Kisah Sujadi dan Potret Krisis Air Bersih di Ibu Kota

0
Ilustrasi penjual mengisi air bersih di depot pengisian air. (CNN Indonesia/Hesti Rika)

Pelita.Online, Jakarta — Sujadi harus berpikir cermat bahkan hati-hati saat menggunakan air sebagai kebutuhan sehari-hari. Sujadi merupakan warga RT 16 RW 04, Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Di tempatnya itu, air bersih punya tarif.

Rumah Sujadi berada dalam permukiman padat yang ‘tumplek’ dengan tempat pengumpulan sampah di Kapuk Muara. Selain sulit air, lokasi ini juga sulit dikatakan bersih.

Terkait dengan tarif air bersih, misalnya, untuk keperluan mandi cuci kakus (MCK), Sujadi dan keluarganya membutuhkan jasa toilet umum yang berada di sekitar permukiman. Buang air dan mandi kena biaya Rp2.000. Sementara cuci baju butuh Rp5.000. Itu pun mesti antre bergiliran dengan warga lain.

“Anggaplah satu anak mandi dua kali dalam sehari, kalau dikali 30 saja sudah Rp120 ribu,” kata Sujadi sambil tertawa kecil, Rabu (13/2).

Sumber air bersih Sujadi dan keluarganya juga diperoleh dari jeriken air yang dijual secara berkeliling. Sepasang jeriken yang berkapasitas 20 liter ditebus dengan harga Rp4.000 per jeriken.

Dalam sebulan, paling sedikit Sujadi membeli 12 jeriken air. Artinya ia harus mengeluarkan uang sebanyak Rp24 ribu. Air jeriken inilah yang menjadi andalan keluarga Sujadi untuk minum dan masak.

Sujadi sebenarnya memiliki sumur bor di rumahnya. Ketimbang anak dan cucunya yang lebih sering ke toilet umum untuk mandi, ia mengaku lebih senang menggunakan air di rumah. Hanya saja air sumurnya agak asin.

“Makanya air sumur cuma dipakai untuk mandi atau kadang untuk cuci-cuci saja. Kalau masak dan minum ya kita pakai dari air jeriken tadi,” ucapnya.

Berjarak sekitar 200 meter dari kediaman Sujadi, seorang ibu rumah tangga bernama Rohmadi juga mengalami hal serupa untuk memenuhi kebutuhan air bersih di rumahnya.

Rohmadi membedakan sumber air bersih menjadi tiga kelompok. Air sumur untuk mandi dan mencuci, jeriken air untuk masak, dan air galon untuk minum. Air dari sumur bor Rohmadi sebetulnya tidak berwarna kekuningan, akan tetapi jika dirasakan betul air tersebut sedikit berminyak.

Hal ini akhirnya menyebabkan Rohmadi dan keluarganya harus membeli jeriken air dan air galon, yang artinya pengeluaran tambahan bagi rumah tangga.

“Paling enggak sekitar Rp200 ribu untuk air, tapi kadang kalau bisa hemat bisa Rp150 ribu saja,” tuturnya.

Sementara di Pluit, tepatnya di Muara Baru Raya, Penjaringan, Jakarta Utara, seorang warga bernama Alif harus merogoh kocek lebih dalam untuk keperluan air bersihnya. Sumber air bersih Alif adalah jeriken air keliling. Dalam sehari, ia bisa menghabiskan delapan jeriken dengan harga sepasang jeriken Rp5.000.

“Ini artinya saya bisa habis Rp600 ribu untuk air saja,” ucap Alif sembari mengisi stok airnya.

Ketiga warga tersebut adalah cerminan dari akses air bersih yang masih buruk di Ibu Kota. Pipa-pipa PAM Jaya sampai saat ini belum mengalir di rumah-rumah mereka.

Catatan Pemprov DKI Jakarta pada 2017 menunjukkan pipa PAM Jaya baru menjangkau 59,4 persen. Sementara pada 1998 silam, jangkauan pipa air bersih PAM Jaya baru menyentuh 44,5 persen warga Jakarta. Ini artinya, selama 20 tahun terakhir, jumlah warga yang dialiri air PAM Jaya hanya bertambah 15 persen.

Di sisi lain, tingkat kebocoran air di Jakarta terhitung masih tinggi yang angkanya berkisar 44,3 persen. Dengan keadaan demikian, Pemprov pesimistis target air bersih menjangkau 82 persen warga Jakarta akan tercapai.

Sujadi dan Rohmadi berharap wilayah tempat tinggalnya bisa segera terhubung ke jaringan pipa PAM Jaya. Selain mengurangi kerepotan membeli air bersih dari sana-sini, berlangganan air dari PAM Jaya juga diharapkan bisa mengirit pengeluaran rumah tangga mereka.

“Pengen sih, warga banyak yang pengen. Apalagi kalau pasang sendiri bisa lebih hemat, nanti kan juga bisa disalurkan ke orang lain,” ucap Sujadi.

 

CNN Indonesia

LEAVE A REPLY