Perang Rusia-Ukraina Bakal Tamat, “Juru Selamat” Turun Gunung

0

pelita.online –  Perang Rusia-Ukraina masih terus terjadi. Sejak operasi militer Rusia meletus, 2022 lalu, pertempuran masih sengit dilakukan di garis depan, Ukraina Timur.

Kemarin, beberapa update terjadi. Termasuk China yang akan memulai kunjungan ke Ukraina.

China memang sudah dari dulu diharapkan aksi nyatanya dalam menengahi permasalah Rusia dan Ukraina. Pasalnya negeri Xi Jinping tersebut disebut memiliki polisi penting dalam hubungan dengen Presiden Vladimir Putin dan diharapkan bisa mempengaruhi skip Rusia.

China dilaporkan akan mengunjungi Ukraina, Selasa (16/5/2023) dan Rabu ini. Pemerintah dilaporkan menunjuk Li Hui, perwakilan khusus China untuk urusan Eurasia dan mantan duta besar untuk Rusia.

“Li Hui … dalam perjalanan, yang dikatakan Beijing bertujuan untuk membahas ‘penyelesaian politik’ untuk perang Ukraina, yang digambarkan China sebagai sebuah krisis,” tulis CNBC International.

Reuters dan NBC News juga mengonfirmasi ini, mengutip seorang pejabat pemerintah Ukraina yang tidak disebutkan namanya. Ia membenarkan kunjungan itu akan dimulai Selasa, meski menolak untuk memberikan rincian lebih lanjut.

Namun begitu Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sendiri diketahui masih berada di Inggris. Ia tengah menggalang lebih banyak dukungan untuk Kyiv menjelang serangan balasannya ke Rusia.

“Juru Selamat”

Sebelumnya, ramalan perang Rusia dan Ukraina segera damai disampaikan pekan lalu oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Henry Kissinger. Ia mengatakan bahwa konflik di Ukraina mungkin mendekati titik balik dan perdamaian kedua negara dapat dimulai dari proposal yang ditengahi “juru selamat” China.

Kepada CBS News, Kissinger menjabarkan bahwa proses perdamaian keduanya dapat dimulai pada akhir 2023. Ia optimis perdamaian dapat terjadi lantaran China yang mulai aktif menghubungi Moskow dan Kyiv untuk menghentikan eskalasi.

“Sekarang China telah memasuki negosiasi, itu akan mencapai puncaknya, saya pikir pada akhir tahun ini,” kata diplomat berusia 99 tahun itu dikutip Russia Today.

“Pada saat itu, kita akan berbicara tentang proses negosiasi dan bahkan negosiasi yang sebenarnya,” tambahnya.

China telah mengajukan diri sebagai mediator potensial dengan merilis ‘Posisi Penyelesaian Politik Krisis Ukraina’ pada bulan Februari lalu. Presiden Xi Jinping bahkan telah menghubungi Moskow dan Kyiv terkait proposal ini.

Rencana China ditolak langsung oleh AS dan Uni Eropa, sementara Putin menggambarkan beberapa dari 12 poinnya sebagai ‘selaras’ dengan posisi Moskow. Di sisi lain, Ukraina hanya menerima beberapa poin saja.

Walau begitu, China mendapatkan batu sandungan besar, di mana Zelesnky disebut masih enggan untuk bernegosiasi dengan Rusia selagi masih dipimpin Putin. Zelensky pun tetap bersikeras untuk mengusir Rusia dari wilayahnya, termasuk dari Semenanjung Krimea yang dianeksasi Moskow pada 2014 lalu.

Moskow telah berulang kali mengatakan terbuka untuk pembicaraan dengan Kyiv tetapi hanya jika Ukraina mengakui kenyataan di lapangan, termasuk status baru wilayah Donetsk, Luhansk, Kherson, dan Zaporizhzhia sebagai bagian dari Rusia. Jika tidak, Kremlin telah menyatakan, Rusia akan menyelesaikan konflik dengan cara militer.

Tujuan Sebenarnya China

Sementara itu, analis politik dan pengamat China mencatat bahwa, pada akhirnya, Beijing tidak terlalu peduli siapa yang memenangkan perang atau bentuk kesepakatan damai apa yang diambil. Yang penting bagi Beijing, kata mereka, adalah menjadi mitra internasional yang membawa Rusia dan Ukraina ke meja perundingan dan menjadi perantara untuk mengakhiri perang.

“China lebih fokus untuk memenangkan perdamaian daripada siapa yang memenangkan perang antara Rusia dan Ukraina,” kata Ryan Hass, pakar China di Brookings Institution dan sebelumnya direktur senior Asia di Dewan Keamanan Nasional pemerintahan Obama, mengutip CNBC International.

“Beijing ingin memiliki suara dalam menentukan kontur arsitektur keamanan Eropa di masa depan. Beijing juga ingin dipandang penting untuk rekonstruksi Ukraina dan sebagai aktor kunci dalam pemulihan Eropa yang lebih luas dari konflik,” tambahnya.

China ingin membangun keberhasilan baru-baru ini dalam diplomasi global, khususnya mediasi antara Iran dan Arab Saudi yang membuat rival regional tersebut melanjutkan hubungan diplomatik dan membuka kembali kedutaan di negara masing-masing. Upaya lain oleh China pada putaran diplomasi global antara Rusia dan Ukraina bukannya tanpa kepentingan pribadi, catat para analis.

“Tentu saja, China tidak melangkah ke langkah diplomatik ini karena masalah altruistik,” kata Cheng Chen, profesor ilmu politik di Universitas di Albany, Universitas Negeri New York.

“Karena China semakin memposisikan dirinya sebagai negara adidaya, ia memiliki setiap insentif untuk menunjukkan kekuatan diplomatiknya sebagai mediator global, terutama setelah keberhasilannya baru-baru ini dalam menengahi antara Iran dan Arab Saudi,” tambahnya.

“Selain itu, China dapat lebih jauh mengikat Rusia ke pihaknya jika berhasil menengahi kesepakatan yang menyelamatkan muka Rusia,” tambahnya.

Produk sampingan lain yang menggembirakan dari intervensi China adalah bahwa hal itu dapat menarik perhatian Global South. Ini istilah yang umumnya digunakan untuk mengidentifikasi negara-negara berkembang di Amerika Latin, Afrika, Asia, dan Oseania.

“Sebagian besar negara itu tidak memihak dalam konflik, serta beberapa kekuatan Eropa yang tidak mau melihat perang berlarut-larut berlarut-larut di Eropa,” kata Chen.

“Untuk mendapatkan dukungan dari negara-negara ini, China ingin memoles citranya sebagai pembawa damai yang bertentangan dengan pendekatan AS untuk ‘menambahkan bahan bakar ke dalam api,” jelasnya.

sumber : cnbcindonesia.com

LEAVE A REPLY