Rekonsiliasi kultural Jawa-Sunda dalam peristiwa Perang Bubat

0

Jakarta, Pelita.Online – Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengkubuwono X merekonsiliasi kultural antara masyarakat Jawa dengan Sunda, yang selama ini menjadi korban tragedi Perang Bubat.

Rekonsiliasi diwujudkan dalam penamaan jalan di arteri ring road, menggunakan nama kerajaan Sunda dan Jawa. Yaitu Jalan Siliwangi, Jalan Pajajaran, Jalan Majapahit dan Jalan Brawijaya.

“Ini peristiwa penting dalam perjalanan bangsa Indonesia khususnya bagi Suku Jawa dan Suku sunda. Kedua suku ini merupakan dua suku besar di Indonesia. Keduanya punya sejarah yang sepertinya tidak selesai,” papar Sultan HB X dalam acara peresmian jalan tersebut, Selasa kemarin.

Hadir di sana Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa Timur yang diwakili Sekda Akhmad Sukardi dan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil. Peresmian nama jalan ini ditandai dengan pembukaan tirai oleh tiga gubernur di wilayah Jawa dan Wali Kota Bandung.

Dalam perjalanan bangsa, lanjut Sultan HB X, kedua entitas suku mengulang kesalahan yang sama. di antaranya adalah membawa periodeisasi dan sejarah yang tak selesai. Pemimpin dulunya penuh kontroversi yang tak kunjung selesai. Padahal mereka juga manusia yang juga bisa keliru. Untuk itu permasalahan harus diselesaikan saat ini.

“Kita dipenuhi rasa dendam maupun kebencian, yang akhirnya dalam perjalanan bangsa ini menuntut untuk melupakan sejarah masa lalu. Kesalahan di masa lalu perlu dimaafkan. Bagaimana pun bangsa ini menatap ke depan tak perlu mengungkit masalah yang lalu. Mungkin dengan rekonsiliasi kultural seperti ini, menjadi bagian melupakan sesuatu sebagai sejarah yang tak perlu diulang,” jelas Sultan.

Sultan berharap agar kesalahan di masa lalu bisa saling dimaafkan. setelah saling memaafkan, Sultan mengajak untuk bersama menatap masa depan demi kebesaran Indonesia.

“Rekonsiliasi setelahnya menatap masa depan itu penting. Bagaimana bangsa ini bisa menatap masa depan, jika rekonsiliasi di masa lalu belum diselesaikan,” pungkas Sultan.

Aher, sapaan akrab Ahmad Heryawan menyadari kehadiran nama jalan ini akan membawa dampak baik untuk Indonesia. Diakuinya memang selama ini tidak ada jalan yang memiliki nama Hayam Wuruk, Gajah Mada, atau Majapahit di Jawa Barat. Selama ini pun diketahui tidak ada jalan bernama Siliwangi atau Pajajaran di Jawa Timur, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta.

“Jadi kalau dua suku ini sepakat, selesai kesepakatan di Indonesia. Jadi peristiwa masa lalu, itu masa lalu yang dikenang tapi tidak boleh timbulkan persoalan masa kini‎,” tandasnya.

Merunut sejarah, kata dia, permasalahan dua etnis ini memang kerap membawa dampak buruk dalam beberapa abad terakhir. Salah satu yang terjadi yakni ketika pria Sunda tidak boleh menikahi perempuan Jawa.

“Ini adalah ganjalan sejarah yang harus diputus,” imbuhnya.

Perang Bubat antara Kerajaan Sunda dengan Majapahit menorehkan luka psikologis kepada masyarakat Sunda. Padahal, kata Aher, walau perang tersebut benar terjadi, bisa saja terjadi pembiasan sejarahnya karena ditulis 170 tahun setelah peristiwa tersebut terjadi.

“Kemudian muncul politik devide et impera yang digunakan Kolonial Belanda untuk memecah-belah antara Sunda dan Jawa. Cerita ini diajarkan di sekolah-sekolah Belanda di Jabar, dan menjadi peristiwa berdampak psikologis bagi suku Sunda. Biar tidak ada keakuran antara Sunda dan Jawa. Padahal kalau ada keakuran, bisa menghasilkan Indonesia yang lebih baik lagi,” sebutnya.

Aher mengatakan kini konflik tersembunyi tersebut diputus oleh Sultan dengan meresmikan Jalan Pajajaran dan Jalan Siliwangi di Yogyakarta.

“Peristiwa-peristiwa di masa lalu itu masa lalu yang bisa dikenang, tapi tidak boleh menimbulkan permusuhan sampai anak cucu kita. Jangan sampai lagi ada permasalahan seperti ini berdampak pada persaudaraan di Indonesia. Kita ingin membuat ikatan yang lebih kuat dengan hubungan kebangsaan,” kata Aher.

Harapan yang sama juga diungkapkan Ridwan Kamil. Dia meminta kepada generasi muda saat ini agar tak melulu melihat peristiwa masa lalu. Tetapi generasi muda juga diharapkan untuk mau menatap masa depan Indonesia.

“Mudah-mudahan di generasi muda permasalahan psikologis sejarah bisa kita akhiri, dan bisa bersama-sama melihat ke depan jangan melihat ke belakang,” terangnya.

Ridwan Kamil mengaku akan melakukan hal serupa di Kota Bandung. Dia akan menamakan jalan dengan nama-nama kerajaan Jawa.

“Identitas Sunda sudah diterima dan hadir. Dan sebaiknya kami juga melakukan yang sama (memberikan nama jalan),” ungkap Ridwan Kamil.

Dalam waktu dekat, dia akan berkonsultasi lebih dulu dengan DPRD untuk membahas pemberian nama jalan.

Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Kerajaan Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit, yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.

Niat Hayam Wuruk memperistri Dyah Pitaloka tak lepas dari hasrat politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Kerajaan Sunda. Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit.

Maharaja Linggabuana lalu berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit.

Menurut Kidung Sundayana, timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta.

Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit.

Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Kerajaan Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit saat itu.

Pihak Pajajaran tidak terima bila kedatangannya ke Majapahit hanya menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai taklukan. Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada.

Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Kerajaan Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.

Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukan Bhayangkara ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu.

Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Raja Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat.

Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka melakukan bela pati atau bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatria, tindakan bunuh diri ritual dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan atau diperbudak.

Hayam Wuruk pun kemudian meratapi kematian Dyah Pitaloka. Akibat peristiwa Bubat ini, hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap ceroboh dan gegabah. Mahapatih Gajah Mada dianggap terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan perasaan sang Mahkota, Raja Hayam Wuruk sendiri.

Tragedi perang Bubat merusak hubungan kenegaraan antar Majapahit dan Pajajaran. Hubungan keduanya tidak pernah pulih seperti sedia kala.

Merdeka.com

LEAVE A REPLY