PTUN Kabulkan Gugatan Irman Gusman, Minta KPU Rombak Daftar Caleg

0

pelita.online – Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan eks Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Irman Gusman terkait sengketa pencalonannya sebagai caleg DPD Pemilu 2024 yang ditolak KPU, dalam putusan perkara nomor 600/G/SPPU/2023/PTUN.JKT, Selasa (19/12/2023). Dalam putusan itu, PTUN Jakarta menyatakan batal/tidak sah Keputusan KPU RI Nomor 1563 Tahun 2023 tentang Daftar Calon Tetap Anggota DPD dalam Pemilu 2024 yang di dalamnya tidak terdapat nama Irman Gusman. “Memerintahkan Tergugat (KPU, red.) untuk menerbitkan Keputusan Tentang penetapan Penggugat sebagai Calon Tetap Anggota Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Sumatera Barat Dalam Pemilihan Umum Tahun 2024 menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” demikian bunyi amar putusan itu.

Irman berstatus eks terpidana kasus suap impor gula Perum Bulog. Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung menjatuhinya penjara 3,5 tahun dan pencabutan hak politik 3 tahun. Irman bebas murni per 26 September 2019. Sengketa pencalonan ini bermula ketika KPU Sumatera Barat (Sumbar) menyatakan Irman memenuhi syarat (MS) masuk ke dalam daftar calon sementara (DCS) anggota DPD dari daerah pemilihan (dapil) Sumbar per 18 Agustus 2023. KPU menyatakan Irman memenuhi syarat karena Pasal 18 Ayat (2) Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2023 membolehkan eks terpidana dengan pencabutan hak politik untuk maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) tanpa perlu menunggu 5 tahun usai keluar bui. Akan tetapi, setelah masuknya nama Irman di dalam DCS pada Agustus, pada September Mahkamah Agung (MA) menyatakan pasal itu melanggar UU Pemilu dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 12/PUU-XXI/2023.

Sebab, sesuai Putusan MK, eks terpidana yang terkena pencabutan hak politik tak kebal dari kewajiban menunggu masa jeda 5 tahun. KPU tak merevisi Peraturan KPU sesuai putusan MA tersebut dan hanya meminta KPU Sumbar untuk memedomani putusan MA ketika memproses lagi DCS untuk menetapkan daftar calon tetap (DCT). Akhirnya, KPU Sumbar menyatakan Irman tak memenuhi syarat karena memedomani Putusan MA itu, karena dia baru bebas murni 3 tahun. Irman Gusman tak terima dengan pencoretan namanya itu dan melaporkan KPU ke Bawaslu. Majelis Ajudikasi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI menolak gugatan Irman Gusman agar dirinya ditetapkan sebagai calon anggota DPD RI untuk Pemilu 2024. “Amar putusan, dalam pokok perkara: menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis Ajudikasi, Puadi, membacakan putusan pada Kamis (16/11/2023).

Dalam pertimbangannya, Bawaslu menyatakan bahwa Putusan MK lebih tinggi derajatnya daripada Peraturan KPU, sehingga pencalonan Irman harus berdasarkan Putusan MK.

KPU tolak patuhi putusan PTUN

Koordinator Divisi Hukum KPU RI Mochamad Afifuddin, menyatakan bahwa “demi konstitusi, putusan PTUN tersebut tidak dapat dilaksanakan (non-executable) karena bertentangan dengan konstitusi”.

KPU mengambil sikap itu meski PTUN merupakan pengadilan yang berwenang memutus sengketa pemilu, berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu). “Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 12/PUU-XXI/2023 tanggal 28 Februari 2023 menyatakan, mantan terpidana harus memenuhi masa jeda 5 tahun, terhitung setelah selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (bebas murni) pada masa pendaftaran calon,” kata dia. “Putusan PTUN Jakarta tidak berpengaruh terhadap Keputusan KPU tentang Penetapan DCT DPD dapil Sumatera Barat. Demikian juga proses produksi cetak surat suara Pemilu dapil Sumatera Barat, jalan terus sebagaimana Keputusan KPU,” ucap Afif.

Kasus semacam ini sebelumnya pernah terjadi pada Pemilu 2019. Ketika itu, 2018, KPU juga mencoret nama Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta Oddang (OSO), dari DCT DPD RI karena Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan bahwa pengurus partai politik dilarang mencalonkan diri sebagai senator. OSO melayangkan sengketa dan menang di PTUN. Ia juga mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA) dan menang. Namun, KPU tetap mengambil sikap bahwa mereka menaati putusan MK. Ia mengatakan, hal ini tertuang tegas dan jelas dalam Putusan MK Nomor 98/PUU-XVI/2018 tanggal 30 Januari 2019, tepatnya dalam Pertimbangan Hukum poin [3.10] angka 6. Beleid itu pada intinya menyatakan, sekali MK telah mendeklarasikan suatu aturan bertentangan dengan UUD 1945, maka tindakan yang tetap menggunakan aturan yang dinyatakan inkonstitusional itu bukan hanya ilegal, tetapi juga bertentangan dengan konstitusi. “MK menegaskan bahwa terhadap putusan MK, baik pribadi/perorangan dan lembaga negara/pemerintahan, wajib tunduk dan patuh terhadap putusan MK, dan bagi yangg tidak tunduk masuk kategori pembangkangan terhadap konstitusi,” ucap Afif.

sumber : kompas.com

LEAVE A REPLY