Pada sebuah pertemuan di Leiden tahun 2000, Nurcholis Madjid atau akrab disapa Cak Nur bercerita bahwa suatu saat ia berkumjung ke Ambon, jauh sebelum terjadi peristiwa amuk berbau SARA di kota itu. Dalam sebuah pertemuan dengan para alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Cak Nur mendengar sebuah cerita atau semacam laporan dari seorang alumni dengan bangga menyebut hampir 90% jabatan penting di Ambon telah diambil alih oleh “kita”. Mendengar laporan itu, alih-alih Cak Nur senang, dia justru mengaku kecewa dan sedih. Menurut Cak Nur pendekatan kekuasaan itu tidak arif dan hanya akan menyulut kecemburuan sosial. Sebab, sumber kekuasaan dan ekonomi di daerah hanya bertumpu pada birokrasi. Dan, apa yang dikatakan Cak Nur pada akhirnya memang terbukti.
Ini satu dari begitu banyak cerita tentang bagaimana posisi moral intelektual seorang Cak Nur sebagai intelektual yang konsisten dalam memposisikan ke -Islaman dalam bingkai nilai ketimbang simbul. ”Nilai Islam harus menjadi bagian dari pengisian nilai ke-Indonesiaan. Oleh karena menjadi bagian pengisian, Islam harus memberikan tempat bagi partisipasi kelompok lain. Oleh karena Islam kelompok mayoritas, wacana pluralisme juga akan dapat lebih tumbuh efektif jika berkembang di Islam,” demikian diungkapkan Yudi Latief, seorang pemikir Islam yang sangat intens bergumul dengan gagasan dan pergaulan pribadi dengan Cak Nur.
Tanggal 17 Maret, merupakan hari kelahiran cendekiawan besar yang pernah ada di Tanah Air. Mengenang tokoh asal Jombang yang lahir 17 Maret 1939 dan meninggal pada 29 Agustus 2005 itu adalah mengenang sebuah konsistensi sang tokoh yang setia pada hal-hal yang otentik dan substansial. Karenanya, menurut Yudi yang kerap diidentikan sebagai Nurcholish Madjid kecil ini bahwa guru kebudayaannya itu lebih tertarik membuat simpul intelektual dan kelompok kritis dengan jumlah orang yang sedikit tapi kritis dari pada massa yang besar. Kristalisasi dari pikiran-pikiran ini tergambar dari pendirian Universitas Paramadina sebagai salah satu prasasti intelektual Cak Nur.. “Cak Nur berharap Paramadina harus memiliki nilai tertentu, yakni kekritisan, terutama dalam hal kebangsaan dan Islam,” ungkap Yudi yang dipercaya Cak Nur sebagai salah satu pembuat rencana induk Universitas Paramadina.
Islam Kultural
Cak Nur hadir di masanya dengan menawarkan dua program pembaharuan besar yakni soal “modernisasi” dan “sekularisasi’. Dua tema ini menjadi pisau yang ia gunakan untuk membedah pikiran tentang relasi tiga hal besar. Yakni, Keislaman, Keindoesiaan dan Kemodrenan. Pada kurun waktu 1970 –an hingga 1990-an gagasannya itulah yang berperan besar mengisi kekosongan dan menjawab soal-soal seputar isu politik Islam dan Islam politik.
Istilah “modernisasi” yang dimaksudkan Cak Nur adalah “rasionalisasi”, tapi bukan westernisasi. Modernisasi dipahami sebagai proses perombakan pola pikir dan tata kerja baru dari yang tidak rasional menjadi rasional.
Modernisasi ala Cak Nur diarahkan agar pemikiran umat Islam sejalan dengan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan yang bersifat rasional, ilmiah, dan bersesuaian dengan hukum-hukum alam. Cak Nur menyebut modernitas Barat sebenarnya justru diletakkan pertama kali oleh Peradaban Islam yang kemudian diambil alih oleh barat. Lalu berikutnya soal “sekularisasi” ala Cak Nur sebagai ikhtiar keumatannya ingin mendekatkan umat Islam pada Islam yang otentik dan bukan pada institusi politiknya. Dari situ munculnya jargon yang sangat terkenal di tahun 70 an hingga kini yakni Islam Yes, Partai Islam No. Dalam slogan ini Cak Nur ingin menyerukan isu de-Islamisasi partai politik. Ketika itu dia menyebut bahwa Islam tidak mungkin lagi mendapatkan kekuatan politik pada masa Orde Baru. Dia kemudian memperkenalkan apa yang disebut transformasi pemikiran Islam dari dari tahapan Islam Politik menuju Islam Kultural. Cak Nur, yang pernah menjadi prefesor tamu di almamaternya Universitas McGill, Montreal, Kanada, 1991–1992 itu kemudian berhasil melahirkan gerakan pemikiran bersifat kebudayaan. Yang paling dirasakan adalah komitmen kebudayaan Cak Nur mempertemukan nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan serta mencari titik temu nilai-nilai agama yang inklusif dalam konteks hidup ber-Pancasila. Namun, tampaknya mimpi besar Cak Nur dalam mewujudkan Islam Indonesia yang modern, maju dan bersih sepertinya masih merupakan hutang sejarah bagi penerusnya. Dalam bahasa aktifis Lies Marcoes Natsir bagaimana membawa garam pada setiap masakan, bukan masakan itu sendiri. Cak Nur telah menghabiskan usianya dengan begitu banyak melayani kebutuhan kalangan menengah yang membutuhkan pengayoman dengan memberikan corak keberagamaan yang tidak kampungan. “Ia bekerja sangat keras untuk membuktikan bahwa Islam cocok untuk kehidupan modern,” tegas Lies, alumnus IAIN Jakarta dan lulusan Universitas Amsterdam tersebut. Corak berfikir Cak Nur yang inklusif tergambar pula yang kiprah kemasyarakatannya yang lengkap mulai menjadi aktifis mahasiwa, Guru Besar, anggota MPR, angota Dewan Pers, Anggota Komnas HAM , rektor, penulis besar, cendekiawan hingga tokoh muslim yang amat disegani hingga kini.
Namun, sepertinya Cak Nur pergi meninggalkan bangsa ini setelah dikhianati kelompok utama yang diayominya itu. Kelompok yang hanya sibuk mengambil Islam dari simbolnya saja dan bukan Islam yang otentik dan esensi. Akibatnya, kata Lies kita menyaksikan kini bahwa kohesi ke-Indonesiaan dan ke-Islaman yang dicita-citakan Cak Nur tengah diancam praktik ideologisasi Islam yang simbolik , parsial dan tidak kaffah. Inilah salah satu hal penting dalam mendaras kembali cita dan mimpi kebangsaan Cak Nur untuk meletakkan islam yang otentik dalam ke-Indonesiaan. Selamat Ulang Tahun Cak. Moga tetap tersenyum di alam sana. (esa).