Industri 4.0, Inovasi, dan Toleransi terhadap Kegagalan

0

Pelita.online – Ada perubahan besar, revolusi besar, yang mulai dan akan melanda bangsa kita, namun banyak dari kita justru mengabaikannya. Perubahan ini juga melanda bangsa-bangsa lain juga, dan sebagian dari mereka bukan hanya sudah mempersiapkan diri, tetapi juga menjadi pemicu revolusi ini. Inilah revolusi industri 4.0, yang dipicu bukan oleh massa yang marah, tetapi oleh perkembangan teknologi yang menyinergikan proses automatisasi dan pertukaran data yang semakin kaya dan intensif.

Proses automatisasi dengan computer integrated manufacturing (CIM) sudah dikembangkan sejak 1970-an oleh beberapa perusahaan seperti Toyota. Tetapi, dengan adanya Internet of Things (IoT), integrasi proses menjadi lebih mudah dan terjangkau dari segi biaya, bahkan bisa diintegrasikan dengan keseluruhan rantai nilai (value chain), seperti dengan sistem logistik, distribusi, dan pemasaran, termasuk integrasi antar-perusahaan.

Perkembangan di atas akan berdampak besar pada daya saing ekonomi kita. Jika industri nasional tidak mampu mengikuti perkembangan, maka mereka akan tersisih dari persaingan bisnis yang nyaris tidak kenal batas-batas negara lagi. Sementara jika mereka mengadopsi teknologi-teknologi yang menjadi penopang industri 4.0, maka akan berdampak besar pada nasib para pekerja. Mereka harus meningkatkan keterampilannya.

Industri nasional juga dituntut untuk lebih inovatif. Kalau hanya semata-mata mengandalkan pengoperasian mesin canggih yang dibeli dan tanpa menambahkan unsur inovasi, maka industri nasional sulit membangun daya saing, karena mesin-mesin tersebut juga bisa dibeli oleh industri di negara-negara lain juga, sehingga kita tidak memiliki kelebihan apa-apa dengan cara itu.

Tantangan bagi pekerja juga sangat berat. Karena mereka bukan sekadar dituntut untuk meningkatkan keterampilannya, tetapi lebih dari itu. Proses otomatisasi yang semakin cerdas akan menggusur pekerjaan-pekerjaan yang rutin atau repetitif/berulang dengan pola tetap. Penggusuran ini tidak hanya terjadi di pabrik, tetapi di berbagai sektor. Bukankah untuk sebagian urusan dengan perbankan, nasabah tidak lagi berinteraksi dengan pegawai bank, tetapi lebih banyak memanfaatkan ATM, internet banking atau mobile banking?

Pekerjaan yang dulu harus dilakukan oleh banyak orang kini bisa dilakukan oleh mesin atau komputer, atau kalaupun ada orang yang terlibat jumlahnya menjadi lebih sedikit. Pengerjaan pembukuan yang hanya memasukkan data pemasukan dan pengeluaran, serta menghitung jumlah dan selisihnya, sudah demikian mudah dilakukan dengan komputer, sehingga pengerjaannya tidak membutuhkan banyak orang lagi. Apa lagi kalau transaksinya secara online, data interaksi langsung masuk ke aplikasi pembukuan yang langsung melakukan penghitungan secara otomatis.

Demikian juga dalam proses produksi, untuk jumlah output yang sama, semakin sedikit tenaga manusia yang terlibat. Kalau begitu, lalu pekerjaan apa yang masih tersisa bagi tenaga kerja manusia? Tentu yang non-rutin, seperti yang responsif terhadap kebutuhan pelanggan yang beragam dan berubah-ubah, serta pekerjaan yang kreatif, inovatif ataupun intelektual. Karena itu kita harus mendidik diri kita sendiri menjadi kreatif, inovatif, ataupun intelektual.

Lembaga pendidikan juga harus menyiapkan peserta didiknya menjadi insan kreatif, inovatif, dan intelektual. Orang tidak serta-merta bisa menjadi kreatif atau inovatif hanya karena dituntut keadaan. Mereka perlu mengasahnya, baik keterampilan maupun sikap mentalnya. Kreativitas menunjukkan kemampuan menghasilkan gagasan baru, yang bisa dalam bentuk mengkombinasikan gagasan-gagasan yang ada menjadi sesuatu yang baru. Sedangkan inovatif, selain menggagas sesuatu yang baru, juga membuatnya diterima masyarakat. Untuk itu, gagasan baru tersebut harus bisa menyelesaikan masalah yang dirasakan masyarakat atau pelanggan.

Keinovatifan ini ditingkatkan dengan learning by doing, yakni dengan terlibat dalam kerja nyata mengagas hal-hal baru untuk menyelesaikan masalah. Sikap pantang menyerah diperlukan karena upaya inovatif tidak bisa dijamin keberhasilannya. Solusi teknis tidak selalu bisa ditemukan. Kalaupun bisa, solusi teknis ini masih harus menembus ujian dari pasar, baik penerimaan konsumen maupun persaingan dengan produk sejenis. Coba dan keliru (trial and error) adalah proses normal dalam mengembangkan inovasi. Kegagalan, yang bisa terjadi berulang kali, adalah konsekuensi yang harus dilalui.

Selain inisiatif pribadi dan lembaga pendidikan, lingkungan sosial –baik dalam lingkungan kerja maupun masyarakat luas– sangat mempengaruhi pembentukan sikap kreatif dan inovatif tersebut. Risiko kegagalan yang harus ditanggung seorang inovator membuat dia membutuhkan dukungan lingkungan sosial yang toleran terhadap kekeliruan dan kegagalan. Melakukan inovasi adalah mengeksplorasi sesuatu yang baru. Jadi kemungkinan kecil orang langsung bisa menemukan solusi yang tepat.

Sebagai contoh, Silicon Valley adalah tempat yang sangat toleran terhadap kegagalan. Reputasi seseorang tidak akan rusak hanya karena gagal baik dalam pengembangan teknologi ataupun bisnisnya. Para pemodal ventura masih akan tetap terbuka terhadap gagasan baru mereka.

Lalu, bagaimana dengan masyarakat kita? Kita sering tidak toleran terhadap kegagalan. Banyak orang, termasuk yang tidak melakukan apa-apa, ikut-ikutan menyalahkan orang yang sudah bekerja keras namun gagal. Orang yang mengambil risiko tetapi gagal akan lebih tidak dihargai dibandingkan orang yang tidak melakukan apa-apa. Kondisi seperti ini menyebabkan orang berusaha keras menyembunyikan kegagalannya.

Padahal kita bisa belajar banyak dari kegagalan, baik dari kegagalan kita sendiri maupun orang lain. Jika berbagai kegagalan kita sembunyikan, maka orang lain tidak bisa belajar dari kegagalan tersebut, akibatnya pengulangan kegagalan oleh orang-orang yang berbeda akan terus terjadi. Padahal kegagalan tidak selalu berarti kesalahan. Apa lagi dalam kegiatan inovasi, yang sifatnya memang eksploratif. Contoh yang terkenal adalah penemuan post-it yang kini mudah ditemui di perkantoran.

Post-it berawal dari “kegagalan” ahli kimia 3M untuk mengembangkan lem yang kuat, tetapi yang didapat adalah lem yang daya lengketnya rendah. Tetapi, bukannya menyembunyikan “kegagalan” tersebut, ahli kimia tersebut kemudian mengeksplorasi kemungkinan pemanfaatan dari lem “gagal” tersebut, yang akhirnya jadilah post-it yang merupakan salah satu produk sukses dari 3M. Produk ini tentu tidak akan ditemukan di lingkungan yang tidak toleran terhadap “kegagalan.”

Jika kita baca laporan-laporan baik di lingkungan pemerintah maupun swasta, akan sulit kita mendapatkan laporan yang menunjukkan kegagalan. Tetapi, apa yang terjadi? Meskipun laporan tersebut selalu menunjukkan apa yang ditargetkan selalu tercapai, lembaga kita tidak maju-maju juga, bangsa kita pun tidak maju-maju. Kegagalan yang disembunyikan, yang sebenarnya belum tentu kesalahan, jadi tidak bisa dikoreksi, tidak bisa dijadikan pelajaran. Dan, sikap menyembunyikan kegagalan ini mengakibatkan bangsa kita tidak bisa belajar dari pengalaman.

Tindakan menyembunyikan kegagalan ini banyak terjadi karena masyarakat tidak toleran terhadap kegagalan. Lebih parah lagi, bukan hanya banyak orang yang “nyinyir” pada kegagalan orang lain, bahkan juga “nyinyir” terhadap pencapaian orang lain. Lingkungan yang tidak toleran terhadap kegagalan akan membuat orang takut mengambil inisiatif yang inovatif. Dan lingkungan yang tidak apresiatif terhadap pencapaian orang lain akan melemahkan motivasi orang untuk melakukan inovasi.

 

Ikbal Maulana peneliti di P2KMI-LIPI

LEAVE A REPLY