera memfungsikan infrastruktur berupa irigasi.
Ia mencontohkan beberapa proyek strategis nasional (PSN) tahun ini seperti bendungan dan sumur air harus dioptimalkan.

“Jadi harusnya proyek strategis nasional tahun 2023 ini ada yang fokus untuk mempercepat pembangunan sumur-sumur kemudian optimalisasi irigasi,” kata Bhima.

Pemerintah juga bisa menyiapkan wacana membuat hujan buatan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Hal ini bisa dilakukan guna membasahi wilayah yang terdampak kekeringan paling parah.

Selain itu, kata Bhima, pemerintah juga bisa menggandeng pusat-pusat penelitian pertanian dan kampus untuk berinovasi membuat bibit yang tahan cuaca ekstrem. Selanjutnya, pemerintah pun perlu segera menyerap lebih banyak lagi gabah di level petani.

Dengan begitu, stok cadangan beras pemerintah juga semakin meningkat tanpa perlu terlalu mengandalkan pada impor. Di samping itu, pemerintah juga perlu memikirkan nasib petani dengan cara membantu permodalan bagi mereka yang kesulitan finansial imbas kekeringan ekstrem.

“Jadi program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga nol persen harus difokuskan ke sektor pertanian. Tahun ini porsinya harus lebih banyak karena itu bisa meringankan beban petani juga,” sambung Bhima.

Untuk antisipasi terakhir, Bhima mengatakan pemerintah bisa bekerja sama dengan negara-negara pemasok beras seperti Vietnam dan Thailand. Kerja sama ini dilakukan guna meningkatkan koordinasi untuk mengamankan stok beras jika dampak El Nino cukup parah.

Dengan upaya tersebut, maka lonjakan harga beras imbas kelangkaan pun bisa diredam.

“Saya pikir ini yang harus dilakukan dan kalau perlu bikin paket kebijakan khusus antisipasi El Nino, ada anggaran yang diperjelas karena masuk dalam kategori bencana. Jadi belajar dari El Nino 2015 harus ada Satgas yang khusus untuk menangani masalah di hulu pertanian maupun di hilir,” kata Bhima.

Lebih lanjut, ia mengingatkan El Nino bisa berdampak signifikan terhadap stok pangan di dalam negeri dan menyebabkan kenaikan inflasi. Pada tahun 2015, fenomena El Nino menyebabkan inflasi harga pangan bergejolak (volatile food) mencapai 4,84 persen year on year (yoy).

Sementara pada Januari 2016, inflasi harga pangan bergejolak menembus 6,77 persen yoy. Padahal, Januari atau awal tahun biasanya inflasi cenderung rendah, tapi El Nino menyebabkan anomali di awal 2016.

Bhima menilai dengan kondisi inflasi pada 2023 diperkirakan berkisar 4,5 persen hingga 5 persen, kondisi El Nino bisa memperburuk ekspektasi itu.

“Kekeringan ekstrem harus mulai dimitigasi terutama di kantong penghasil pangan utama,” tegasnya.

Belum lagi, El Nino juga bisa berimbas investasi. Bhima menyebut pada rentang 2021-2022 terjadi kenaikan investasi di sektor perkebunan khususnya bertepatan dengan bonanza minyak sawit mentah (Crude palm oil/CPO) di pasar ekspor.

Adapun harga CPO per 27 April 2023 mengalami tekanan hingga turun 48,8 persen yoy. Jadi faktor harga yang turun juga berkontribusi pada tertunda nya investasi di sektor sawit.

“Ditambah risiko El Nino tentu bisa mempengaruhi keputusan penambahan investasi di sektor perkebunan setidaknya dalam dua hingga tiga tahun ke depan,” tandas Bhima.

sumber : cnnindonesia.com

LEAVE A REPLY