Konflik Pertanahan, Mugaera: Letter C Tidak Ada yang Asli

0

Pelita.Online –Letter C atau girikpetokverponding dan segala dokumen tanah yang lama sudah tidak berlaku sejak Oktober 1987. Batas waktunya sudah lewat 35 tahun, tetapi masih saja ada yang menggunakan dokumen-dokumen itu di pengadilan.

“Sekarang ini tidak ada lagi letter C yang asli. Paling-paling yang ada cuma catatan letter C,” ujar Ketua Pengurus Daerah Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) Kabupaten Tangerang, Mumu Mugaera Djohar dalam diskusi bertajuk “Konflik Pertanahan” di Bintaro, Tangerang, Senin (4/7/2022).

Diskusi tersebut digagas advokat Albert Kuhon dan dihadiri antara lain oleh mantan Kapolda Bali Irjen Pol (Purn) Ronny F Sompie, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Pancasila Agus Surono, serta akademisi dari Universitas Nahdatul Ulama Indonesia Amsar Dulmanan, dan Hasan Muaziz.

Albert Kuhon prihatinan akan maraknya perkara perdata tanah. Tiap tahun, rata-rata ada sekitar 3.000 putusan perdata tanah di seluruh pengadilan di Indonesia. “10 putusan perkara perdata tanah per hari kerja (asumsi 1 tahun setara 300 hari kerja). 85,5 putusan perdata tanah per provinsi per tahun,” katanya.

“Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 yang dikenal sebagai UUPA sudah terbit 60 tahun lebih, tetapi urusan keabsahan kepemilikan tanah di Indonesia masih juga karut-marut,” tutur advokat yang juga wartawan senior ini.

Menurut Mugaera, sengkarut itu antara lain disebabkan oleh tidak konsistennya sikap pemerintah dalam menangani kemelut pertanahan. UUPA dan berbagai turunan peraturannya sudah bagus, tetapi tidak diterapkan secara konsisten. Semestinya, kata dia, semua pihak menyadari bahwa segala dokumen tanah yang lama sudah berakhir dan tidak berlaku lagi sejak Oktober 1987.

Nyatanya, masih ada pihak-pihak yang berperkara menggunakan alat bukti hak-hak lama seperti letter C atau girik, letter D atau petokverponding dan lain-lain. Tragisnya,dalam banyak kasus perdata tanah, menurutnya, letter C atau letter D masih juga diterima sebagai alat bukti.

Ditegaskan, letter C adalah catatan pembayaran pajak, seperti catatan pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB) bukan bukti pemilikan tanah. “Ini harus dipahami oleh para penegak hukum, termasuk penyidik, penuntut umum dan hakim,” katanya.

Sementara itu, Ronny Sompie mengatakan mafia tanah adalah mafia hukum. Berdasarkan pengalamannya sebagai penyidik, orang yang bisa merebut hak kepemilikan tanah pihak lain tidak bekerja sendirian. Dalam urusan perkara perdata, orang itu pasti bekerja sama dengan ahli hukum, penegak hukum, pihak pengadilan dan pihak-pihak lain.

Sambil menjalankan perkara perdata, menurut Ronny, orang itu juga melakukan gempuran melalui media dan penekanan-penekanan dengan pengaduan pidana. Tekanan-tekanan seperti itu, bisa mengakibatkan penegak hukum bertindak menyimpang.

“Dalam urusan pidana, bukan mustahil orang itu bekerja sama dengan oknum penyidik, mengadukan kasus penyerobotan tanah atau pemalsuan surat. Jadi, memang mafia tanah sebetulnya adalah mafia hukum,” tuturnya.

Kegagalan para hakim memahami peraturan pertanahan, sering mengakibatkan putusan perkara pertanahan menyimpang dari kepastian hukum dan kepastian keadilan. Pemilik tanah secara sah dan memiliki sertifikat tanah, bisa dikalahkan oleh orang yang mengaku memiliki girik.

“Padahal zaman sekarang ini sudah tidak ada lagi letter C yang asli. Saya setuju, mafia tanah itu memang mafia hukum,” kata Mugaera menanggapi.

Ronny menegaskan hakim perkara perdata sering tidak memeriksa perkara secara materiel. Pembuktian selalu dibebankan kepada pihak yang mendalilkan. “Hakim memang harus menegakkan hukum sehingga kepastian hukum bisa terjamin. Selain kepastian hukum, hakim juga harus menegakkan kepastian keadilan,” ujar Ronny.

sumber : beritasatu.com

LEAVE A REPLY