Larangan Jilbab dan Jalan Terjal Prancis Berdamai dengan Populasi Muslim

0

Pelita.Online – Anggota parlemen Prancis bulan lalu memilih untuk melarang wanita dan anak perempuan mengenakan hijab saat bermain olahraga. Ini menunjukkan kepada dunia sekali lagi untuk lebih mempolitisasi, menargetkan, dan mengawasi wanita Muslim Eropa mengenai pilihan pakaian.

Dikutip dari laman CNN, Senin (7/2/2022), senat Prancis memberikan suara 160 banding 143 mendukung mengenakan jilbab dan simbol agama mencolok lainnya dalam kompetisi olahraga.

Amandemen tersebut diusulkan sayap kanan Les Républicains yang berpendapat bahwa jilbab dapat membahayakan keselamatan atlet yang mengenakannya saat berolahraga.

Di Prancis, wanita Muslim yang menggunakan hak asasi mereka untuk mengenakan apa yang mereka pilih untuk dikenakan dianggap sebagai risiko keamanan.

Upaya Prancis untuk tampaknya membebaskan dan menyelamatkan wanita Muslim dan jilbab adalah proyek rasis dan kolonial yang didandani dengan menjunjung tinggi nilai-nilai sekuler negara itu. Dukungan ini menimbulkan kerugian Islamofobia pada wanita Muslim.

Adalah misoginis dan kebencian untuk memaksa wanita melepas hijab sama seperti misoginis dan kebencian untuk memaksa wanita mengenakan jilbab.

Larangan yang diusulkan ditentang oleh pemerintah Emmanuel Macron dan anggota parlemen Prancis menyatakan penyesalan atas kurangnya kemauan pemerintah untuk menghentikan apa yang mereka gambarkan sebagai perlambangan Islamisme dalam olahraga.

Itu terjadi dengan latar belakang pemilihan presiden mendatang pada April dimana politik domestik Prancis terus bergerak lebih jauh ke kanan dan banyak penduduk Muslim dan komunitas Muslik berwarna menjadi sasaran retorika yang memecah belah dan beracun tentang Islam, imigrasi, dan ras.

Hanya dalam dua tahun, Prancis juga menjadi tuan rumah Olimpiade yang dimaksudkan dalam pertunjukan inklusivitas yang bersatu di panggung dunia. Larangan hijab yang memecah belah dan diskriminatif hanya menyoroti betapa tidak nyamannya Prancis dalam membangun negara multikulturalisme modern.

Undang-undang yang diusulkan sekarang ini akan direvisi Majelis Nasional yang diharapkan memiliki keputusan akhir. Artinya, saat ini wanita Muslim yang berolahraga berhijab telah diberi waktu ekstra untuk melakukannya dengan undang-undang yang dicegah untuk disahkan dalam kondisi saat ini.

Perlu diketahui, Prancis adalah rumah bagi sekitar 5,7 juta Muslim dan populasi Muslim terbesar di Eropa, menurut Pew Research Center. Pada 2019, sebanyak 31 persen wanita Muslim di Prancis mengenakan jilbab menurut statistik.

Jadi, larangan olahraga ini akan berdampak besar pada banyak wanita. Sekali lagi, anggota parlemen Prancis telah memilih untuk melanjutkan jalur tabrakan yang berbahaya dengan populasi Muslim negara itu dan terutama wanita Muslim Prancis.

Larangan ini dipandang lebih dari sekadar menyangkal hak perempuan untuk berolahraga. Larangan berjilbab saat berolahraga adalah tentang semakin tidak manusiawi, meminimalkan dan menghapus wanita Muslim Prancis yang memilih untuk mengenakan jilbab. Itu membuat wanita Muslim menjadi sasaran Islamofobia gender yang disetujui negara dan kebencian sayap kanan.

Penulis opini Shaista Aziz musim panas lalu bersama dengan Amma Abdullatif dan Huda Jawad meluncurkan petisi viral yang menyerukan Asosiasi Sepak Bola Inggris, pemerintah Inggris, dan perusahaan teknologi untuk bekerja keras melarang rasis dari sepakbola seumur hidup. Ini menyusul pelecehan yang dilakukan pada tiga pemain muda berkulit hitam setelah final Euro Wembley melawan Italia.

Kampanye telah mengumpulkan 1,2 juta tanda tangan. Dalam waktu 48 jam setelah petisi diluncurkan, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson berdiri di parlemen dan berupaya untuk memenuhi tuntutan. Kampanye ini kemudian menjadi berita utama di Inggris dan mendapatkan perhatian media global.

“Namun, jika kami adalah tiga wanita Muslim Prancis, kemungkinan besar kami tidak akan diizinkan memasuki ruang publik atau politik arus utama negara dengan cara yang sama hanya karena kami mengenakan jilbab,” ujarnya.

Pada Mei 2020, ketika Prancis seperti banyak negara di Eropa dan dunia mewajibkan masker wajah di beberapa tempat seperti transportasi umum untuk mencoba penyebaran virus corona, larangan cadar di Prancis tetap berlaku.

Pada 2018, Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan, larangan Prancis merupakan pelanggaran agama dan dapat berdampak pada wanita Muslim dengan menghalangi akses mereka ke layanan publik dan meminggirkan mereka. Ketika berbicara tentang jilbab dan bagaimana wanita Muslim memilih untuk berpakaian, ada disonansi kognitif yang tersebar luas di Prancis.

Diilustrasikan dalam unggahan media spsial Instagram baru-baru ini oleh Vogue France yangemuji kedatangan aktor Julia Fox di Paris Men’s Fashion Week sambil mengenakan jas hujan Balenciaga dengan jilbab hitam, kacamata hitam, dan tulisan “Ya untuk jilbab!”.

Postingan  tersebut menarik kecaman luas dari wanita Muslim dan lainnya dari wanita Muslim dan lainnya yang menunjukkan standar ganda seorang aktris kulit putih, kaya, terkenal, Amerika yang dipuji mengenakan jilbab sebagai pilihan mode.

 

Sementara seorang wanita Muslim Prancis memilih untuk mengenakan jilbab dalam dirinya sendiri. Negara menghadapi pembatasan pilihan hidup dan gerakan dan mungkin didenda dan dikrimininalisasi oleh negara. Vogue France kemudian menghapus postingan instagram tersebut.

sumber : republika.co.id

LEAVE A REPLY