Jadikan Aspek Hukum Sebagai Selling Point Proyek Properti

0
Erwin Kallo, Property Lawyer (Foto: Angga Kinn)

JAKARTA, Pelita.Online – Salah satu penyebab terpuruknya bisnis sektor properti yang anggap sebagai titik nadir, ketika badai krisis moneter menghantam Indonesia tahun 1998, adalah kurang diperhatikannya aspek hukum dalam sektor ini. Di masa lalu, pembangunan sektor properti (khususnya perumahan) kerap menggampangkan persoalan, terutama yang berkaitan dengan aspek hukum. Segala persoalan, seperti pembebasan tanah dan perijinan tidak lalui menurut prosedur hukum yang benar.

Menurut property lawyer Erwin Kallo, harus diakui, bahwa sebagian besar proyek properti masa lalu dikerjakan dengan ’jurus potong kompas’. Dengan uang, kenyataannya memang segala urusan mudah terselesaikan. Hubungan atas dasar ’simbiosis mutualisme’ dan ’win win solution’ antara penguasa dan pengusaha menjadi warna perekonomian Indonesia. Mungkin karena itu, para pebisnis properti selalu menomorduakan aspek legal, karena memang di jaman itu semua ’urusan’ bisa diatur.

“Namun di luar perhitungan, dan celakanya ketika arus reformasi dan transparansi bergulir, disusul tumbung rezim Orde Baru, tak terkecuali sektor properti pun turut “panen” kasus. Selanjutnya, seperti kita ketahui bersama, bisnis properti yang selalu dikonotasikan sebagai lokomotif perekonomian negara, karena dia mampu menarik lebih dari 144 gerbong bisnis terkait itu tumbang dan koleps, persis di saat-saat puncak kejayaannya.,” ujarnya.

Padahal, imbuhnya, kalau sejak awal pelaku bisnis properti mau memperhatikan aspek hukum dalam setiap kegiatan usahanya, maka persoalan hukum yang mungkin timbul bisa diminimalisir.

Erwin mengatakan, sebagai besar pola pikir pebisnis properti di Indonesia kala itu, melihat aspek legal sebagai cost yang tak perlu. Mereka lebih suka “menyelesaikan” masalah lewat aparat keamanan, oknum pejabat, bahkan dengan preman, daripada menempuh jalur hukum.

Namun semua kesalahan itu tidak bisa ditimpahkan kepada para pelaku bisnis properti. Sebab hukum pada waktu itu tidak dapat menyelesaikan masalah secara adil, cepat dan murah. Lagi pula, jeratan pungli (pungutan liar) tingkat desa hingga pusat sudah dianggap wajar. Hal ini kemudian membuat pengembang selalu mengambil jalan pintas dalam setiap urusannya.

“Belajar dari pengalaman itu pulalah, pasca kritis moneter 1998, terutama pada awal tahun 2000 hingga sekarang, muncul kesadaran kolektif antara pemerintah, pengembang, konsumen dan stakeholders bisnis properti lainnya, bahwa persoalan hukum dalam bisnis properti tidak dapat lagi dipandang sebelah mata. Bahkan tidak sedikit pengembang melihat aspek legal sebagai selling point dari proyek-proyek yang dikembangkan dan sebagai proteksi kegiatan usaha,” jelas Erwin.

Mengembangkan bisnis real estate sesuai dengan prosedur hukum menjadi langkah preventif sekaligus proteksi secara menyeluruh terhadap masalah-masalah hukum yang mungkin terjadi di masa-masa datang. Berada di atas rel hukum merupakan syarat mutlak bagi perusahaan-perusahaan pengembang untuk tetap survive.

RG/Pelita.Online

LEAVE A REPLY