Keterwakilan Perempuan di Parlemen Dinilai Masih Memprihatinkan

0

Pelita.online – Keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia dinilai masih memprihatinkan. Perempuan dinilai masih belum mendapat peran penting di DPR maupun politik itu sendiri.

Politikus Partai Golkar Hetiah Sjaifudian mengatakan keterwakilan perempuan yang masih sangat rendah itu terjadi sejak zaman dahulu. Bahkan, kata dia, sampai saat ini keterlibatan perempuan di unsur pimpinan parlemen kurang dari 9 persen.

“Secara sekilas, kita nggak punya pimpinan perempuan di DPR, sejarah menarik penangkapan perempuan di komisi, dan alat kelengkapan dewan, yang jelas dari 90 pimpinan alat kelengkapan dewan saat ini, hanya 8 perempuan, jadi kurang dari 9 persen,” kata Hetifah dalam diskusi pemilu 2019 ‘Quo Vadis Perempuan’di Jalan Suwiryo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (15/6/2019).

Tak hanya di kursi pimpinan, Hetifah mengatakan keterwakilan perempuan di tubuh DPR sendiri masih sangatlah kurang. Karena itu, partainya terus mendorong keterlibatan perempuan di DPR.

“Keanggotaan juga masih nggak merata, jadi target kami di Partai Golkar, agar di dalam proses penetapan anggota di dalam komisi, selain aspek lain masalah kesetaraan dan afirmasi gender masuk, juga supaya di setiap komisi agar terisi (perempuan), dan itu sudah disetujui di ketua fraksi sekarang, belum tahu untuk tahun yang akan datang,” jelasnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Sri Budi Eko Wardani. Sri mengatakan sebagian partai politik juga masih menganut sistem afirmatif atau kebijakan yang mengistimewakan kelompok tertentu, dalam hal ini adalah laki-laki.

“Regulasi kita ini masih mengedepankan afirmatif action sebagai syarat administrasi pemilu. Jadi ini 4 kali pemilu nggak berubah. perilaku parpol terhadap afirmatif action belum logis, belum sebagai alat untuk perbaiki ketimpangan representasi perempuan,” ucap Sri.

Dia menilai perlu ada kebijakan yang kuat untuk mendobrak perilaku afirmatif ini. Menurut Sri, perlu ada undang-undang yang mengatur keberadaan perempuan di struktur kelembagaan politik.

“Harus ada instrumen lain yang memperkuat kaderisasi perempuan dan laki-laki dalam partai. Menurut saya undang-undang harus perlu untuk perkuat afirmasi kita,” tutur Sri.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini merekomendasikan perlunya ada database untuk mengelola data siapa saja anggota legislatif perempuan. Dia juga menyarankan jika perempuan ingin menjadi salah satu pimpinan di parlemen perlu memetakan perolehan suara sebelum pileg.

“Jadi rekomendasi saya, kita harus buat database caleg perempuan dari DPR, DPD, DPRD kabupaten kota, dan provinsi, termausk hitung PAW (pergantian antar waktu). Jika ingin jadi pimpinan, bisa kita petakan perolehan suara, dan gimana posisi mereka di partai,” pungkasnya.

Diskusi ini selain dihadiri oleh Hetifah, juga dihadiri oleh sejumlah politikus perempuan yang di pileg kemarin mendaftar sebagai caleg di beberapa dapil, salah satunya ada politikus PPP Lena Maryana Mukti, anggota Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI), Ketua KPPRI, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, anggota Majelis Perempuan Indonesia (MPI). Acara ini diselenggarakan di kediaman GKR Hemas.

 

Sumber : Detik.com

LEAVE A REPLY