Rindu Soeharto di Malam Takbiran

0
Sumber foto : Pojok Satu

JAKARTA, Pelita.Online – Suara tabuhan bedug berukuran raksasa bergema di langit sekitar Monumen Nasional pada malam 8 Februari 1997. Acara bertajuk takbir akbar menyongsong 1 Syawal 1417 Hijriah itu berlangsung meriah. Ribuan orang memadati wilayah Monas malam itu, mengumandangkan takbir sahut menyahut.

Malam itu umat Muslim menyongsong hari kemenangan yang akan tiba keesokan harinya. Selain meriahnya acara yang disiarkan stasiun televisi nasional itu, satu hal yang mencolok adalah Presiden Indonesia ke-2, HM Soeharto, hadir di selebrasi itu. Bahkan, Presiden yang terkenal murah senyum itu ikut menabuh bedug selama 3 menit seraya menggemakan takbir lewat pengeras suara yang terpasang seantero wilayah Monas.

Malam itu, komando sang Jenderal Besar yang dulunya hanya dipakai untuk operasi militer digunakan untuk kepentingan religi, dia mengomandoi bangsa Indonesia menggemakan takbir. “Selama Orde Baru, baru inilah kali pertama Presiden memimpin takbir akbar…” ujar Ketua Umum PB NU kala itu, Ilyas Ruhiat. “… Kita semua gembira karena Pak Harto penuh perhatian mengagungkan Allah,” ujar pria yang akrab disapa Kiai Ilyas itu, dikutip dari buku ‘Ajengan Cipasung: Biografi K.H. Moh. Ilyas Ruhiat.

Satu hal lagi yang menarik, takbiran era itu, era sang Bapak Pembangunan, tidak akan ditemukan kerusuhan. Jangankan ricuh, bisa jadi beda pendapat saja tak ada. Warga terlalu larut merayakan datangnya hari kemenangan di bawah komando sang Jenderal Besar dalam balutan satu identitas, rakyat Indonesia.

Tapi itu dulu. Sekarang? Takbir keliling saja dilarang pemerintah. Bukan tanpa sebab sebenarnya, karena yang sudah-sudah tajuknya saja takbir keliling, yang terjadi adalah kericuhan dan tawuran antarwarga.

Tak bisa disalahkan sebenarnya Wagub DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat melarang takbir keliling. Dalih bahwa Pemprov DKI telah sepakat dengan Polda Metro Jaya untuk membuat suasana malam takbiran aman tanpa huru-hara bisa jadi masuk akal. Pasalnya, tahun 2015 saja sejumlah tawuran pecah di Jakarta saat malam takbiran. “Saya imbau untuk takbiran di wilayah masing-masing. Tidak melakukan takbir keliling,” ujar Djarot.

Imbauan itu tak aneh, karena pada tahun 2015 lalu, sebut saja daerah Berlan, Jagakarsa, Prumpung, Cideng, serta sejumlah daerah lainnya menjadi arena massa saling lempar, ejek dan mengacungkan senjata tajam saat gema takbir saling menyahut. Perkaranya sepele, ada yang saling ejek, ada juga saling lempar kembang api.

Suasana takbir yang harusnya diwarnai kebahagiaan tercoreng akibat ulah masyarakat berkedok takbir keliling. Jadi, jangan salahkan Djarot melarangnya tahun ini. Masyarakat juga yang memaknai gema takbir dengan cara keliru.

Di tengah-tengah polemik itu muncullah FPI dengan rencana takbir kelilingnya. Seakan tak peduli dengan imbauan Djarot, mereka tetap akan menyongsong hari kemenangan dengan pawai sambil mengumandangkan takbir. “Ayo takbiran, walau ada yang larang!!!! Ayo takbiran, lawan kaum intoleran!!! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!” demikian slogan di poster takbir keliling FPI.

FPI pun tak bisa disebut pembangkang. Mereka ini hanya ingin menyambut datangnya Hari Raya Idul Fitri dengan cara yang menurut mereka cocok dengan besarnya makna Lebaran. Menurut mereka, Lebaran terlalu besar hanya sekadar disambut takbir dari masjid dan musala wilayah masing-masing.

Yang jelas, tak ada yang bisa disalahkan. Untuk umat muslim, Idul Fitri adalah hari kemenanganyang harus dirayakan dengan semarak setelah sebulan penuh berjuang melawan hawa nafsu, lapar dan dahaga. Pun begitu dengan Pemprov DKI, mereka hanya ingin warga Jakarta tak mengecilkan makna Lebaran dengan tindakan tak terpuji macam tawuran.

Tak salah jika sudah begini rakyat rindu masa-masa sang Jenderal Besar HM Soeharto. Masa di mana masyarakat tak mengkotak-kotakkan diri di balik identitas golongan yang justru jadi bumerang saat ada perayaan besar, malam takbiran misalnya. Masa di mana sang pemimpin mengomandoi takbir akbar alih-alih melarangnya.

Kriminalitas.com

LEAVE A REPLY