Mantan Dirjen KKP Beberkan Kejanggalan Kebijakan Edhy Prabowo

0
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo berjalan menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (14/1/2021). Edhy Prabowo diperiksa sebagai tersangka dalam kasus dugaan penerimaan suap perizinan tambak, usaha dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/wsj.

pelita.online-Mantan Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Zulficar Mochtar membeberkan berbagai kejanggalan kebijakan izin ekspor benih bening lobster atau benuryang dijalankan Edhy Prabowo saat menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan. Berbagai kejanggalan itu dibeberkan Zulficar saat dihadirkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan perkara dugaan suap izin ekspor benur dengan terdakwa pendiri PT Dua Putra Perkasa Suharjito, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (3/3/2021).

Zulficar membeberkan, banyak perusahaan yang mengajukan izin ekspor di KKP merupakan perusahaan baru atau perusahaan peralihan yang belum punya pengalaman dalam bidang benur. Mayoritas perusahaan yang mengajukan izin, kata Zulficar, baru berdiri satu sampai tiga bulan. Padahal, kata Zulficar untuk mengajukan izin ekpor benur, perusahaan harus membudidayakan benur terlebih dahulu.

“Sampai saya mundur tanda tangani 35 perusahaan itu mayoritas perusahaan baru satu sampai tiga bulan, dan ada yang tadinya kontraktor jadi perusahaan lobster. Jadi masih panjang perjalanan, ini makan waktu sampai konsumsi sembilan sampai 10 bulan, dan kalau disebut panen berkelanjutan ini panjang di bayangan saya setahun, tapi tiba-tiba sudah diajukan untuk ekspor,” beber Zulficar dalam kesaksiannya di persidangan.

Zulficar juga menyatakan bahwa ada dua perusahaan yang sebenarnya tidak laik untuk mendapat izin, namun ternyata sudah diloloskan untuk mengekspor benur. Padahal, kata Zulficar, aturan mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) dari ekspor benur belum ditetapkan.

Selain itu, kata Zulficar, dua perusahaan tersebut juga melakukan ekspor tanpa sepengetahuannya ketika masih menjabat sebagai Dirjen Perikanan Tangkap KKP. Zulficar mengatakan, dua perusahaan itu melompati tahapan proses izin ekspor.

“Pertengahan Juni ada dua perusahaan yang tahu-tahu sudah ekspor, jadi ini yang tidak melalui kami, yang harusnya mengeluarkan surat waktu pengeluaran, saya harusnya yang tanda tangan, tahu-tahu pertengahan Juni udah ekspor tata kelola longkap,” beber Zulficar.

“Irjen saya kontak ‘ayo kita rapatkan nggak boleh seperti ini kita kumpul’, kenapa seperti ini, ternyata PNPB belum ada, masih gantung di Kemenkeu, draf sudah ancang-ancang udah ada. Ini lompat langsung ke depan harus dibereskan segala macam,” imbuhnya.

Dengan berbagai kejanggalan itu, Zulficar memutuskan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Dirjen Perikanan Tangkap KKP pada pertengahan Juli 2020. Selain meragukan komitmen Edhy dalam upaya memberantas korupsi, Zulficar mengatakan, pengunduran dirinya ini dilakukan lantaran kebijakan ekspor benur tidak berpihak pasa masyarakat dan tidak berpihak pada keberlanjutan ekosistem kelautan.

“Mengundurkan diri pertengahan Juli 2020 karena tiga alasan melihat kebijakan di kementerian tidak mengarah keberlanjutan, tidak pro poor, tata kelola tidak sepenuhnya dijalankan, komitmen antikorupsi diragukan,” ungkap Zulficar.

Diketahui, Jaksa KPK mendakwa pendiri PT Dua Putra Perkasa dan pemilik PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito telah menyuap Edhy Prabowo selaku Menteri Kelautan dan Perikanan. Suap dengan total Rp 2,1 miliar yang terdiri atas US$ 103.000 atau sekitar 1,43 miliar (dengan kurs Rp 13.971) dan Rp 706 juta itu diberikan agar PT DPPP mendapat izin ekspor benih bening lobster atau benur.

Uang suap itu diberikan Suharjito kepada Edhy Prabowo secara bertahap melalui sejumlah pihak, yakni dua staf khusus Edhy Prabowo, Safri dan Andreau Misanta Pribadi; Amiril Mukminin selaku sekretaris pribadi Edhy Prabowo; Ainul Faqih selaku staf pribadi Iis Rosita Dewi sebagai anggota DPR sekaligus istri Edhy Prabowo; dan Siswandi Pranoto Loe selaku Komisaris PT PLI sekaligus Pendiri PT ACK.

Suap yang diberikan Suharjito kepada Edhy melalui lima orang itu bertujuan agar Edhy Prabowo selaku Menteri Kelautan dan Perikanan mempercepat persetujuan perizinan ekspor benih lobster atau benur di Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun anggaran 2020. Menurut Jaksa, uang tersebut diperuntukkan untuk kepentingan Edhy Prabowo dan istrinya, Iis Rosita Dewi.

Sumber: BeritaSatu.com

LEAVE A REPLY