Serikat Buruh Sebut DPR Cuci Tangan karena RUU Cipta Kerja Butuh PP

0

Pelita.online – Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos, mengkritik hasil pembahasan klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja antara pemerintah dengan DPR. Nining mempertanyakan masih perlunya sejumlah peraturan pemerintah untuk mengatur ketentuan-ketentuan dalam RUU Cipta Kerja.

“Ini kan aneh, draf RUU-nya dibuat oleh pemerintah tapi DPR RI cuci tangan dan mengembalikan ke PP. Tentu ini semakin ironis,” kata Nining kepada Tempo, Jumat, 2 Oktober 2020.

Nining juga menyinggung alasan awal pemerintah menerbitkan omnibus law yang disebut-sebut demi memangkas regulasi yang terlalu banyak dan tumpang tindih. Ia heran jika undang-undang yang dibuat untuk menyederhanakan regulasi ini justru melahirkan banyak aturan lagi.

Menurut Nining, penyusunan peraturan pemerintah dikhawatirkan berlangsung tak transparan. Ia mengungkit preseden penyusunan draf RUU Cipta Kerja oleh pemerintah yang berlangsung tertutup. Padahal, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 mengatur bahwa penyusunan pembentukan peraturan perundang-undangan harus transparan dan melibatkan partisipasi publik.

Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin mengklaim parlemen sudah menampung dan mengakomodasi aspirasi buruh dalam pembahasan RUU Cipta Kerja. Menurut Azis, pimpinan DPR berharap RUU Cipta Kerja bisa rampung sebelum akhir masa persidangan Dewan pada 8 Oktober 2020.

Pemerintah dan DPR telah rampung membahas klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja. Dari poin-poin yang telah disepakati, setidaknya ada ketentuan yang akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah, yakni ketentuan ihwal perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan outsourcing.

Anggota Panitia Kerja RUU Cipta Kerja Taufik Basari mengatakan Pasal 59 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur syarat-syarat PKWT urung dihapus dalam RUU Cipta Kerja. Aturan ini dikembalikan ke UU Ketenagakerjaan yang berlaku saat ini, tetapi dengan catatan khusus.

“Kembali kepada UU eksisting dengan catatan khusus mengenai jangka waktu dan jenis-jenis pekerjaan yang dapat dilakukan PKWT selain yang sudah diatur UU dengan mempertimbangkan perkembangan zaman akan diatur dalam PP,” ujar Taufik Selasa malam lalu, 29 September 2020.

Sedangkan, pasal-pasal tentang alih daya direformulasi dengan menyelaraskan pada putusan Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya, RUU Cipta Kerja hendak menghapus Pasal 64 dan Pasal 65 tentang outsourcing dan ketentuannya.

“Pasal 64, 65, 66 disatukan dalam perubahan Pasal 66 menjadi empat ayat dengan catatan beberapa hal yang terkait syarat-syarat outsourcing dalam Pasal 65 diadopsi semuanya dalam PP,” kata Taufik.

Terkait pesangon, pemerintah dan DPR sepakat besarannya tetap 32 kali upah seperti yang dijanjikan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hanya saja, pengusaha menanggung 23 kali upah sedangkan 9 kali upah bersumber dari iuran jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) yang ditanggung pemerintah.

Menurut Nining, kesepakatan-kesepakatan itu tetaplah merugikan buruh. “Bagaimana mungkin bicara hak pesangon kalau status buruhnya kontrak, alih daya, magang, borongan dan harian lepas. Ini lagi-lagi tipu daya,” kata Nining.

 

Sumber : tempo.co

LEAVE A REPLY